Malam itu saya berjalan pulang dariMasjid Pusdai Bandung. Di depan Gedung Sate, mata saya tertuju pada sesosok tubuh yang sedang tertidur di trotoar jalan. Saya amati agak lama, ternyata sosok itu adalah seorang pria tua. Dari penampilannya saya yakin ia adalah seorang gelandangan.
Saat itu terlintas pertanyaan di benak saya. Di manakah anak-anak dari bapak tua ini? Mengapa seorang bapak tua harus tidur kedinginan di pinggir jalan? Tidakkah ia mempunyai anak atau keluarga? Bukankah sudah kewajiban anak-anak untuk memelihara orang tuanya? Apakah pantas seorang ayah yang telah bersimbah keringat, darah dan air mata, berkorban untuk anak memperoleh balasan tidur di pinggir jalan di usia senja?
Teringat sebuah cerita. Ada seorang lelaki yang hidup bahagia dengan anak, isteri, dan ayah kandungnya. Suatu hari banjir hebat melanda kampung mereka. Ketika semua orang sibuk menyelamatkan diri, si lelaki beruntung mendapatkan sebatang kayu. Kayu ini tidak terlalu besar hanya cukup untuk 2 orang. Ia berfikir saat itu, siapa satu orang lagi yang harus ia angkut dengan kayu itu. Akhirnya Ia putuskan untuk membawa ayah kandungya, dengan resiko isteri dan anaknya terbawa banjir yang semakin membesar. Ketika ditanya apa alasan beliau memilih ayah kandungnya, bukan anak atau isteri. Ia menjawab, bahwa Insya Allah jika saya kehilangan anak dan isteri, Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Tapi seorang ayah kandung, saya hanya mendapat satu kali seumur hidup.
Masya Allah. Pikiran saya segera melayang ke rumah. Teringat ayah saya yang sedang duduk di kursi roda, menahan sakit stroke yang telah diderita 3 tahun terakhir. Saya harus segera pindahkan ke atas tempat tidurnya. Kaki ini dipaksa untuk semakin cepat melangkah, mencari kendaraan umum yang selalu saja penuh.
Catatan:
Sebuah permohonan maaf untukmu ayah. Lama kita tidak berbicara, entah kesibukan apa yang membatasi kita. Sampai akhirnya Allah memisahkan, dan kita tidak dapat saling bicara untuk selamanya. Kuharap Allah mempertemukan kita di surganya kelak. Amiin.