Udara siang itu cukup terik, di ruangan yang tak berpendingin tersebut, keringat dingin membasahi tubuhku. Lidahku seakan kelu, diskusi dua keluarga yang sedang menentukan kesepakatan untuk waktu pernikahan kami, tidak begitu kuikuti sepenuhnya, entah saat itu aku berfikir apa. Aku hanya merasakan kepanikan yang luar biasa membayangkan jika kemudian hasil dari pertemuan itu nantinya memperlama prosesi ikatan suci itu dilakukan.
Ketakutan yang aku kira cukup beralasan, ketika menyaksikan tidak bertemunya 2 pendapat yang berbeda tentang penentuan hari, yang satu berkeinginan untuk dipercepat dengan alasan menghindari fitnah sedangkan yang lainnya berkeinginan agar prosesi ini memiliki waktu yang cukup matang untuk dipersiapkan. Dan untuk beberapa waktu kedua pendapat ini belum bisa berkompromi.
Hingga kebuntuan pun akhirnya terpecahkan saat dengan tegas bapak mertuaku saat itu berujar, " Bapak-ibu sekalian, esensi kebahagiaan itu sejatinya adalah ketentraman, dan ketentraman merupakan buah dari sikap ke-cukupan kita.Sekiranya kemampuan maksimal kita hanya bisa mengisi setengah gelas, maka lebih kalau kemudian kita tidak "neko-neko" memenuhi gelas tersebut, jadi saya kira tidak ada alasan untuk mengulur prosesi sakral ini"
Kalimat ajaib inilah yang kemudian membuat acara khitbah itu pun kemudian menetapkan Jum’at, 14 Desember 2007 sebagai waktu untuk menggenapkan separuh agama kami, 26 hari setelah proses khitbah, waktu yang tergolong supercepat bagi keluargaku, bahkan di luar bayanganku.
Barangkali untuk beberapa orang -bahkan mungkin aku- kalimat itu tidak sepenuhnya benar, namun kesahajaan dan simplifikasi masalah mertuaku membuatku harus mengacungi jempol kepada beliau.
Dan kekagumanku ini kemudian semakin bertambah, setelah melihat keseharian beliau. Lelaki yang hampir seluruh rambutnya telah memutih ini, sangat sederhana, pekerja keras, dan begitu bijak dalam memandang kehidupan. Hampir setiap kami ngobrol berdua, begitu banyak kekaguman membuncah di benakku mendengar tutur nasehatnya.
Beliaulah yang dengan segala kelapangan hati, mau menerima lelaki biasa yang penuh keterbatasan ini untuk menjadikan putrinya belahan hidup.
Lelaki paruh baya inilah yang sering menguatkan menantunya untuk bertahan dengan prinsip hidup yang diyakini, tanpa harus terpengaruh dengan hiruk pikuk apa kata orang.menjadi manusia merdeka, terbebas dari lingkaran caci dan puji.
Dan tidak teramat sulit bagiku untuk memajang sosok beliau dalam dinding jiwaku, menambah deretan panjang orang – orang yang aku begitu menyukai untuk memandang lekat – lekat wajahnya, orang – orang yang menjadi guru bagiku.
Terima kasih bapak,
Terima kasih atas bidadari yang telah engkau percayakan kepadaku, betapapun aku bukan lelaki mulia….
Segala Puji Syukur Bagi-Mu, Duhai Tuhanku…..
Salatiga, Pukul 00.00 Tahun 2008