Biasanya, para pencinta selalu mengemas rindu mereka. Pencinta untuk apa dan siapa saja, rindu yang bagaimana saja. Kerinduan, adalah sebuah harta milik kita yang sederhana, namun artinya tak lebih sempit dari luas samudera. Kerap membawa keinginan tak sekadar beredar di khayalan. Namun kekuatan tekad untuk menjadikannya nyata. Mengemas rindu, menjaga cinta.
Kerinduanku, adalah akan hadirnya cinta. Seperti milik nabi Ibrahim, saat akan menyembelih anaknya. Seperti milik Ismail, yang mempersembahkannya hanya untuk Tuhannya. Seperti milik Yusuf, yang tak tergoyahkan oleh Zulaikha. Seperti milik mereka, dan mereka yang lain yang juga pencinta.
Kerinduanku, adalah akan kekalnya cinta. Tak seperti mereka yang menjualnya lantas mengatakan bahwa itu adalah pengorbanan. Tak seperti mereka yang menjadikannya harta namun diam-diam merusaknya. Tak seperti mereka yang menginginkannya hadir namun tak peduli lantas meninggalkannya.
Biasanya, para pencinta tak pernah lupa mengemas rindu mereka. Sebab pintu hati selalu terbuka kapan saja tanpa bisa dipegang kuncinya. Karena kita tak kuasa. Sebab bila tidak, ia akan mudah tergantikan begitu saja. Tanpa tahu alasannya.
***
Sebagai manusia, seringkali kita korbankan waktu dan tenaga sia-sia, untuk mengemas rindu yang tak ketahuan adanya, yang bukan rindu sebenarnya. Kerinduan itu disimpan baik-baik dalam hati, tak ingin ia lekas pergi. Sebab bila kerinduan itu hilang, maka cinta yang selalu diharap itu tak pula datang.
Kerinduan akan tahta, mengantarkan kita untuk menghamba pada dunia. Tak pernah puas, walau sudah melibas semua yang tertindas.
Kerinduan akan harta, menyebabkan kita buta. Tak peduli mengambil punya siapa, yang penting diri tak menderita.
Kerinduan akan cinta manusia, membawakan sengsara. Sebab yang ada hanya kecewa, kalau cinta tak dibalas cinta.
Bagaimana dengan milik kita?
Kalau setiap harinya selalu kita memuja yang fana. Tanpa menyadari bahwa Ia ada, melihat apa yang tak kita lihat, mengetahui apa yang tersembunyi, menguasai seluruh isi hati.
Kalau setiap saat kita tak pernah lalai mempersembahkan cinta, bukan untuk-Nya, melainkan untuk sesuatu yang tak bisa memberikan apa-apa. Juga tak punya kuasa.
Kalau hidup ini kita persembahkan untuk melayani mereka yang tak bisa memberi. Kalau rindu itu kita persembahkan untuk sesuatu yang hanya bisa menyakiti.
Lalu, untuk siapa kita mengemas rindu? Pernahkah kita mengemas rindu ini untuk-Nya? Apakah kita selalu menjaga cinta ini agar selalu berlabuh pada-Nya? Sedangkan hati ini selalu penuh akan sesuatu, entah apa itu.
Lantas, rindu itu untuk siapa?
DH Devita