Oleh Agus Ponda*
Hari itu hari kedua tes SNMPTN 2012. Saya berada di antara mereka. Kalau mereka (ibu dan bapak) mengantar anaknya, saya dan beberapa orang lainnya mengantar adik ifar, keponakan dan lainnya. Menunggu dalam hitungan waktu hingga mereka kelar.
……………………………………………..
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi bagi saya menunggu yang paling menyenangkan adalah di masjid. Di rumah Allah itu tempatnya lapang, bersih, dan sejuk. Termasuk di masjid Masjid Baiturrahman SMKN 2 Bandung.
Ternyata banyak juga yang menunggu di masjid Baiturrahman. Sama seperti hari pertama tes SNMPTN, 12 Juni 2012. Ada yang sambil duduk bersandar ke di dinding, ada pula yang tiduran. Di masjid memang memungkinkan kita lebih aman kala berdiam atau lebih tenang kala beribadah.
Melirik ke samping kanan, pandangan saya terhenti pada sosok seorang ibu di teras masjid. Ia menatap lurus ke ruang kelas tempat tes. Di situ mungkin anaknya berada sedang berjuang menaklukan soal-soal SNMPTN.
Sosok itu lekat menatap dan tak beranjak dari duduknya. Di pikiran saya, sorot matanya mengandung banyak makna. Tapi yang jelas ia perempuan yang teguh sekaligus sabar mengantar anaknya tes untuk meraih impiannya berkuliah di PTN.
Saya taksir ia berusia sekitar 55 tahunan. Sudah mulai ada tanda-tanda kerut dan sedikit titik-titik kehitaman di wajahnya. Tapi wajahnya menyiratkan rasa optimisme dan harapan yang besar. Di balik lindungan kerudung ungu ia nampak sudah sangat matang menghadapi situasi apapun yang sedang dialami anaknya.
Penasaran, saya mendekatinya.
Ia menoleh ketika saya duduk di dekatnya. Sebelum ia tersenyum, saya dulu yang mengajaknya tersenyum hingga senyum kami nyaris bersamaan.
“Ibu mengantar siapa?” tanya saya.
“Anak saya,” jawabnya, “Ade?” tanyanya.
“Adik Ipar.”
“O,…” ia mengangguk. Ia ramah, tapi nampak hati-hati.
“Anak keberapa, Bu?”
“Anak kedua, bungsu.”
“Laki-laki?”
“Iya.”
“Nggak sama Bapak, Bu?”
“Nggak. Bapaknya kerja. Jauh di Perkebunan Sawit di Sumatera. Jadi saya ngantar.”
“Oh…. Ibu dari mana?”
“Subang.” jawabnya. Ia kembali menatap ke ruang 3. Terdiam. Duh, mungkin saya mengganggunya. Mungkin tadinya dalam diam ia sedang berdoa agar anaknya lancar dan benar menjawab soal-soal tes. Tapi ia berkata,”Anak saya sebenarnya tak mau diantar. Ia berani sendiri tes di Bandung, tapi saya ingin mengantarnya. Setiap hari ia selalu berada bersama saya. Kakaknya sudah kuliah tingkat dua di Yogya. Semua anak ibu, ibu ajarkan untuk berani, sebab ayahnyapun perantau. Jarang pulang.” ceritanya.
“Oh,… ” saya menganguk-angguk.
“Saya senang bila berada dalam bagian kehidupan anak saya, dalam suka atau duka. Saat berdiam atau berjuang. Itung-itung pengganti bapaknya yang tidak sempat mendampinginya.” kembali ia berkata.
Ibu itu, dari perbincangannya, saya tahu ia ternyata memang bukan ibu biasa. Ia juga mengaku seorang guru SD, yang bersuamikan seorang pegawai swasta di perkebunan kelapa sawit.
“Dulu banyak kerabat yang tak setuju Ibu menikah dengan Bapak, seorang pekerja di perkebunan sawit. Guru kok nikah sama buruh kebun kelapa?” katanya sambil tertawa.
Dari ucapannya saya tahu, suaminya ternyata seorang pria bertanggung jawab, setia dan tentu saja soleh. Dulu mereka jarang bertemu, sekarang mereka berkumpul bisa sebulan sekali sebab suaminya sudah punya jabatan kecil di perusahaan itu.
Ibu itu tentu saja sangat dekat dengan anak-anaknya. Suaminya sangat percaya bagaimana ia harus mengasuh buah hatinya. Ia juga istri yang bisa mengukur diri. Pendapatannya sebagai guru plus gaji suaminya, konon pas-pasan untuk hidup sehari-hari dan membiaya anak sulungnya kuliah di sebuah PTN di Yogya. Belum lagi membantu saudara-saudaranya yang kurang mampu.
“Ibu mah cuma berharap, anak ibu yang ini lulus tes, biar masuk PTN tanpa bayar, ikut apa itu, bidik misi. Sebab dihitung-hitung berat juga membiayai dua anak kuliah bersamaan.” ujarnya sambil menghela napas dalam.
Satu jam berjalan, kami pun berhenti berbincang. Tes setengah jam lagi akan berakhir.
Saya permisi ke kamar kecil. Bandung lumayan dingin, meski tak sedingin 20 tahun lalu kala saya sendirian ikut tes UMPTN tahun 1993 dan berhasil.
*
Saya bersandar di masjid. Sedangkan ibu itu tetap di teras masjid.
Saya lihat di dalam masjid banyak juga ibu-ibu. Mereka semua berharap anaknya lulus tes masuk PTN. Ada ibu berkerudung putih sedang mengaji. Ada pula yang dzikir bermukena. Ada yang salat duha ada pula yang terkantuk-kantung sambil duduk.
Bila dibandingkan dengan para lelaki yang mengantar anak atau keponakannya tes, saya lihat kaum ibu lebih hebat dan ‘serius” berharap pada Allah. Kaum bapak malah ada yang asyik mainan HP, atau merokok di teras masjid, bahkan ngorok tidur. Di teras kanan ada pula anak muda yang mungkin mengantar adiknya, sibuk main notebook dan modem, alias berinternet saja.
Saya terkesan dengan ibu tadi. Ia punya proposal doa dan harapan yang jelas, sungguh-sungguh dan murni pada Allah SWt. Saya berharap anaknya lulus dan tentu saja adik ipar saya juga ingin lulus.
Tapi saya juga terharu dengan ibu yang mengaji di masjid ketika anaknya sedang tes. Juga kagum pada ibu lainnya yang berdzikir dan salat duha di masjid. Saya juga kagum pada ibu yang terkantuk-kantuk menunggu anaknya tes. Pasti ia lelah dan malam hari mungkin bangun tidur sejak dini hari untuk berdoa, mempersiapkan anaknya berangkat dari penginapan atau rumah familinya agar tak terjebak macetnya Kota Bandung.
Hari itu saya memikirkan banyaknya proposal doa dan harapan dari para ibu yang anaknya tes SNMPTN. Kalau saja kuotanya tak terbatas, baiknya semua saja diterima. Tapi ini hanya sekitar seperempat dari ratusan ribu saja yang bakal diterima. Mungkin ibu pertama yang akan dikabulkan doanya, atau mungkin ibu yang terkantuk-kantuk? Atau justru doa ibu yang tidak mengantar anaknya yang bakal dikabulkan?
Ah, Tuhan takan bingung dengan proposal doa, harapan, dan permintaan dari hamba-hambanya. Proposal terbaik bisa dikabulkan, bisa juga ditunda atau diganti dengan pemberian lainnya. Wallahualam bi shawab. (agusponda/email = [email protected])