Mengupas Realita, Membalut Duka Bangsa

Tolong koreksi! Sejak kecil, saya merasa sudah ‘didoktrin’ untuk menyintai lagu-lagu kebangsaan. Tentu saja saya belum mengerti apa maksud semua ini. Mulai duduk dari kelas satu Sekolah Dasar, setiap hari Senin, kecuali hujan deras atau liburan, saya selalu diajarin disiplin untuk mengikuti senam, upacara, mengibarkan bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengheningkan cipta, mengenang jasa pahlawan yang telah gugur, mendengarkan petuah dan nasihat kepala sekolah dengan penuh khidmat, hingga yang namanya Pramuka.

Sejak Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Menengah Atas bahkan sesudah masuk Perguruan Tinggi sampai-sampai di tempat kerja pun, yang saya kira akan berakhir kegiatan rutin semacam upacara, ternyata masih berlangsung terus. Saya masih menyanyikan lagu-lagu kebangsaan tersebut…dan saya memang hapal betul…….”Mau dijadikan apa ya saya ini sebenarnya?” Begitu bisikan hati saya.

Sesudah memasuki perguruan tinggi, kesadaran saya bertambah tentang apa artinya dari dulu kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, Satu Nusa Satu Bangsa, Mengheningkan Cipta, Upacara dan berbagai pelajaran yang menyangkut kewarganegaraan.

Barangkali begini maksudnya: supaya orang-orang di negeri ini menyintai negeri dan tanah tumpah darahnya.

Lagi-lagi , saya ragu, pasti di balik ini semua ada ‘kosepnya’.

Tapi, kesadaran saya juga bertambah……kalau hanya untuk menyintai negerinya, mengapa anak-anak kok harus diajari menyanyi lagu kebangsaan, mengibarkan bendera, mengheningkan cipta atau seringkali upacara ya? Apa hakikat semua kegiatan ini serta apa kaitannya dengan cinta tanah air jika tidak diikuti oleh langkah-langkah konkrit? Misalnya saja, kalau mau mendidik kami bangsa ini supaya pandai bertani, ya….ajarkan kami kejujuran dari dini, mulai dari guru dan orangtua, gerakkan menanam padi, kelapa serta ajari bagaimana mengolah tanah buat kepentingan lainnya. Jika ingin negara ini menelorkan generasi yang pandai dalam pergaulan internasional, ya ajarkan anak-anak yang sekolah di madarasah berbahasa Arab, bahasa Inggris juga diwajibkan tanpa melupakan Bahasa Indonesia. Atau, kalau ingin agar generasi bangsa di masa datang menjadi orang-orang yang cinta lingkungan ya ajari kami di IPB tentang bagaimana menyiptakan lingkungan hijau. Masih banyak agenda istimewa lain dalam kacamata saya sebagai seorang warga kelas rendah.

*****
Kegiatan rutin masa kecil dan muda saya di Indonesia tersebut baru berakhir setelah pindah kerja ke luar negeri. Wawasan saya bertambah tentang pergaulan internasional. Bagaimana hidup dan kehidupan orang-orang di seberang sana. Saya heran…di Kuwait, United Arab Emirates, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain, Oman, bahkan rekan-rekan yang berasal dari Filipina, India, Pakistan, hingga Amerika Serikat, kok orang-orang ini beda ya? Ya tentu saja beda karena mereka memang bukan orang Indonesia! Maksud saya, mereka sejak kecil tidak mengalami pendidikan yang serupa……

Jadi, ahli-ahli pendidikan di Indonesia itu dulu belajar dari mana ya? Kembali lagi hati saya tergelitik ingin tahu. Tapi saya yakin, orang kita pasti pandai mencari hikmah, seperti yang diajarkan dalam Hikmah Pagi di TV-TV.

Sesudah di sana….saya baru mengetahui dan menyadari, ternyata pendidikan yang saya tempuh lebih dari 15 tahun di Tanah Air, tidak lebih dari polesan yang implementasinya amat kurang….saya tidak melihat buah dari pendidikan kita amat berarti serta memberikan keuntungan yang besar terhadap Bumi Pertiwi ini ketika saya berada di luar negeri. Kita ternyata tidak dididik untuk jadi manusia-manusia pintar dan berkualitas.

Kita diajari Bahasa Indonesia dari kecil, tapi manusia ahli dalam Bahasa Indonesia amat langka. Kita dari dulu diajari menyanyi, tapi dalam kontes-kontes musik internasional, kita kalah sama Filipina, dang-dut nya India, Jepang apalagi Amerika yang jarang nyanyi waktu sekolah. Kita selalu ada pelajaran olah raga, tapi di tingkat ASEAN saja, kita selalu di bawah peringkatnya. Kita diajari dari dulu arisan dan tetek-bengek kesejahteraan sosial, tapi hingga kini banyak orang melarat. Kita selalu mendapatkan pelajaran keterampilan, tapi sampai kini banyak orang yang nganggur. Kita dari dulu mendapatkan pelajaran agama, tapi begitu banyak yang tidak mengerjakan salat. Kita dari kecil diajari jujur, tapi korupsi di mana-mana. Kita selalu mengagungkan lagu-lagu persatuan, eh…..malah partai politik yang bentrokan merajalela.

Barangkali kelebihan kita orang Indonesia adalah orang kita paling menyintai nusa, bangsa dan bahasanya. Manusia Indonesia lah di dunia ini yang paling banyak mengibarkan benderanya di depan rumah dalam banyak peristiwa. Anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan tentang kenegaraan, agama, moral dan lagu-lagu kebangsaan sepanjang masa pendidikan mereka, melebihi China, negara terbesar di dunia. Anehnya, China yang tidak memberlakukan pelajaran agama, malah pelaku korupsi dihukum mati yang di Indonesia justru ‘disanjung’. Dan produk China (termasuk manusianya) juga diekspor ke Indonesia.

*****
Empat hari lalu, saya menghadiri sebuah forum HSE minyak dan gas tingkat regional di Timur Tengah di sebuah hotel berbintang lima di Doha. Saya datang lebih awal, sekitar satu setengah jam sebelum acara pembukaan dimulai. Kami, peserta konferensi, satu per satu didaftar dan diterima oleh seorang receptionist cantik, tinggi semampai, berkulit putih dan berambut pirang, dengan logat yang saya tangkap berasal dari Eropa Timur. Ada dua-tiga orang kulit putih yang menurut saya, sebagai event coordinator.

Sesudah mendaftar, saya masuk ke ruang breakfast. Saya melihat sebagian besar karyawan perusahaan yang menyeponsori event tersebut sibuk dengan berbagai urusan. Mereka rata-rata berkulit putih. Beberapa orang saya lihat asal India, Arab dan satu atau dua orang yang hemat saya dari Malaysia atau Singapore. Yang jelas bukan dari Indonesia. Bahasa yang digunakan tentu saja Inggris. Saya tidak mendengar, sekalipun sesama orang Arab, berbicara bahasa Arab di ruang tersebut.

Acara dibuka tepat jam 9 pagi. Presiden penyelenggaranya, utusan dari sebuah perusahaan asing di Yaman, orang Inggris. Tidak kurang dari sepuluh menit, pria yang menjabat sebagai direktur sebuah perusahaan minyak dan gas bumi terkenal di Yaman tersebut memberikan penjelasan. Acara kedua dan ketiga, masih pada hari pertama, diisi dengan Workshop, juga pembicaranya orang kulit putih. Sesudah istirahat, orang kulit putih pula yang mengisi presentasi, hingga makan siang. Pada waktu istirahat, seorang berkulit putih pula yang mempersilahkan kami makan siang di lantai bawah.

Memasuki hari kedua, ketiga dan keempat, jika saya hitung, tidak kurang dari 20 orang pembicara. Dari jumlah tersebut, dua orang Arab sebagai presenter, 3 orang India, selebihnya, 15 orang orang-orang kulit putih. Padahal dari anggota yang hadir, barangkali hanya 10% nya saja orang kulit putih. Dalam hati saya sempat bertanya: “ Jangankan mampu serta dipercaya untuk memimpin acara-acara seperti ini. Untuk mengatur acara atau jadi penerima tamunya saja jika di negeri orang, kapan ya orang Indonesia?”

*****
Dalam banyak kesempatan yang saya tahu, kenapa setiap acara yang level nya seperti di atas, selalu dipercayakan kepada orang kulit putih? Mulai dari penyelenggara yang mengorganisasi seluruh kegiatan, tempat pemondokan, makanan, minuman, hingga pembicara. Orang kulit putih dianggap sebagai alamat yang tepat. Orang kulit putih dianggap orang yang layak untuk mengelola acara-acara tingkat regional dan internasional. Orang kulit putih adalah primadona dari semua agenda.

Saya terkadang ‘malu’ jadi orang Indonesia manakala harus berdiri di antara mereka. Tidak usah membandingkan kualitas hasil pendidikan kita dengan kulit putih di Australia atau Eropa dan Amerika. Banglades saja, yang katanya melarat dan banyak diguyur banjir, manusianya bisa memenangkan hadiah Nobel. Negara-negara kecil seperti Kuwait juga mampu menelorkan manusia-manusia yang handal dalam persepak-bolaan. Qatar yang negaranya sebesar Pulau Madura juga bisa mendidik manusianya yang tidak lebih dari 1 juta penduduknya untuk mampu membayar tenaga kerja dari luar, serta menghasilkan minyak dan gas bumi terbesar di dunia. Si kecil Singapore, juga jadi tempat melancong popular serta tempat cari obat bagi bos-bos negeri kita. Jadi, tidak perlu yang muluk-muluk seperti helicopter atau kemajuan teknologi lainnya. Kenapa kita yang kaya kayu saja misalnya, kita tidak mampu menjadi produser mebel terbesar di dunia?

Dalam momen-momen internasional, kualitas Bahasa Inggris kita masih diragukan. Dokter dan insinyur kita jebolan perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini, masih belepotan ‘Tenses atau Grammar’ nya. Turis jadi kewalahan kalau harus pergi ke Indonesia karena di mana-mana petunjuk jalan dan informasi, masih terlalu cinta dengan satu bahasa. Kalau kita pandai berbahasa Inggris, dibilang sok kebarat-baratan. Tapi kalau pakaian kita memegang adat ketimuran, katanya kolot dan kurang gaul!

*****
Duh…… Bapak Menteri Pendidikan yang akan dilantik…..kepada siapa orang seperti saya ini harus mengadu jika menyangkut kualitas pendidikan kita yang terlalu banyak dihiasi dengan acara-acara ‘ritual’ seperti aneka upacara, senam dan ‘irrelevant study materials’ ini?

Saya melihat di luar negeri sana, anak-anak Pakistan, India, Banglades, Arab, Inggris atau Amerika Serikat, tanpa banyak dijejali dengan program-program seperti di negeri ini selama sekolah, mereka amat menyintai negaranya.

Tengoklah di luar jendela sana! Mereka jadi pinter bersaing di dunia ini. Mereka juga bukannya tidak beriman lantaran tidak diajarkan pelajaran agama di sekolah. Di India, anak-anak tidak diajari agama di sekolahnya, tapi lihatlah pakar Agama Islam yang asal India! Membludak di Saudi Arabia! Buku-buku karya mereka juga banyak yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Lihatlah sepak terjang mereka dalam kanca internasional! Sebaliknya, pernahkah anda membaca terjemahan karya orang kita di luar negeri sana? Barangkali ada saja, misalnya Riwayat Soeharto atau kehidupan Bung Karno. Tapi anda tahu, siapa pengarangnya? Pasti bukan orang kita. Aneh kan?

Di negeri ini, supaya bisa berbahasa Inggris lancar saja, ternyata harus belajar di Amerika, Inggris atau Australia yang nota bene hanya didominasi oleh orang-orang Indonesia yang kaya. Sedangkan masyarakat kita yang miskin, harus puas kalau menjadi teknisi, staf bawahan atau pembantu rumah tangga, serta mengikuti kursus-kursus Inggris murahan di dalam negeri.

Rasanya tidak etis mengupas terlalu banyak lobang-lobang yang ada dalam sistem pendidikan kita di negeri ini. Tapi kalau tidak diungkap, bagaimana kita akan tahu kelemahan diri sendiri serta kapan ada upaya untuk memperbaikinya?

Kita memang terlalu asyik dengan apa yang ada dan atau yang sedang terjadi. Jika kita mau serius, kayaknya tidak bakal terjadi yang namanya Pesta Dangdut di Doha, dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun RI ke 64, tanggal 23 Oktober 2009 ini.

Kok masih bisa-bisanya ya, orang kita yang di Qatar sana (tentunya mendapat restu dari KBRI), mengundang Evi Tamala dan berjoget bersama, sementara saudara kita di Ranah Minang tengah meratap pedih di bawah reruntuhan gempa? Saya katakan mendapat restu karena tempat berjogetnya ya persis di depan Gedung KBRI. Inikah salah satu buah dari kualitas pendidikan anak bangsa yang konon amat santun serta teguh dalam memegang adat ketimuran ini? Astaghfirullah!

Tolong koreksi saya!

22 October 2009

[email protected]