Sepekan sekali, saya bersama dengan seorang rekan, aktif membina pengajian bapak-bapak di sekitar rumah. Jamaah yang menjadi anggota pengajian ini sebagian besar adalah bapak-bapak yang berprofesi sebagai pedagang, pekerja harian lepas, penarik sampah, penjaja mainan keliling, porter bandara, dan satpam rumahan. Mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Mereka adalah orang-orang yang sederhana dan serba terbatas kehidupannya.
Di antara jamaah pengajian itu, ada satu orang bapak yang menarik perhatian saya. Ratno namanya. Dia adalah bapak muda yang baru pindah ke tempat ini dan tanpa segan langsung ikut bergabung dengan pengajian yang kami bentuk. Ia berlatar belakang pendidikan ilmu sosial ekonomi perikanan yang ia timba dari sebuah perguruan tinggi negeri di kota Malang. Saat ini, dia sedang dalam tahap penyusunan tesis program master di perguruan tinggi itu.
Awalnya ia bekerja di sebuah lembaga konsultan pengembangan masyarakat di Surabaya. Ia pindah ke tempat ini, karena isterinya yang sedang hamil anak pertama “ngidam” melahirkan di tempat orang tuanya di Bekasi ini. Demi memenuhi keinginan sang isteri dan kelancaran kehamilannya, dia pun bersedia pindah dan menyewa sebuah rumah di dekat rumah orang tua isteri tinggal, yang masih bertetangga dengan saya. Dia pun meninggalkan lembaga tempatnya bekerja dengan sebuah keyakinan akan mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta. Dan Alhamdulillah, setelah pindah di Bekasi, berkat hubungan dengan rekan-rekan alumninya, ia mendapat pekerjaan di sebuah LSM yang bergerak dalam bidang kajian politik berkantor pusat di Pasar Minggu.
Meski secara intelektual, Ratno lebih mumpuni dibanding bapak-bapak yang lain, namun tanpa sungkan ia berbaur dengan pengajian yang kami bentuk itu. Dan subhanallah, ia termasuk jamaah yang konsisten hadir dalam pengajian setiap pekannya, kecuali ada kepentingan yang mendesak. Keistiqomahannya dalam menghadiri pengajian itu seakan membuktikan kesungguhan dan kerendahan hatinya untuk menimba ilmu agama yang dia yakini dapat membimbingnya ke arah kebaikan dan surga-Nya.
Salah satu sesi penting dari pengajian yang berlangsung di malam Ahad itu adalah setelah pemberian materi inti selesai, biasanya dilanjut dengan dialog interaktif menyangkut berbagai topik yang baru-baru ini terjadi, baik menyangkut masalah politik, sosial-ekonomi, masalah lingkungan sekitar atau masalah pribadi. Ratno selalu tampil menghidupkan suasana dengan lontaran-lontaran permasalahan kehidupan yang cukup menarik dan bertanya tentang sisi pandang permasalahan yang dihadapi dari kaca mata iman. Selama ini, ia memang banyak melihat permasalahan dari sisi sosial ekonomi yang menjadi bidang keahliannya. Dan ia merasa perlu mencari sisi pandang lain, yaitu dari segi keimanan, agar dirinya makin terbuka wawasan keimanannya dan menjadikannya lebih arif dalam melihat permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi. Saya merasa bersyukur, dengan kehadirannya itu, suasana pengajian lebih hidup dan lebih semarak, meski hanya dihadiri oleh beberapa orang saja.
Sebagai keluarga muda, ia menyadari bahwa ia belum mapan secara ekonomi. Dan ia berusaha untuk mencapai ke arah itu. Ia merintis usaha kecil-kecilan berupa jualan Soto Surabaya. Sesuatu yang patut dikagumi adalah dia bertindak sebagai chef (koki) yang menentukan komposisi dari bahan-bahan atau bumbu yang harus digunakan. Juga tentang cara-cara pengolahan agar soto yang dihasilkannya adalah soto yang lezat yang memiliki cita rasa memuaskan. Ia menaruh minat terhadap masakan karena ia juga ternyata seorang kulliner (penikmat masakan).
Misi utamanya sebenarnya adalah memberdayakan bibi isterinya, seorang janda yang sudah ditinggal wafat oleh suaminya. Selain memberdayakan isterinya, dengan jualan soto itu, ia memberdayakan orang lain yang membantu bibinya dalam melayani pelanggan.
Dengan misi pemberdayaan itu, hampir setiap pagi sebelum ia berangkat ke kantornya di Pasar Minggu, saya menyaksikan Ratno dengan kaos putih dan kaca mata khasnya, mendorong gerobak berisi sediaan nasi dan soto ke tempat gerobaknya mangkal di depan pasar. Sungguh, orang yang tidak mengenalnya pasti akan mengira ia adalah orang biasa saja. Sangat sedikit kaum intelektual seperti Ratno yang mau mendorong gerobak berisi hantaran makanan. Tetapi saya berusaha mengambil hikmah dari apa yang terlihat. Boleh jadi dengan apa yang dilakukannya itu, penghayatannya terhadap masalah sosial ekonomi menjadi lebih kental dan mendalam. Hal ini tidak terjadi pada mereka yang hanya membaca buku belaka, tanpa berinteraksi langsung dengan masyarakat..
Ia menjalani kehidupan laksana air yang mengalir menemukan titik-titik terendahnya secara natural. Ia menyadari bahwa dengan kepindahannya ke Jakarta, berarti secara ekonomi ia memulai kehidupannya dari nol. Kemapanan yang ia alami di Malang, ia tinggalkan demi memulai kehidupan baru di Jakarta. Konsekuensinya, tuntutan pekerjaan apapun yang ia hadapi, ia berusaha mengerjakannya dengan ikhlas. Misalnya, dengan sepeda motor berkeranjang barang, ia kulakan aneka sayuran dan belanjaan setiap pagi untuk mertuanya yang berjualan sayur di rumahnya atau mengambil bahan-bahan buat jualan sotonya di pasar. Semua itu mungkin tidak ia kerjakan sewaktu berada di Malang. Baginya, semua itu adalah proses yang harus dijalani dalam rangka menjemput rezeki dari-Nya.
***
Ratno, adalah sedikit orang yang rendah hati dengan keilmuan yang dimilikinya. Di balik kerendahan hatinya, saya melihat ketajamanan analisis sosial ekonominya karena boleh jadi ia sering terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kerendah-hatiannya pula yang mendorongnya mudah bergabung dengan majelis keimanan, yang boleh jadi masih banyak orang menganggapnya tidak bermutu dan kurang menarik minat karena topik-topiknya dianggap konvensional.
Saya mengambil pelajaran, sifat-sifat seperti Ratno inilah yang mampu menghantarkan dirinya pada kehidupan yang lebih baik, pada perubahan dan peningkatan keimanannya. Bukan tidak mungkin, dengan penghayatan keimanan yang dimilikinya, maka misi pemberdayaan sosial ekonomi yang dimiliki Ratno akan makin menggumpal dan menjadikannya sebagai ladang amal untuk berbuat kebaikan, tidak sekedar sebagai bahan kajian demi kepentingan dunia semata.
Dalam sirah Nabawi kita belajar betapa orang-orang kafir Quraisy yang pada hakikatnya mengetahui kebenaran pada diri Muhammad Saw, mereka enggan mengikuti risalah kenabian beliau. Ketika Nabi Muhammad Saw mengajak mereka untuk mengucapkan sebuah kalimat (Syahadatain) yang dengan kalimat itu niscaya akan terbuka pintu-pintu kejayaan melebihi kejayaan yang miliki negeri Persia dan Romawi, mereka tidak mau melakukannya disebabkan ada benih kesombongan di dalam diri mereka.
Sifat sombong, adalah sifat yang menjauhkan hamba dari Rabb-nya. Sifat ini pulalah yang menjadikan Allah murka terhadap Iblis dan mengusirnya dari surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya, sifat rendah hati adalah sifat yang mendekatkan hamba kepada Rabb-nya dan menjadi pembuka jalan yang akan menghantarkan sang hamba menuju surga-Nya.
Kita belajar dari kisah sedih yang melingkupi diri Muhammad Saw, yaitu tatkala paman yang dicintainya -Abu Thalib, wafat tanpa bisa menyebutkan sebuah kalimat yang mana dengan kalimat itu Rasulullah Saw bisa menjamin kemulian hidup sang Paman di surga. Rasulullah Saw sudah berupaya keras menghantarkan sang Paman agar bisa memasuki surga-Nya. Namun Allah berkehendak lain. Tentu Allah membuat semua skenario itu untuk pelajaran kita semua. Janganlah ada benih kesombongan walau sebesar bijih sawi. Sesungguhnya kesombongan itu adalah pakaian-Nya. Sebaliknya, tumbuhkan sifat rendah hati, sebab sifat inilah yang mampu mendatangkan hidayah-Nya dan mendekatkan seorang hamba pada pintu surga-Nya.
Waallahua’lam bishshawab.
([email protected])