Menghibur dan Menenangkan Jiwa

Saya dapat e-mail dari sahabat saya dari Lampung. Dia mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini, jiwanya merasa gundah dan galau. Dia merasa bahwa ia sedang diuji oleh Allah SWT apakah ia akan tetap istiqomah dalam keimanannya atau tidak. Ujiannya nampak sepele, yakni isterinya sering keluar rumah tanpa memberitahu atau izin dari dia selaku suaminya. Dia yakin bahwa ia keluar bukan untuk maksiat, bahkan sangat mungkin ia keluar demi menyebarkan kebaikan karena isterinya itu adalah seorang daiyah. Sahabat saya menjadi gundah dan galau karena merasa tidak dihargai posisinya sebagai seorang suami.

Dia menulis bahwa jika dia mengungkapkan problem dirinya itu dihadapan teman-temannya di Lampung, ia dianggap tidak bersabar dan belum bisa menerima kenyataan yang dihadapinya. Ia makin galau karena merasa tidak memiliki tempat yang cocok untuk mencurahkan perasaan. Dia sebenarnya menyadari bahwa pada hakikatnya, isteri dan anak-anak adalah milik Allah SWT. Jangankan untuk sekedar pergi ke luar tanpa pamit, pergi untuk selamanya tanpa terduga pun, ia harus siap menerima kondisi itu. Namun ia membutuhkan nasehat yang bisa menenangkan jiwanya. Ia membutuhkan penegasan bahwa apa yang dirasakannya adalah hal yang wajar dan manusiawi.

Ia akhirnya menulis e-mail ke saya, minta nasehat agar dia bisa menata hati.

***
.
Al-Jauzi mengatakan bahwa manusia itu menempuh beban yang berat. Yang paling berat adalah menaklukan hawa nafsu, bersabar untuk tidak melakukan apa yang disenangi dan bisa mengatasi apa yang dibenci. Oleh karena itu, cara yang benar untuk menjadikan diri kita bersabar menghadapi semua itu ialah dengan cara menghibur diri dan menenangkan jiwa.

Di antara hal yang bisa menghibur diri dan menenangkan jiwa adalah berprasangka baik, utamanya adalah berprasangka baik kepada Allah SWT yang kemudian lahir dari sifat itu berprasangka baik terhadap isteri, berprasangka baik kepada saudara, dan berprasangka baik kepada lainnya.

Allah SWT berfirman,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ” (QS 2:216).

Sahabat saya itu mengalami hal yang tidak menyenangkan, isterinya pergi tanpa memberitahu dirinya padahal anaknya sedang mengalami demam panas yang memerlukan penjagaan sang ibu. Jika prasangka baik tidak dikedepankan, sahabat saya itu boleh jadi akan memarahi habis-habisan isterinya. Namun dengan prasangka yang baik, maka lahirlah dugaan bahwa boleh jadi, kepergiannya itu untuk sesuatu yang lebih besar manfaatnya, menyangkut keselamatan dan kemaslahatan banyak orang. Kita tidak mengetahui segala sesuatu, termasuk tabir hikmah yang menyelimuti suatu kejadian yang tidak menyenangkan bagi kita. Maka kewajiban kita adalah berprasangka baik kepada Allah SWT, karena Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu itu.

Ya, segala hal jika dikembalikan kepada prasangka yang baik, pasti tidak akan membawa malapetaka. Bayangkan andaikan sahabat saya itu memiliki prasangka buruk, misalnya menuduh isterinya mulai berselingkuh atau tidak memiliki perhatian terhadap keluarga dan lain-lain, tentu bahtera rumah tangga bukannya bertambah baik melainkan akan bertambah runyam.

Syaikh Hasan Al-Bana sering mengulang-ulang kata hikmah, ”Carilah udzur hingga tujuh puluh udzur untuk saudara Anda. Jika Anda tidak menemukan udzur, katakan, ‘Barangkali ia mempunyai udzur yang tidak aku ketahui’. ” Seorang isteri pada hakekatnya adalah saudara kita sebelum kita menikahinya. Dengan menjadi isteri kita, maka dia tidak hanya memiliki hak ukhuwah tetapi juga hak seorang isteri yang harus diperlakukan dengan baik. Oleh karenanya, prasangka baik kepada isteri harus lebih diutamakan dan diprioritaskan dibanding saudara atau pihak lain.

Prasangka baik juga bisa ditujukan kepada sesuatu. Kita memiliki prasangka bahwa sesuatu itu milik kita, padahal sesuatu itu sebenarnya bukan milik kita, tetapi milik Allah SWT. Tidak jarang, problema terjadi karena kita memiliki persepsi yang salah bahwa apa yang kita cintai adalah milik kita. Misalkan kita mengalami kecopetan atau kecurian handphone. Siapapun yang mencintai handphone itu —karena berharga mahal dan berfitur canggih—pasti akan merasa sangat kehilangan. Namun jika kita menyadari bahwa handphone itu sebenarnya bukan milik kita, tentu kita akan berintrospeksi kenapa Allah SWT mengambil handphone itu. Bisa jadi, hal tersebut sebagai isyarat bahwa kita lalai menunaikan kewajiban zakat atau uang yang kita pakai untuk belanja handphone itu berasal dari sumber yang tidak halal. Allah SWT pasti menghendaki kebaikan atas musibah yang terjadi. Boleh jadi, kita akan terus terlena dalam kesesatan jika tidak diingatkan dengan hal-hal yang luar biasa bagi kita.

Demikian juga dengan isteri kita, ia adalah milik Allah SWT. Kita hanya diberi amanah untuk mempergaulinya dengan baik dengan dasar syariat-Nya. Jika kita melihat terdapat tingkah laku dari isteri yang tidak menyenangkan, sangat mungkin hal tersebut merupakan pertanda bahwa diri kita masih menyimpan kemaksiatan kepada Allah SWT. Maka langkah terbaik dalam merespon kejanggalan itu adalah dengan segera beristighfar dan memperbaiki ketaatan kepada Allah SWT. Kita memohon kepada Allah SWT, sebagai pemilik hati manusia, agar memberi petunjuk atas langkah kita dan memberikan kita keharmonisan dan kesakinahan dalam kehidupan rumah tangga.

***

Suami dan isteri, mereka sama-sama bekerja dan bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan (yang disepakati), sebagaimana tertuang dalam Alquran dan sunnah Nabi SAW. Untuk hal-hal yang bersifat teknis, adalah wajar jika ada hal-hal yang belum disepakati. Maka mengutamakan saling memaafkan adalah hal yang sangat terpuji. Untuk kasus sahabat saya, saya yakin mereka memiliki visi dan misi yang sama menyangkut kehidupan rumah tangga. Namun untuk hal-hal teknis, boleh jadi masih terbuka banyak perbedaan. Hal-hal menyangkut perizinan adalah hal teknis yang mungkin bersifat kondisional dan bisa dimusyawarahkan di antara mereka.

Prasangka baik adalah kiat yang fundamental kesuksesan kerjasama dalam semua lapisan, —termasuk kerjasama antara suami dan isteri dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah —sebab kesepakatan sempurna dalam semua urusan tidak mungkin terealisir jika di dalamnya terdapat perbedaan besar di antara keduanya.

Kita memang perlu menenangkan jiwa yang bermanfaat untuk mengokohkan jiwa itu sendiri. Sebagaimana kita beristirahat sejenak yang bermanfaat untuk produktivitas kerja yang lebih baik.

Waallahu’alam

(Rizqon_ak @ eramuslim. Com)