Maka, nikmat Tuhan-mu yang mana yang kau dustakan?" (QS Ar Rahman)
Mungkin, di antara kita sudah pernah melihat gambar-gambar tentang kebesaran Allah. Entahlah, saya tidak tahu harus berucap apa, tasbih, takbir, tahmid, ataukah taubat. Atau, justru mengucap keempat-empatnya lantaran takjub dengan kebesaran-Nya? Perasaan ini bercampur aduk.
Jelang subuh, saya buka kembali lembaran-lembaran dari Al-Hikmah. Mencoba memahami sesuatu yang dijadikan sebagai peringatan dan pertanda. Dunia sudah semakin tua. Namun, kita terkadang alpa untuk ikut merasa memelihara dua hal itu. Terkadang, kita lebih banyak tertawa dan sedikit menangis. Menangis merenungi dosa-dosa di tengah malam dengan mahabbah dan takut kepada Yang Mahasegala.
Jika rasa asyik sudah melanda, lalu waktu mampu melenakan kita, kita mungkin akan kehilangan sesuatu yang berharga. Yakni, membekali diri dengan amal sebagai persiapan menuju kubur. Hidup di dunia sudah sulit dan penuh cobaan. Semua ini cobaan. Susah-senang, jahat-baik, bahagia-sedih, sehat-sakit, kaya-miskin, pintar-bodoh, dan lain-lain adalah cobaan. Allah menciptakan cobaan seperti itu tidak lain agar semesta ini seimbang.
Hidup di dunia saja sudah dirasa susah. Apalagi jika kita sudah berada di alam kubur. Bahkan, untuk mati, lahan kubur sudah semakin sulit dan mahal. Hidup ini selalu saja banyak keanehan yang sulit dijabarkan dengan logika.
Ibarat kontrak, kita hanya menunggu waktu kontrak selesai. Kesepakatan sudah kita buat dengan Allah jauh sebelum kita lahir di dunia. Yakni, di alam roh yang kita masing-masing sulit mengingat-ingat.
Tak ada yang berhak merasa lebih daripada yang lain. Sebab, kita awalnya memang tidak punya apa-apa. Mati hanya berbekal kain putih beberapa meter, lalu jasad hancur membusuk setelah sekian lama digerus waktu. Masihkah kita akan lebih sering tertawa dan sedikit menangis untuk Allah?
Gambar-gambar tersebut membuat kesedihan saya di pagi buta itu semakin memuncak. Bohong jika saya tidak merasa takut. Sedangkan mendengar kumandang azan sudah membuat hati bergetar, apalagi melihat kebesaran-kebesaran Allah yang nyata-nyata ada namun sering membuat kita khilaf untuk bersyukur dan berucap ampunan.
Sebuah masjid kukuh seolah berdiri gagah sendiri di tengah sekelilingnya yang hancur akibat tsunami dahsyat yang melanda bumi Serambi Makkah pada akhir 2004. Lalu, kobaran api dari sumber semburan panas lumpur Lapindo yang membentuk asma Allah. Subhanallah.
Pohon yang ruku, gambar sarang lebah yang membingkai indah nama Allah, awan bertulisan Muhammad SAW dan beberapa gambar lainnya. Masihkah itu belum cukup untuk mencairkan hati kita yang telanjur sering absen dan menomorsekiankan pentingnya mengingat mati. Ya, sehebat apa pun manusia, jika napas sudah sampai di ujung tenggorokan dan lidah sulit berucap sepatah kata, hanya menyebut Allah yang bisa menenangkan saat sakit sakaratul maut tiba. Namun, itu pun pasti sangat sulit.
Berapa umur kita sekarang? Kita tinggal berhitung mengkalkulasi waktu-waktu yang hilang sia-sia. Sehat saat ini bukan jaminan kita tidak bisa mati sedetik kemudian. Berharap penyesalan tidak datang di akhir, tapi bagaimana mungkin? Bila semua sudah digariskan dan kita percaya akan ketetapan Tuhan, bukan berarti takdir tak bisa diubah.
Pernahkah Anda dengar tentang kisah pelacur yang masuk surga hanya karena memberi minum pada seekor anjing yang kehausan? Atau seorang pembunuh yang masuk surga hanya gara-gara menangis dalam tobat terakhirnya.
"Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali, mereka yang beriman dan beramal salih. Dan saling menasehati dalam kebaikan dan menasihati dalam kesabaran" (QS Al-Ashr).
Ah, waktu bisa sekeras sebongkah batu. Jika kita hampir mati, ia tak mau dipaksa berputar kembali agar sedikit saja kita menyebut Ar Rahman. Sepertiga malam yang dingin. Bertabur cinta dan aroma wangi surga. Melarutkan suasana dalam tepi batas logika di saat kita enggan bangun dari peraduan yang telanjur akrab.
Eko Prasetyo (Jawa Pos),
[email protected]