Ketika tidur sesekali kita bermimpi, entah itu mimpi baik atau buruk. Terkadang mimpi itu begitu berkesan, sehingga kita ingin tahu apa makna di baliknya. Ada kalanya mimpi itu demikian menakutkan, yang membuat kita tak ingin menceritakannya pada siapapun.
Berbagai pertanyaan kemudian timbul. Apakah semua mimpi itu bisa dipercaya dan punya arti? Perlukah setiap mimpi dipertimbangkan atau sebaiknya diabaikan saja? Apa akibat dari sebuah mimpi? Dapatkah mimpi dijadikan salah satu sumber ilmu pengetahuan?
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat mengenai mimpi, misalnya dalam QS Ash Shaaffaat 37: 102 diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim as. bermimpi melihat dirinya menyembelih Ismail as anaknya. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Kemudian dalam QS Yusuf 12: 43, diceritakan raja Mesir bermimpi pada saat Nabi Yusuf as masih dipenjara karena tuduhan pelecehan seksual. “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi.”
Lebih lanjut dalam QS al-Fath 48: 27 dikisahkan selang beberapa lama sebelum terjadi Perdamaian Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.“
Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. Kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak sampai memasuki Mekah maka orang-orang munafik memperolok-olokkan Nabi dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Maka turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. Dan sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi akan menaklukkan kota Khaibar. Andaikata pada tahun terjadinya Perdamaian Hudaibiyah itu kaum muslim memasuki kota Mekah, maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Mekah waktu itu.
Dalam HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dari Abu Hurairah ra. dikatakan “Mimpi seorang mukmin merupakan satu perempat puluh enam dari kenabian”. Ini berarti hanya mimpi seorang mukmin yang patut dipertimbangkan, karena merupakan pengkabaran dari Allah SWT. Itupun hanya sebagian kecil saja, yang digambarkan sebagai seperempat puluh enam bagian, dimana sebagian besar telah diberikan pada para nabi. Abu Bakar ra. terkenal sebagai ahli menakwilkan mimpi karena beliau adalah orang yang shidiq (jujur). Beliau pernah bermimpi sedang menaiki tangga bersama Rasulullah SAW, namun berselisih dua anak tangga. Takwil dari mimpi itu adalah beliau akan meninggal dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat dan memang demikianlah yang terjadi.
Para ulama berpendapat mimpi tidak bisa dijadikan salah satu sumber ilmu pengetahuan, apalagi jika bertentangan dengan syariat. Ini berbeda dengan kasus pengisyariatan adzan yang datang melalui mimpi Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW. Bilal bermimpi meneriakkan lafadz adzan, kemudian dilaporkan pada Rasulullah SAW. Menurut Rasulullah SAW mimpi itu benar dan bisa diterapkan. Masalahnya saat ini Rasulullah SAW tidak ada, sehingga para ulama sepakat bahwa mimpi tidak bisa lagi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum.
Lalu, jika kita sendiri pernah bermimpi, bagaimana sebaiknya menyikapinya?
Para ulama memiliki berbagai pendapat. Intinya, mimpi itu bisa merupakan refleksi dari aktivitas ruh seseorang pada saat ia tidur. Misalnya seseorang yang ingin segera menikah, bisa saja malamnya dia bermimpi menikah. Namun kita perlu berhati-hati, karena mimpi juga bisa merupakan permainan syaitan yang ingin menakuti-nakuti; itulah salah satu pentingnya mengapa kita disunnahkan berdoa sebelum tidur dan tidur dalam keadaan berwudhu. Mimpi buruk ini tidak perlu diceritakan pada siapapun. Jika kita mengalaminya segeralah bangun dan laksanakan sholat.
Pendapat dari ulama lainnya, mimpi itu dapat merupakan peringatan awal atau pertanda untuk sesuatu yang telah, sedang atau akan terjadi. Misalnya ada seseorang bermimpi gunung meletus, air laut meluap, atau mimpi terjadi kiamat. Salah satu takbir mimpi kiamat adalah pertanda orang tersebut akan berpergian jauh, berpindah kampung halaman atau berpindah negeri.
Sebaliknya, mimpi baik dapat merupakan kabar gembira dari Allah SWT, misalnya mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Menurut HR Imam Bukhari, siapa yang melihat Rasulullah SAW dalam tidurnya, maka apa yang dilihatnya adalah Rasulullah SAW sendiri, karena syaitan tidak bisa menyerupai beliau. Orang-orang arif berpendapat, mimpi bertemu Rasulllah SAW bermakna bahwa orang tersebut Insya Allah tidak akan meninggal sebelum berkunjung ke makam Rasulullah alias naik haji. Bisa juga berarti ia akan menjadi ulama.
Saat ini telah banyak kitab yang memuat takbir mimpi. Prinsipnya, karena mimpi bisa mempunyai banyak arti maka tak ada jaminan mana yang benar. Jadi sifatnya cuma pertanda dan tidak bisa langsung disimpulkan begitu saja. Namun paling tidak takbir mimpi tersebut bisa mengurangi kegelisahan. Analoginya adalah ramalan cuaca, dimana kita bisa memanfaatkan informasi tersebut untuk mengantisipasi keadaan cuaca yang mungkin akan terjadi. Namun demikian, kepastiannya tetap hanya dari Allah SWT.
Mimpi yang berupa pesan dari Allah SWT hanya dapat dipantulkan ke dalam hati orang-orang yang shidiq. Menurut Imam al-Gazali, fungsi ruh untuk menangkap isyarat Ilahi ibarat cermin yang memantulkan cahaya. Orang shidiq merupakan cermin yang paling bersih dan bening dimana cahaya Ilahi tidak terdistorsi sama sekali. Rasulullah SAW bersabda, ”Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Mungkin ada di antara kita yang lalu berpendapat, ”Mimpi saya jadi tidak punya arti lagi, karena saya bukan orang yang jujur 100%”. Bukan demikian. Justru sebaliknya, hal ini dapat menjadi pemicu motivasi kita: ”Berusahalah menjadi orang yang jujur dan sholeh agar kita bisa menafsirkan mimpi dan menangkap pesan-pesan Allah SWT lainnya. Semakin kita berusaha menjadi shidiq dan shaleh, Insya Allah semakin banyak pesan-pesan Allah yang dapat kita terima”. Wallahua’lam bish-showab.
Vita Sarasi