Menyemai Benih Keberhasilan

Pagi itu, suasana kantor di Jalan Demang Lebar Daun masih sepi. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, tetapi belum banyak pegawai yang berdatangan hadir ke kantor.

Ahmad dan saya, adalah pegawai yang baru dimutasi ke kantor ini dari kantor pusat di Jakarta. Kami datang sendiri, sementara keluarga kami tinggal di Jakarta. Status kami yang bujang lokal ini, menjadikan kami tanpa hambatan untuk datang pagi-pagi ke kantor. Lain halnya dengan teman-teman lokal atau teman yang telah memboyong keluarganya di sini, mempersiapkan anak untuk berangkat sekolah dan mengantarkannya, adalah kesibukan rutin yang sering menjadi alasan untuk terlambat datang ke kantor.

Di tengah kondisi kantor yang terancam pembubaran dan ketidakpastian, kehadiran pegawai memang tidak terkendali. Bahkan untuk urusan absen pagi dan sore saja, telah dijadwal orang-orang tertentu secara bergiliran (dalam satu pekan) untuk melakukannya. Hari Senin, yang datang dan mengabsenkan pegawai lainnya (yang tergabung dalam sindikasi) adalah si A. Hari Selasa, oleh si B. Hari Rabu oleh si C, dan seterusnya. Sehingga bisa terjadi, dalam sepekan, seorang pegawai tidak perlu datang ke kantor, atau datang ke kantor bilamana perlu saja.

Saya tidak menyalahkan mereka. Ada yang terjadi adalah efek dari suatu realitas yang boleh jadi bersifat sementara saja. Jika kondisi telah stabil, mereka pun akan masuk kantor secara normal seperti sedia kala. Di antara mereka ada yang memanfaatkan waktu dengan menyambi bekerja di kantor lain, atau menekuni bisnis tertentu, mengunjungi keluarga, atau sekedar menikmati hari-hari bersama isteri dan anak-anak di rumah.

Bagi kami yang jauh dari keluarga, situasi kantor yang seperti itu jelas sangat tidak kondusif. Satu sisi kami memiliki banyak kelebihan waktu, namun pada sisi lain, isteri kami begitu padat dengan berbagai kegiatan kerumah-tanggaan dan sosial di Jakarta.

Suatu ketika, sepulang dari Jakarta, kami memiliki ide mencoba membawa barang dagangan berupa jilbab untuk ditawarkan pada rekan-rekan di kantor. Andaikan barang-barang itu tidak diminati, kami telah memiliki beberapa nama dan alamat yang sanggup menjualkan barang-barang itu di kota ini.

Suatu pagi menjelang pukul 10.00 WIB, satu per satu rekan-rekan muslimah mulai berdatangan di kantor. Ahmad, sahabat saya yang cepat akrab dengan orang pun langsung menyodorkan beberapa jilbab,

Mba, ada jilbab nih. Silahkan dilihat, bagus-bagus kok!”

Beberapa rekan muslimah mulai berkerumun dan mulai mengajukan berbagai pertanyaan seputar produk jilbab itu. Dari masalah kualitas bordiran, harga, jenis barang, dan lain-lain. Dan Ahmad dengan sabar melayani dan menjawab semua pertanyaan rekan-rekan muslimah yang mengerumuninya itu.

Saat semua rekan muslimah sedang berkerumun mengelilingi Ahmad sahabat saya, tiba-tiba Bu Zainul, yang terkenal ramai (suka berceloteh dan tertawa-tawa), datang dengan senyum simpul khasnya.

“Wah ada apaan nih, kok ramai kali?”
“Ini Bu, ada jilbab-jilbab bagus.” Seorang rekan muslimah menimpali.
“Siapa yang bawa?”
“Ahmad.”
Ahmad pun diam tersenyum-senyum di belakang meja.
“Bener kamu yang bawa?” Bu Zainul bertanya sambil tertawa lebar kemudian berkomentar.
“Belajar dagang ya!” Ahmad diam tanpa komentar. Bu Zainul kembali tertawa, seakan merasa lucu dan janggal bahwa seorang Ahmad, laki-laki dan akuntan itu, datang membawa dagangan berupa jilbab dari Jakarta. Tetapi Ahmad memang sudah membulatkan tekad bahwa tindakan mencoba berwirausaha itu bukanlah hal yang tabu. Segala kemungkinan perlu dicoba untuk mengantisipasi berbagai kondisi yang penuh dengan ketidakpastian.

Bu Zainul lalu mengamati dan memegang jilbab-jilbab itu. Sesekali ia menyambi ngobrol dengan ibu-ibu lainnya dengan melepas tawa renyah yang menggema ke seluruh ruangan. Nampaknya, Bu Zainul hanya sekedar melihat-lihat dan tidak menaruh minat terhadap jilbab itu. Jilbab yang kami bawa itu memang bagus dan memenuhi standar syar’i. Tetapi sayangnya, jilbab yang banyak dikenakan kebanyakan wanita di kantor ini adalah jilbab segi empat pendek yang ketika dipakai masih menampakkan lekukan tubuh di bagian dada. Ya, kesadaran akan jilbab yang syar’i memang masih sangat kurang di kalangan mereka, karena mereka belum memahami apa esensi dari jilbab itu sebenarnya.

Untuk menutupi ketidaknyamanan karena tidak membeli, Bu Zainul melontarkan beberapa pertanyaan pengelakan,
“Kalau jilbab seperti yang kupakai ada ngga? Tapi jangan yang lebar-lebar?”
Ahmad menimpali, “Sebenarnya ada banyak Bu, tetapi kami tidak menjual jilbab yang seperti itu.”

Kemudian Bu Zainul kembali meletakkan jilbab-jilbab di depan meja Ahmad dan kembali melanjutkan ngerumpi dengan ibu-ibu yang lain. Fragmen tersebut berakhir dengan sebuah kebisuan. Tanpa ada appresiasi, kritik maupun saran.

Keesokan harinya, ketika kami datang, beliau tertawa-tawa sambil berkomentar, “Bagaimana dagangnya? Laku banyak?” Sejak kedatangan kami yang membawa dan menawarkan jilbab, Bu Zainul memang banyak mencandai kami, bahkan terkesan melecehkan. Bahkan pernah suatu ketika, kami muncul di kantor menjelang waktu Ashar, kami dicandain,
“Dari mana aja? Habis gelaran di mana?” Dia bertanya sambil tertawa-tawa menyeringai ringan tanpa ada rasa bersalah. Kemudian di berceloteh, “Kasihan-kasihan. Jauh-jauh dari Jakarta kok jualan jilbab. Di sekolahin tinggi-tinggi kok jualan jilbab.” Hati kami menjadi miris, sementara beliau masih belum selesai dengan tertawa cekikikannya.

Ahmad hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tidak berpikir kenapa orang seperti Bu Zainul bisa berpikiran kekanakan seperti itu. seharusnya upaya menumbuhkan jiwa kewirausahaannya itu dihargai. Lha ini kok malah dimatikan.

***

Kejadian tersebut barangkali adalah satu dari banyak kejadian di mana orang tidak menghargai dan memandang rendah profesi berdagang. Padahal dalam pandangan Islam, berdagang adalah profesi yang mulia, dengan syarat bahwa perdagangan itu tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah SWT. (QS 62: 9-10).

Kemuliaan berdagang juga bisa kita simak dari sebuah hadits yang menyatakan bahwa ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari di mana tiada naungan selain dari naungan-Nya. Salah satu dari tujuh golongan itu adalah pedagang yang jujur. Hadits ini memberi pelajaran bahwa profesi berdagang itu ternyata mampu menghantarkan pelakunya pada suatu kemulian di sisi Allah SWT.

Penghargaan terhadap profesi tersebut juga dapat kita lihat pada kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat. Rasulullah SAW (sebelum di angkat menjadi Rasul) dan beberapa sahabat beliau, adalah pedagang-pedagang yang handal. Dan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT, sebagian besarnya adalah pedagang (pengusaha) yang sukses.

Ada beberapa hikmah yang bisa kita peroleh. Salah satunya adalah bahwa jiwa berdagang, ternyata mampu menghantarkan diri mereka pada kesuksesan dunia dan akhirat. Mereka sukses di dunia karena memiliki karakter jujur, terpercaya, dan kredible sehingga orang banyak menaruh kepercayaan dengan banyak menjalin hubungan (bisnis) dengan mereka. Terlebih bagi mereka yang beriman, maka sebagian dari hasil perniagaan pun ditunaikan dengan sempurna dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Sebagai dampaknya, Allah SWT menjadikan keuntungan mereka di dunia menjadi berlipat-lipat dan Allah SWT menyediakan balasan dari apa yang diinfaqkan mereka itu dengan pahala surga di akhirat. Perilaku seperti inilah yang di contohkan oleh beberapa sahabat utama Rasulullah SAW.

Berdagang mengajarkan kita untuk mandiri. Dan kebanyakan pedagang memiliki karakter yang cukup mengagumkan, seperti kerja keras, ulet, hemat, sabar, hati-hati, cermat, jujur, berani, memiliki wawasan yang luas, dan komunikatif. Tak salah jika ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa karakter seseorang diketahui melalui tiga hal, salah satunya melalui transaksi perniagaan yang pernah dilakukannya. Dari sanalah diketahui apakah seseorang itu jujur pada janjinya dan benar dengan perkataannya, karena kita mengetahui bahwa berawal dari kejujuran janji dan perkataan itulah, lahir berbagai akhlak yang mulia yang bisa menghantarkan seseorang kepada surga.

Substansi berdagang yang mampu menumbuhkan akhlak-akhlak mulia inilah yang seharusnya kita perhatikan, tanpa melihat besar-kecilnya perniagaan yang dilakukan. Jika Bu Zainul menyadari hal ini, tentu ia akan memberikan appresiasi positif kepada Ahmad sahabat saya itu.

***
Apa yang terjadi pada Ahmad, menemukan pembenarannya tiga tahun kemudian. Dia berhasil diterima di perusahaan minyak dunia karena pengalaman manajerial yang peroleh di perusahaan sebelumnya. Selama tiga tahun ia memang bekerja di perusahaan sahabatnya. Dan dengan penuh amanah dia kelola perusahaan itu dengan sentuhan jiwa kewirausahaannya. Dan selama tiga tahun itu, ia memang mempersiapkan diri dengan mempertajam kompetensi dan kemampuan bahasa Inggris. Jika bukan karena sabar dan kerja keras yang menjadi mentalitas utama para wirausahawan, boleh jadi, dia tidak menduduki posisi bagus seperti saat ini.

Saya mengambil hikmah bahwa keberhasilan dia, salah satunya dipicu oleh sifat-sifat yang dibentuk oleh semangat kewirausahaannya itu. Wirausaha memang sering diidentikkan dengan bisnis sendiri, namun mentalitas wirausaha itu bisa dimiliki oleh siapa saja, baik yang memiliki bisnis sendiri atau yang menjalankan bisnis orang lain. Jika kita cermati, Ahmad pun sebenarnya memiliki “bisnis sendiri”, yaitu profesionalisme dia sebagai seorang akuntan.

Seringkali, potensi sifat baik pada diri kita, tidak tumbuh karena kita memiliki persepsi yang tidak tepat. Jika kita berpersepsi bahwa kita adalah hanya seorang buruh, maka mentalitas kita pun akan seperti buruh kebanyakan. Namun jika mentalitas kita adalah profesional, maka kita akan senantiasa terpacu meningkatkan profesionalitas atau keahlian yang kita miliki.

Ada satu hal menarik dari apa yang diwasiatkan oleh Ustadz Hasan Al-Bana. Beliau menganjurkan agar kita memiliki usaha sendiri walau kecil-kecilan. Boleh jadi, di samping beliau mengisyaratkan untuk selalu waspada terhadap kondisi (ekonomi) yang senantiasa berubah, beliau sebenarnya ingin memberi jalan bagi penumbuhan potensi-potensi kebaikan dan keberhasilan.

Waallahua’lam bishshawaab.
(rizqon_ak at eramuslim dot com)