Ah, siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu membosankan, bahkan membuat stres? Tidak benar lah itu!
Setidaknya, itu yang saya rasakan saat ini. Selepas saya resign dari sebuah kantor, saya kini tinggal di rumah. Ibu rumah tangga, demikian gelar yang saya sandang. Orang bilang tanpa gaji. Tapi saya yakin, insyaAllah, saya mendapatkan lebih dari sekedar gaji.
***
Benar. Memutuskan untuk sampai di titik ini adalah sebuah perjuangan berat. Saya bahkan rela “berpisah” dari suami, sendiri di rantau dalam kondisi hamil dan dengan seorang balita pula. Saya keukeuh mempertahankan status sebagai seorang wanita karir masa itu. Meski beberapa kali anak menyatakan kangen dengan sang ayah, hati saya tetap tak bergeming.
Saya menyukai peran saya sebagai ibu sekaligus perempuan yang berkarya di luar rumah. Sungguh nikmat! Saya mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan semua keinginan hati. Saya juga banyak membantu ekonomi rumah tangga, setidaknya, begitu ungkap tulus si ayah, panggilan saya untuk suami tercinta. Belum lagi lambaian tangan si sulung dan doa yang mengalir dari bibir mungilnya, ketika saya berangkat ke luar kota. Hmmm, sungguh sebuah perpaduan indah yang tidak ingin saya tanggalkan.
Seiring berjalannya waktu, si sulung mulai belajar protes. Dia enggan ditinggal sendiri. Seperti kawannya di TK, ia ingin diantar mama. Mau main sama mama. Ingin selalu bisa tidur bareng mama. Tidak mau mama pergi keluar kota, apalagi sampai menginap.
Sebagai ibunya, tentu saya tidak bisa mengacuhkan permintaan bocah kecil saya. Otak mulai berpikir untuk membujuknya melupakan keinginan-keinginan mustahil itu. Bagaimana pun, saya masih ingin menjadi wanita karir. Masih mau terus keluar rumah tiap pagi, dan pulang sore hari dengan membawa oleh-oleh untuk buah hati. Masih ingin menikmati rasa ‘diakui lebih’ oleh masyarakat sekeliling.
Lantas suatu ketika saya berandai-andai. Jika saya resign, tentu hilang semua kenikmatan itu. Tentulah saya tak lagi dapat menebus segala ingin hati dengan uang yang saya dapatkan secara mandiri. Pasti saya akan nampak kurus kering, lusuh, kumel… dan tak lagi chic! Saya juga akan stress karena hilang 8 jam kesibukan yang biasa saya kerjakan di kantor. Saya akan kehilangan masa untuk terus mengembangkan diri. Saya akan nampak amat ketinggalan zaman ketika bergabung kembali bersama kawan-kawan dekat yang masih menjadi wanita karir. Hiii! Saya ngeri membayangkan semua itu. Maka mulailah saya melancarkan jurus jitu.
Saya bawakan kue dan mainan kesukaannya, lalu saya pun memintanya untuk tak lagi merengek. Saya katakan padanya: mungkin semua kue dan mainan ini tak lagi akan menjadi oleh-oleh setiap sore jika mama tidak bekerja. Dia pun menurut.
Beruntung! Protes berikutnya yang ia lancarkan, membuat saya berpikir seribu kali untuk tetap melanjutkan niat saya. Suatu sore, selepas mengantar si ayah berangkat kembali ke kota tempatnya bekerja, anak saya berlari menuju kalender yang tergantung di dinding kamar. Sambil komat-kamit, jarinya sibuk menunjuk angka-angka yang berderet di bulan Desember 2006, waktu itu. Sebelumnya saya tidak paham apa maksudnya.
Tapi kemudian, jantung saya serasa berhenti berdetak saat ia, dengan suara lantang mengatakan, “Alhamdulillah, kurang tiga puluh hari lagi ayah datang! Asyik, nanti kalau ayah datang kita mau ke mana, Ma?”
Saya tak lagi bisa berkata-kata. Segera saya rengkuh sang buah hati. Memeluknya dengan erat hingga ia tertawa. Mungkin, ia geli dengan sikap mamanya.
“Maafkan mama, Nak! Mama janji, mama akan segera atur supaya Iq dan adik, bisa terus bertemu mama. ” Janji itu pun terlontar tanpa pemikiran panjang. Ya, demi mereka, putra saya dan adiknya yang baru berusia dua bulan, saya harus meninggalkan semua yang semula saya anggap sebagai sebuah kenikmatan.
Maka saya pun segera mengatur langkah, supaya dapat meninggalkan kantor pada saat yang tepat tanpa menyisakan tugas dan kewajiban. Tekad saya tak lagi pasang surut! Saya menafikan semua penyesalan orang sekitar ketika saya ungkapkan rencana saya.
“Ih, sayang sekali kalau harus keluar kerja. Sekarang mah susah cari kerjaan, jangan keluar atuh, Neng!” mayoritas mereka mengatakan hal ini. Sayangnya, hati saya sudah bulat. Masa depan dua anak kami adalah alasan terkuat. Dan itu teramat sangat penting. Dengan mengucap basmalah, saya azzamkan untuk memulai pemikiran baru tentang seorang ibu rumah tangga.
***
Dan sekarang, insyaAllah semua kekhawatiran saya benar-benar tak mewujud. Meski saya tak lagi melihat kekaguman dari lawan bicara ketika saya bilang saya adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah, sekali lagi saya katakan bahwa semua ketakutan saya tidak beralasan.
Saya masih bisa tampil chic. Masih bisa menambah wawasan dan mengembangkan diri, meski bukan di sebuah lembaga resmi bernama kantor. Saya tidak pernah kebingungan menghabiskan waktu karena seluruhnya telah tercurah untuk dua jundi yang semakin beranjak besar. Saya bisa menggeluti hobbi! Bahkan, kata si ayah, saya nampak semakin cantik kian hari.
Walaupun saya tak lagi menerima gaji tetap, ternyata, rizki saya tidak berkurang. Allah alirkan lebih malah, melalui peluh si ayah. Kini, saya serasa menjadi ratu!
Oleh karena itu, di akhir tulisan ini izinkan saya luapkan syukur dan terima kasih terdalam, untuk Allah Yang Maha Pemurah. Dialah pembuka pintu hati yang tertutup rapat kala itu, hingga dengan mudah janji terucap.
Juga terima kasih, kepada dua malaikat kecil yang selalu menghiasi hari dan menjadi semangat menyala dalam hidup saya.
Si ayah yang selalu mendorong untuk terus maju, dalam berpikir dan bertindak, serta terus mencintai saya dengan tulus, karena Allah. Pun kepada keluarga besar, yang senantiasa hadir dengan doa dan dukungan dalam setiap denyut nadi saya.
Subhannallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar!
antariksa0102@yahoo. Com Kolej Perdana, menjelang subuh!