Menikah, Sulit?

Dalam suatu sesi diskusi di kelas bahasa Jepang, sensei memberi kami tema tentang "Bila pernikahan tidak disetujui ortu, apakah anda akan tetap menikah?”  Topik ini lumayan mendapatkan perhatian dari teman-teman sekelas yang selalu bosan mengikuti kelas percakapan di siang yang melelahkan. Tema  ini sangat  cocok untuk anak muda. Apa lagi di antara teman-teman sekelas yang bertiga belas orang orang itu, hanya saya sendiri yang sudah menikah, alias lebih senior dari yang lain.

Awalnya diskusi berjalan biasa, setiap orang mengungkapkan pendapatnya. Ada yang memilih tetap melakukan pernikahan, ada juga yang mengungkapkan dengan pasti bahwa ortunya tidak akan menentang pernikahannya. Saya sendiri yang menikah dengan smooth meskipun tanpa proses pacaran mengungkapkan orang tua saya ok-ok saja ketika saya menikah, lancar seperti jalan tol.

Selanjutnya diskusi semakin menjauh dari tema inti. Teman-teman yang kebanyakan masih berusia di awal 20-an mengungkapkan bahwa mereka suatu saat ingin menikah, tapi sekarang masih ingin memuaskan keinginan-keinginan pribadi. Seperti bekerja, mengumpulkan banyak uang dan pergi ketempat-tempat terkenal di dunia. Karena itulah mungkin, usia pernikahan semakin lama semakin menua. Di Jepang saja rata-rata usia pernikahan kira-kira 29 tahun untuk perempuan dan 35 tahun untuk laki-laki.

"Kalau menikah, pasti akan sulit melakukan hal-hal yang menyenangkan" kata seorang teman.

Teman laki-laki yang berasal dari Norwegia langsung menukas, "kenapa? saya tidak keberatan kalau isteri saya kelak punya keinginan untuk bersenang-senang sendiri".

Teman perempuan saya yang lain mencibir,"saya tidak percaya kalau ada laki-laki yang mau memberi kebebasan kepada isterinya seperti itu"

Wah diskusi mulai memanas nih…dua pola pikir yang berbeda, dari barat dan dari timur. Yang satu menganut kebebasan, satu lagi sangat paham tentang ketatnya aturan-aturan rumah tangga, yang biasa ada di dunia timur.

"Bagi saya, pernikahan itu sesuatu yang mengikat, tidak bisa bebas lagi menikmati hidup, makanya saya tidak ingin menikah" Ujar teman dari Canada, yang berdarah Taiwan.

Selanjutnya teman laki-laki dari eropa tadi berkata, "karena itu sebelum menikah kita harus saling mengenal dulu yang lama, bahkan kalau bisa tinggal bersama" ujarnya.

Wah sudah mulai melenceng nih, seru saya dalam hati. "Mungkin pola pikir kita berbeda. Saya sendiri, tanpa melewati proses hidup bersama sebelum menikah pun, sampai saat ini pernikahan saya lancar-lancar saja. Tidak ada masalah-masalah besar," Tukas saya cepat.

Teman dari Canada berbalik ke arah sensei , dan bertanya, "Sensei, apakah sensei setelah menikah tidak mendapat masalah dengan suami sensei?"

"Tentu saja ada,” Jawab sensei sambil tersenyum. Mungkin maklum juga dengan keingintahuan muridnya yang masih sangat muda-muda itu. “Suami saya orang yang sangat memelihara kebersihan, dan sangat sangat kibishii (ketat) dalam hal ini. Di awal-awal setelah menikah, meskipun saya sudah membersihkan rumah, tetapi suami saya selalu mengeceknya lagi dan mengkritik hasil kerja saya yang bagi dia kurang bersih.” Sensei berhenti sejenak, memperhatikan reaksi murid-murid di depannya.

“Tetapi setelah berjalan setahun, masing-masing pihak sudah bisa saling beradaptasi" Ujar sensei.

Karena sensei tahu, hanya saya yang sudah menikah di kelas itu, sensei bertanya pada saya."Kalau kamu sendiri, sesudah menikah, bagaimana rasanya? apakah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk?" tanya sensei.

"Saya rasa saya menjadi lebih baik dari sebelumnya" Ujar saya. "Misalnya, sebelum menikah, saya orang yang keras kepala, kurang peduli dengan orang lain. Tapi setelah menikah, saya bisa jadi lebih memahami orang lain. Dan sekarang lebih mempertimbangangkan keluarga saya dalam mengambil keputusan-keputusan" tambah saya.

Perbincangan bergulir ke arah perceraian setelah menikah. Ternyata di negara teman laki-laki yang berasal dari Norwegia itu, tingkat perceraian sangat tinggi, mencapai 50% .”berarti tidak ada hubungan antara mengenal luar dalam lebih dulu sebelum menikah, dengan kelanggengan pernikahan ya….” Batin saya. Lalu di Jepang pun angka perceraian meningkat pesat belakangan ini. Begitu juga di Korea, sampai-sampai pemerintah Korea membuat kebijakan untuk membawa kasus perceraian ke pengadilan, untuk mempersulit proses perceraian.

Di Jepang bila pasangan suami isteri ingin bercerai sangat mudah. Mereka tinggal mengisi kolom perceraian yang diambil di shiyakusho (kantor pemerintah) lalu bercerai begitu saja. Tentu saja mereka harus membagi harta menjadi dua bagian sesuai kesepakatan mereka.

Akhirnya saya bilang" Sensei, menurut saya, yang sangat penting dalam suatu pernikahan adalah, masing-masing pihak harus menyadari kalau mereka sedang mengambil tanggung jawab yang berat. kalau itu disadari oleh setiap pasangan, saya yakin pernikahan itu akan baik-baik saja."

Sensei mengangguk setuju dengan pendapat saya. Saya tidak tahu dengan teman-teman yang lain. Mungkin mereka masih harus menyerap, melihat dan belajar lebih banyak tentang dunia pernikahan.

Dalam islam sendiri, para pemuda disarankan untuk segera menikah agar bisa tetap manjaga kesucian diri. Pernikahan adalah perjanjian yang berat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Bukan suatu hal yang main-main.

Bagi saya pernikahan adalah suatu proses dan juga sarana yang bisa menjadikan saya lebih baik dari waktu ke waktu. Pernikahan juga membuat saya bisa menjalani hidup ini dengan tenang, karena memiliki tempat berbagi, tempat mencurahkan kasih sayang, dan tempat memperkaya batin saya dengan pelajaran memaafkan.

Ya, memaafkan. Bagi diri saya sendiri yang masih sangat tidak sempurna menjadi ibu dan isteri yang baik di keluarga saya. Bagi anak-anak saya yang masih harus mengenal a ba ta tsa kehidupan. Dan bagi suami saya yang masih belajar menjadi pemimpin dalam menjalankan bahtera rumah tangga ini, agar semua penumpang selamat sampai ke tujuan. Meraih keabadian syurga di akhirat kelak. Allahumma amiin.