"Saat kelopak-kelopak mata buah hatiku telah mengatup dan jiwanya tengah terbuai oleh mimpi, ku memandang indah purnama pada wajah mereka. Pesona bocah nan rupawan telah meletupkan semangat; untuk menikmati hidupku dengan pengorbanan. Pada mereka tergantung asa bagi berjuta angan dan cita mulia. Anak adalah kekasih kita, harapan kita… Seolah tak sabar menanti, ketika mata indah mereka kembali terbuka untuk menyapaku. Kan kusambut mereka dengan cinta…"
Mereka ada di sisiku, bersama menikmati nuansa yang tenteram bersahabat. Namun seandainya… Andai aku dan buah hatiku tak berada di sini, melainkan tinggal di bumi para syuhada: Palestina.
Mungkinkah aku sanggup menikmati wajah teduh mereka, dengan kelopak-kelopak mata yang terkatup. Bukan dalam nyenyak tidurnya, namun tertutup untuk selamanya? Karena bocah kecilku nan lucu, telah terenggut jiwanya oleh letupan peluru pada tubuhnya. Darah segar menyiram tubuh mungilnya, dengan beberapa bagian tubuh yang tak bisa lagi kubelai karena tercecer entah ke mana. Meski senyum menghiasi wajah pucatnya, sanggupkah aku tersenyum bahagia, dan merelakannya menjadi sasaran peluru dan bom yang terus diledakkan secara kesetanan oleh tentara-tentara yang menjajah negeriku. Akankah kupersembahkan satu demi satu buah hatiku dan menyerahkan begitu saja untuk memuaskan kebiadaban nafsu angkara?
Sekali lagi, seandainya aku yang menjadi mereka, para ibu dari anak-anak di Palestina…
Nyatanya aku kini berada di sini. Dengan suasana yang jauuuh…berbeda dengan kondisi saudara-saudariku di bumi mulia itu. Meski kuyakin mereka tak gugur dengan sia-sia, kepedihan ini begitu membuncah. Apa yang bisa kulakukan?
Hari demi hari, pembantaian terus berlanjut entah sampai kapan. Tak lagi hanya dalam hitungan seratus dua ratus. Seribu lebih, tubuh para bocah dan ibu-ibu terbujur kaku di sekitar tempat tinggal mereka…
Ketika wajah-wajah bocah Palestina yang berguguran dari waktu ke waktu kembali kusaksikan melalui layar kaca. Hati ini semakin terkoyak. Kafan dengan bercak darah membungkus tubuh kecil itu. Sang ayah melepas kepergiannya dengan kecupan sayang. Tanda ikhlas dan tawakkal, meski ada titik air mata di pipinya. Pemandangan yang menyadarkanku. Mereka begitu kuat dan tabah menghadapi ujian. Begitu berat beban penderitaan, kesedihan, ketakutan di depan mata. Mereka kuat… Akankah aku menyerah begitu saja, merasa diri tak beguna karena tak mampu memberi arti bagi perjuangan mereka?
Menyaksikan ketabahan para mujahid Palestina, berkobar kembali harapanku. Aku tak boleh berhenti bersimpati. Sekecil apa pun solidaritasku, itulah ikhtiar… Meski hanya untuk melantunkan doa-doa bagi mereka. Dalam tiap sujudku, dalam duduk tafakkur, dalam dzikir segala aktivitasku. Menyematkan keprihatinan dalam jiwa, dengan terus melewati detik demi detik waktu tanpa perbuatan sia-sia. Karena itulah yang kubisa. Memperbaiki diri, sebagai bekal mendidik para penerusku.
Memimpikan anak-anakku, kelak kan mampu memberikan yang lebih berarti bagi perjuangan saudara-saudariku di bumi Palestina. Insya Allah!
Wallahu a’lam.