Anak-anak itu begitu rapi, duduk di tempat yang telah dipersiapkan oleh panitia, pada sebuah ruangan sederhana yang mereka beri nama kelas. Pakaian mereka biasa saja, bahkan ada di antaranya masih mengenakan seragam, karena memang baru saja melaksanakan upacara peringatan 17 agustus di sekolah mereka. Namun rona kegembiraan tak bisa mereka sembunyikan. Menyambut kami dengan senyum, mengingat sekolah mereka yang harus ditempuh sejauh 13 kilometer dari kabupaten, jalanan yang berkerikil, hingga laju kendaraan harus merayap pelan, hingga jarang yang mau berkunjung ke sekolah itu. Jadi, layak saja antusias serta ingin tahu jelas terpancar, walau hanya diwakili oleh 17 raut wajah milik mereka.
Pagi itu, setelah sesi pengenalan FLP serta permainan kreatif selesai, acara inti dilanjutkan dengan membedah karya mereka yang telah dipersiapkan. Saya pun mengambil jatah ini. Dengan memilih 3 karya dari mereka untuk dikoreksi. Sungguh, membuat saya kagum, di antara mereka telah ada yang mempunyai keunikan, kepolosan dalam menuangkan pikiran pada tulisan, walau terbalut pemikiran klasik pada temanya; apa arti kemerdekaan bagimu.
Secara keseluruhan, tulisan mereka masih khas tulisan anak-anak di mana kemerdekaan mereka pandang sebagai bentuk hasil pengorbanan dari para pejuang selama 350 tahun, gegap gempita berjuang hingga titik darah penghabisan agar negara bernama Indonesia ini merdeka. Tidak dapat dipungkiri, mereka masih begitu terkotak pada menghargai kemerdekaan itu dengan menghadiri upacara, mendengarkan teks proklamasi dikumandangkan, serta kibaran bendera dengan hikmat diberi penghormatan, ketika dinaikkan perlahan-lahan diiringi alunan lagu Indonesia Raya. Pemikiran yang kemudian begitu diperjelas pada salah satu mata pelajaran di tiap jenjang sekolah.
Hingga ketika saya dengan tegas bertanya, ”Apa sih arti kemerdekaan yang sebenarnya bagi kalian?”, mereka hanya diam sambil mesem-mesem. Lalu saya kembali mempermudah bahasa saya, dengan melontarkan kalimat, ”Kalian sudah merdeka sekarang ini?”, ada yang berbisik-bisik tak jelas, hingga saya hampiri salah satu dari mereka. Saya sorongkan pengeras suara pada salah seorang anak laki-laki, berusia sekitar 14 tahun, dan dengan lirih dia menjawab, ’Belum, mbak”. Ketika kembali saya memberondongnya dengan, ’Belum merdeka pada hal apa?’. Dengan suara tertahan, dia kembali menjawab, ”Biaya hidup semakin tinggi. Buku pelajaran semakin mahal. Orang tua saya gak mampu, mbak”. Suasana hening. Saya mencoba tersenyum, dengan embun yang pelan merembeti hati.
Benar, bangsa Indonesia telah merdeka 63 tahun yang lalu. Para pejuang telah mewariskannya pada kita. Benar, kita telah terbebas dari penjajahan, kerja rodi ataupun romusha. Kita bisa mengembangkan segala kemampuan kita dalam berkarya untuk mewarnai kemerdekaan ini. Benar, kita telah terbiasa serta leluasa dengan mengeluarkan pendapat, baik itu pujian ataupun umpatan keji. Tapi, benarkah kita telah mewarisi sifat para pejuang? Benarkah kita mampu mengembangkan kemampuan kita untuk membantu memupuk kemampuan orang lain?
Kenyataanya, prilaku kita tak jauh dari sifat penjajah. Tanpa sadar kita telah membelenggu saudara kita sendiri. Terjebak pada rutinitas mengais rejeki tanpa sesekali berpikir apakah kita tanpa sadar mengambil ladang rejeki orang lain. Cara kita mengais pun, tak pelak harus sikut sana sikut sini. Berani melakukan tindakan tak bermoral, mengambil penghidupan orang lain. Tanpa terbersit pun rasa takut, jika sifat ceroboh ini, mengental di darah dan akan mengalir deras pada keturunan kita nanti. Atau… benarkah ini merupakan warisan dari penjajahan dulu, yang telah diberikan pada kita? Mengusir, namun tak mampu mengelak didikan serta tempaan mental seorang penjajah pada pribadi kita sendiri. Naudzubillah….
Seorang anak SMP kelas 8, telah membuat perenungan pada batin dan diri saya yang telah merasa merdeka. Kembali bertanya, merdekakah diri ini, ketika kita masih bisa tersenyum pada tangisan serta perut mereka yang berbunyi minta diisi?
Seorang anak SMP kelas 8, mengingatkan kembali pada rasa peduli kita yang terlampau transparan. Terlampau gemar pada bilik kesenangan pribadi. Setidaknya, ia mencoba mengingatkan untuk peduli dan berani mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya bukan menjadi kesadaran kita, karena belum menjadi ’trend’.
Bagi kita, merdeka sudah menjadi bagian dari kehidupan. Merdeka dengan segala bentuk kebebasan tanpa syarat. Bagi anak SMP kelas 8 itu, merdeka belum sepenuhnya ia dan keluarganya dapat raih, jika diukur pada kemerdekaan orang-orang mampu disekelilingnya. Merdeka masih harus ia perjuangkan. Merdeka masih harus ia deritkan di antara kibaran merah putih, di antara gegap gempitanya perayaan, di antara teriakan kemenangan. Semoga, darah serta mental para pejuang ada pada dirinya.