Urusan mengambil jatah memang bukan hanya milik para binatang yang berebut makan siang dan saling bunuh untuk kelangsungan hidup. Sejak dulu, makhluk yang bernama manusia pun meramaikan arena balap-membalap, salip-menyalip, dan tikung-menikung tersebut. Mengambil jatah di sini maksudnya adalah menarik paksa apa yang sudah menjadi milik orang lain atau sesuatu yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk diri kita.
Demi kepuasan, demi kesenangan pribadi, tak peduli apakah orang lain itu rela atau menderita. Tak jelas mengapa, padahal Ia telah “menjatah” rizqi tiap makhluk-Nya tanpa terlewati.
Seperti kepayahan para pengungsi di berbagai tempat pengungsian yang tak mendapatkan jatah bantuan makanan atau apapun yang telah diberikan oleh berbagai pihak, akibat serakahnya oknum-oknum tertentu yang juga menginginkan bagian.
Seperti mirisnya nasib ibu-ibu rumah tangga, yang setiap hari tak habis mengomel, mengeluh, mungkin juga merutuki naiknya harga-harga barang. Hingga tak tersisa uang bulanan untuk menabung, sedikit bersenang-senang, apalagi merasakan mewahnya masakan rumah. Mereka tak tahu, tak peduli, atau bahkan tak lagi sempat memikirkan, bahwa jatah mereka diambil oleh tamaknya orang-orang yang ingin merasakan nikmatnya berada di pucuk kekuasaan. Orang bilang, itu korupsi. Ibu-ibu itu bilang, ini penderitaan.
Seperti protes ratusan mahasiswa dan calon mahasiswa yang mungkin terancam tak bisa melanjutkan kuliah atau gagal masuk universitas idaman. Sebab uang masuk kian melambung sampai jumlahnya bisa dipakai untuk biaya kuliah hingga lulus para mahasiswa sebelum mereka. Sebab penguasa kampus kini makin kreatif mendulang uang demi kenikmatan mereka sendiri.
Seperti preman jalanan yang mengaku sebagai bos bagi para anak-anak jalanan, mengambil jatah uang hasil keringat mereka yang telah lelah seharian bermodalkan suara sumbang sedikit serak dan botol air minum yang diisi pasir atau beras. Tak peduli ia, apakah anak-anak di bawah umur itu sempat makan dari kerja payah mereka. Bagaimana mereka dicaci-maki sejumlah penumpang bus dan mikrolet yang merasa terganggu. Bahkan ada yang mati tergeletak di jalanan, terjatuh dari pintu bus.
Mengambil jatah memang bukan urusan sepele. Caranya bisa mudah, bisa pula sukar perlu strategi. Kadang kala, untuk melakukannya tak perlu otak dengan IQ tinggi. Tinggal main rebut, ambil, dan nikmati. Seperti yang dilakukan para hewan di dunia binatang. Tapi manusia pun bisa jadi binatang, bila ia berlaku sesuka hati. Tak perlu pejabat, penguasa, atau petinggi. Tukang copet, tukang jambret, dan tukang todong selalu mengambil rizqi orang lain tanpa permisi.
Mengambil jatah tak pernah menjadi urusan sepele. Bahkan kini sebagian besar manusia telah paham dan maklum dengannya. Awalnya coba-coba, ketagihan karena enak, hingga terbiasa jadi aktivitas sehari-hari. Mulai dari urusan rumah tangga, kerjaan di kantor, sampai urusan negara. Mulai dari listrik curian, korupsi karyawan, sampai mengambil jatah kawan. Tak usah heran, bila yang enak makin enak, yang susah tambah payah.
Saya tidak tahu, apakah perlu dibuat pemberitahuan dan pengumuman lekas-lekas. Supaya kita semua awas, pada si pengambil jatah. Sebab kalau tidak, bisa-bisa kita tertular penyakitnya.
Atau kita perlu vaksinasi, supaya imun dari virus yang sudah menyebar ini. Karena kita tidak pernah tahu kapan ia menghampiri. Hati-hati.
Coba tanyakan pada diri sendiri, jatah siapa yang sudah kita ambil hari ini?
D.H. Devita