Sewaktu kuliah, sejak tingkat pertama saya mendapatkan amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan mushola fakultas. Tugas yang harus dilakukan adalah di antaranya menyelenggarakan event keIslaman yang diadakan setiap awal semester perkuliahan. Pasca kegiatan itu, kami harus menangani beberapa kelompok mentoring di fakultas yang telah terbentuk. Menjaganya agar tetap stabil, merekrut anggota baru, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pendukung. Aktivitas di departemen pembinaan ini bisa dikatakan cenderung monoton dan tidak kelihatan. Sebab memang tanggung jawab kami adalah untuk menjaga seluruh anggota kelompok mentoring agama Islam supaya meningkat pengetahuan keIslamannya, sekaligus melibatkan mereka dalam acara-acara kerohanian fakultas, baik dari lembaga manapun.
Saya ingat sekali, pada waktu disodori amanah tersebut, saya hampir menolak karena saya lebih suka mengerjakan pekerjaan yang sifatnya keluar, seperti yang dilakukan para anggota departemen pengkajian atau syiar mushola. Hobi saya menulis, mengerjakan pernak-pernik, membuat mading, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sepertinya mendukung saya untuk berada dalam departemen pengkajian mushola. Tetapi akhirnya saya menerima amanah untuk menjadi bagian dari departemen pembinaan, untuk empat tahun masa perkuliahan saya di kampus.
Betul sekali. Hingga saya lulus dari kampus, saya tidak diperkenankan melepaskan amanah tersebut, bahkan ketika saya berkeinginan untuk bergabung dengan lembaga dakwah tingkat universitas. Memang tugas yang akhirnya saya emban semakin berat, sebab tidak saja menjadi anggota departemen pembinaan, melainkan juga akhirnya menjadi ketua forum mentor, dan amanah-amanah lain yang berkaitan dengan itu. Saya juga menyadari, bahwa amanah yang cukup berat seperti itu tidak bisa disambi dengan yang lain, sebab hanya akan menjadikannya terbengkalai.
Jenuh. Saya sempat merasakannya. Apalagi ketika posisi saya tidak lagi menjadi seorang ‘bawahan’. Menghadapi anggota yang sedikit malas, tidak mengerjakan amanah dengan baik, merasa tidak kreatif dan tidak memiliki ide untuk memecahkan masalah, dan setumpuk lainnya yang pastinya saya selalu hadapi. Empat tahun. Dan saya tetap bertahan. Bahkan saya menemukan sebuah lingkungan baru, walau masih dalam amanah yang sama, di mana ketua dan para anggotanya memiliki hubungan yang saya dekat. Saya menjadi bagian dari departemen pembinaan tingkat universitas. Saya selalu ingat, bahwa ketika akhirnya saya kembali menjadi ‘bawahan’, saya dan teman-teman pun terkadang membandel. Tapi si ketua sungguh memiliki cara sendiri untuk membuat kami makin mencintai amanah tersebut. Saya tidak pernah akan melupakan saat-saat terakhir menjalani amanah itu, hingga saya lulus kuliah, bekerja dan melepaskan amanah itu untuk kepengurusan selanjutnya.
Tahun 2004 akhir, saya mendapatkan amanah baru lagi, dalam bidang yang sangat berbeda dari yang pernah saya jalani di kampus. Tetapi keikutsertaan saya dalam organisasi ini sungguh merupakan hal yang saya sangat inginkan. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Bekasi. Niat saya bergabung adalah ingin belajar dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari pertemuan rutin yang biasa dilakukan. Tetapi ternyata Allah memberikan saya amanah yang cukup besar lagi kepada saya. Saya menjadi ketua FLP Bekasi. Membawahi kepengurusan yang langsung dibentuk setelah pembentukan kembali FLP Bekasi, dan melakukan perekrutan serta memberikan pelatihan kepada anggota baru. Berarti termasuk untuk diri saya sendiri.
Duduk melingkar di selasar masjid Islamic Center Bekasi setiap dua minggu sekali, membahas beberapa topik kepenulisan, membuat games dan simulasi seadanya, berusaha menjaga kuantitas peserta training, dan memberikan motivasi kepada mereka untuk menulis. Setahun pertama benar-benar tidak mudah. Kepengurusan pun direstrukturisasi ketika tengah tahun pertama karena ada beberapa yang tidak efektif. Anggota datang dan pergi, materi training diberikan dengan coba-coba sebab kurikulum dibuat sendiri, saya berjalan hampir terseok-seok dan merasa sulit sekali memberikan pencerahan dan pengembangan bagi organisasi ini.
Sempat suatu kali, ketika saya mengisi materi di pertemuan rutin itu, saya berada dalam kondisi yang nyaris ‘di bawah’. Saya merasa jenuh, sedikit kecewa dengan keaktifan pengurus yang hanya beberapa gelintir saja, namun harus dengan ceria menghadapi anggota yang masih antusias hadir dan menimba ilmu. Alhamdulillah, pada tahun pertama jumlah anggota yang rutin hadir sekitar lima belas orang. Dan itu berjalan cukup stabil, walau sempat berganti-ganti muka. Tetap saja, saya merasa stagnan dan nyaris tidak tahu harus berbuat apalagi untuk membuat organisasi ini lebih dinamis. Saya merasa sangat bosan.
Pada hari itu, malam harinya, saya merenungi kembali dua jam training yang telah saya hadiri di siang harinya. Saya sedang mencoba menata kembali hati saya dan berintrospeksi. Tiba-tiba saja sebuah sms masuk.
“Teh Vita, selama ini saya sering merasa jenuh dan tak bersemangat dengan segala kesibukan saya. Tapi hari ini saya sadar bahwa tugas seorang ketua sungguh lebih berat. Ia harus menjadi ruh bagi para anggotanya. Tetep semangat ya, Teh! Cayo!”
Saya tertegun cukup lama. Pesan itu datang dari Adnan, salah seorang anggota yang cukup komit dan sebenarnya cukup sering memberikan saya semangat seperti itu lewat sms. Kali itu Adnan bukan saja memberikan saya semangat, melainkan juga memberikan sentilan bagi diri saya.
Menjadi ruh. Istilah tersebut terngiang-ngiang terus-menerus. Dan saya tidak lagi merasa berat dan payah akan beban yang tadinya sempat membuat saya hampir ‘terjatuh’. Kalau saya bisa memberikan semangat kepada teman-teman saya di organisasi, dan apa yang saya sampaikan bisa menyuntikkan motivasi bagi mereka, sepertinya saya yang akan merasa benar-benar bahagia.
Memang benar, sebuah jamaah tidak akan bisa bergerak tanpa seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin tidak akan bisa melaksanakan tugasnya tanpa jamaah yang taat kepadanya. Pemimpin selemah apapun akan mampu melakukan tugasnya bila dibantu oleh jamaah yang kuat dan mendukungnya. Dan saya perlu menambahkan, bahwa sebenarnya yang menjadi ruh bukanlah hanya seorang pemimpinnya saja. Bahkan seringkali ruh itu didapat dari para anggota yang, secara sadar atau tidak, turut andil memberikan semangat di kala pemimpin sedang lemah.
Wallahu A’lam