Menghantarkan Sang Anak ke Surga

Hari Ahad sepekan yang lalu, saya mengikuti seminar tentang menjadi orang tua yang efektif (parenting) di sebuah yayasan pendidikan Islam di Komsen, Bekasi. Pembicaranya adalah tokoh yang memang pakar dalam masalah tersebut.

Seminar berlangsung di arena kolam renang beratapkan tenda yang biasa digunakan dalam acara-acara pernikahan. Suasana cukup segar dan rileks karena didesain membaur dengan alam terbuka. Lain halnya bila acara diselenggarakan dalam ruang tertutup, barangkali suasana formal dan streng akan cukup mendominasi meski pembicaranya adalah pembicara yang cukup segar dan memberikan banyak pencerahan. Sayangnya, tampilan-tampilan slide yang dipaparkan tidak begitu dinikmati dengan jelas oleh peserta yang duduk dibarisan belakang seperti saya. Sinar mentari yang menembusi acara yang berlangsung dari pukul 8.00 hingga 12.00 itu, menjadikan paparan slide terlihat kabur dan tidak jelas. ‘Ala kulli hal, saya hanya menikmati lantunan lisan dari pembicara seminar yang banyak berkisah tentang kasus-kasus pernikahan dan parenting itu.

Satu kisah yang cukup menyentak saya, adalah kisah seorang ibu aktivis dakwah yang bisa-bisanya “membunuh” anak-anaknya (sebut saja namanya Bu Amy). Sepintas kita akan bertanya, bagaimana mungkin Bu Amy bisa seperti itu? Tetapi itulah realita yang terjadi. Kabarnya beliau menderita kelainan jiwa akibat sikap orang tua (ibu) beliau yang selalu meremehkannya dalam segala hal.

Bu Amy ingin sekali dipandang terhormat, mulia, hebat, atau sekedar dipuji oleh ibunya. Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang wajar seorang anak terhadap seorang ibu, dimana pun dan kapan pun. Setiap anak pasti menginginkan bahwa dirinya berarti, memiliki nilai, dan bermanfaat bagi orang lain. Dan seorang ibu seharusnya memberikan kepercayaan, penghargaan, pujian, motivasi, atau penyemangat atas prestasi dan perilaku positif anaknya. Namun malangnya, ibu beliau bukanlah tipe ibu yang dominan dalam memberi motivasi, penghargaan, ataupun inspirasi. Dia adalah tipe ibu yang dominan dalam hal meremehkan dan melecehkan.

Ketika ia berhasil lulus kuliah dengan gelar cumlaude, ibunya mengatakan:
“ Gitu aja kok bangga, lha kamu kuliahnya di jurusan yang gampang, ya mesti dapat prestasi bagus. Coba kamu kuliah di jurusan yang menantang gitu lho!”

Tak dinyana. Saking mendambakan pengakuan dari ibunya, beberapa tahun kemudian secara diam-diam Bu Amy kuliah lagi dan mengambil jurusan yang lebih sulit. Singkat cerita, kali ini pun lulus dengan prestasi cumlaude.

Ia begitu tidak sabar memberi kabar kepada ibunya tentang hal itu. Tetapi apa yang terjadi ketika ia memberi kabar kepada ibunya? Tidak ada reaksi surprise apapun. Sikapnya tetap dingin. Lalu terlontarlah kata-kata meremehkan dan melecehkannya,

“Jangan bangga. Pantas aja kamu dapat prestasi bagus karena kamu pernah kuliah sebelumnya. Jadi kamu pasti lebih berpengalaman dibanding adik-adik mahasiswamu itu.”
Sejak itulah jiwanya menjadi goyang. Beliau yang telah dikarunia beberapa anak, sangat takut akan bersikap sama seperti ibunya itu. Sikap yang membunuh kreativitas. Sikap yang melemahkan mental. Sikap yang akan membunuh masa depan anak-anaknya kelak.

Andai Bu Amy memiliki kestabilan jiwa, barangkali bisa saja beliau akan menghibur diri, “Ah, di mata ibuku aku memang selalu tidak baik. Ibu macam apa dia? Saya sepatutnya tidak membutuhkan pengakuan apapun darinya”. Atau setidaknya jiwanya akan membatin, “Naudzubillah, alangkah buruk perangai ibuku. Bagaimana aku bisa mendakwahinya? Bagaimana agar aku bisa mengarahkan bagaimana seharusnya memperlakukan anak dengan baik?. Ini adalah tantangan untuk merubah ibuku.”  Namun ketegaran itu tidak muncul dari jiwa Bu Amy. Pelecehan demi pelecehan telah mematikan potensi positif dirinya.

Kekecewaan dan ketakutan selalu menghantui Bu Amy. Kecewa dengan perilaku ibunya dan ketakutan perilaku itu menurun kepada dirinya sehingga ia tidak bisa memperlakukan anaknya dengan baik. Halusinasi dan pikiran-pikiran irrasional sering timbul. Akhirnya timbullah pikiran untuk “membunuh” anak-anaknya. Halusinasi mengatakannya bukan membunuh tetapi “mengantarkan anak-anaknya menuju surga”. Bukankah di surga yang ada adalah kata-kata yang baik dan tidak akan ditemukan di sana kata-kata cemoohan.

Pernah ia melakukan experimen tetapi gagal karena kepergok suaminya. Namun niat itu diulangi lagi ketika suaminya pergi ke luar kota selama beberapa hari. Prosesi “penghantaran surga” bagi anak-anaknya itu terasa amat menyedihkan andai benar kita menyaksikannya dalam bentuk sebuah sinetron. Sang anak yang akan dihantarkannya itu terlebih dahulu dimandikan dengan wewangian. Kemudian disusui hingga sangat kenyang. Kemudian dibelai-belai, dicium-cium, diberi kata-kata yang menenangkan, akhirnya sang anak pun tertidur dengan pulas. Berulang kali dikatakan, “Wahai anakku, sesungguhnya ibu amat menyayangimu. Oleh karena itu, ibu ingin menghantarkanmu kepada kehidupan surga yang tidak ada penderitaan di sana. Semoga engkau bahagia, anakku.” Kemudian perlahan-lahan, sebuah bantal ditutupkan ke wajahnya. Lama dan makin kencang. Sehingga sang anak pun akhirnya tidak bisa bernafas dan meninggal dunia.

Ketika abangnya bertanya, ia mengatakan, “Adikmu sudah tenang pergi ke alam surga. Maukah ibu antarkan kamu ke surga seperti adikmu?” Karena kata-katanya menyakinkan, abangnya pun menurut. Akhirnya sang abang pun menyusul adiknya setelah menjalani prosesi yang sama memilukan. Demikian hal itu terjadi juga kepada anak berikutnya.

Ketika sang suami pulang, ia pun bertanya kabar anak-anaknya. Mirip dengan kisah sahabat yang istrinya begitu tabah menghadapi kematian anaknya, Bu Amy pun tanpa ekpresi sedih mengatakan, “Anak-anak sudah tertidur pulas dan dalam kondisi yang amat tenang”. Namun sang suami curiga ketika ia periksa bahwa detak jantung anak-anaknya sudah tidak ada lagi,  ia menangkap sebuah kejanggalan terjadi pada isterinya. Singkat cerita, akhirnya sang suami melapor polisi dan akhirnya diketahui dan disimpulkan bahwa Bu Amy mengalami guncangan jiwa yang hebat.

***

Hati saya yang mendengar penuturan itu sangat teriris-iris. Masya Allah, alangkah berat guncangan yang terjadi pada Bu Amy, betapa kejam perilaku orang tua (Ibu beliau) yang selalu mencemoohnya, dan betapa kasihan nasib anak-anaknya yang tidak berdosa.

Saya belum mencari-cari adakah arsip berita seperti yang dikisahkan oleh pembicara itu di google. Di mana tepatnya dan kapan terjadinya. Yang jelas kisah itu amat berkesan di hati saya sehingga tergerak hati ini untuk menuliskannya.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini. Semoga kita bisa berlaku sebagai orang tua yang baik dan pandai-pandai dalam mendidik anak.

Naudzubillah, kita berlindung kepada Allah Azza Wa Jalla dari guncangan jiwa seperti terjadi pada Bu Amy, sehingga ia tidak bisa membedakan antara “membunuh” dan “menghantarkan sang anak ke surga”.

Waallahu a’lamu bishshawaab

Muhammadrizqon.multiply.com