Sepulang dari acara launching buku FLP Kids, saya pulang bareng dengan mbak Siti Fatimah dan mbak Hikmah. Mobil meluncur dengan pelan, udara Sengata sangat panas. Walau pun ada ac, kami tetap meneteskan keringat. Gerah!
Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, kami terdiam seperti menikmati garangnya sang matahari. Saya tidak tahu tepatnya lupa, siapa yang memulai berbicara tentang perkumpulan ibu-ibu di tempat kami tinggal. Memang saya dan mbak Fatimah rumahnya berlokasi di gang yang sama dan kebetulan berdekatan rumah.
Kami pun berbicara tentang kegiatan kami yang mulai vakum. Padahal pada awal terbentuknya, kami sangat bersemangat. Seiring waktu, semangat mulai pula luruh. Saya sih melihat penyebabnya, dikarenakan ibu-ibu tersebut punya kesibukan bejibun. Mereka rata-rata adalah ibu yang aktif, baik sebagai pedagang pakaian atau sembako, juga aktif di dalam majlis ilmu. Belum lagi kebanyakan adalah “aktifis” di gang kami ( baca : punya beberapa kegiatan tetap diluar urusan domestik ).
Pembahasan pun akhirnya sampai pada sebuah titik ; “siapa yang layak jadi pemimpin untuk mereformasi keadaan ini?” Wah.. ternyata sangat sulit untuk menentukan atau memberikan sebuah dasar agar seseorang layak jadi pimpinan organisasi kami.
“Bagaimana bila si A?” Saya memberikan argumentasi bahwa si A ini termasuk ibu yang punya wibawa dan termasuk di tuakan di gang kami. Ternyata jawaban mbak Fatimah adalah : “Jangan!Sekarang beliau itu sibuk dengan cucunya. Maklum anaknya yang perempuan kan selain bekerja, juga sedang mengambil S2 di Samarinda.”
“Bagaimana bila si B?” Saya kembali mengajukan seseorang. Ternyata jawaban mbak Fatimah adalah :” Nggak bisa. Karena dia itu bila ada jabatan dia akan…” Agak panjang argumentasinya.
Walah.. mbak ini, sudah beberapa nama saya ajukan tetap saja tidak sesuai dengan apa yang di inginkan. Maka saat giliran mbak Fatimah yang mengajukan calonnya, saya pun punya alasan tersendiri untuk menampik calonnya tersebut, dengan alasan dia cocoknya bagian bendahara atau sekretaris karena dia sangat telaten untuk mencatat semua pemasukan dan pengeluarannya sehari-hari.
Jadi bingung juga kan. Semuanya tidak ada yang layak di mata kami. Ternyata memang sangat susah untuk menentukan, siapa yang layak untuk memimpin kami. Padahal kami sangat ingin, perkumpulan ibu-ibu dapat berjalan normal kembali. Bukan seperti saat ini, ketuanya sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dan tidak ada support. ( karena memang saat pemilihan ketua, dia sedikit menolak, tapi kami paksa. Akhirnya begini jadinya).
Setelah diskusi yang cukup alot, maka kami terdiam kembali. Jalan masih ramai, walaupun suasana alam tak bersahabat. Saya hanya menengok penjual di pinggiran jalan pasar Teluk Lingga. Kelihatannya mereka tidak mengacuhkan hawa panas ini. Sementara yang duduk santai di emperan toko juga banyak.
Berbicara seorang pemimpin, memang sedikit susah. Bila kita hanya berdasarkan kepandaiannya, maka itu juga tidak boleh. Karena seorang pemimpin, selain harus pandai memimpin juga dia harus punya indra keenam. Maksud saya, adalah dia harus pandai mencari jalan, agar kegiatan yang sepertinya monoton dan terasakan oleh anggotanya membuat bosan, dapat dicarikan solusinya. Bukan hanya bilang, “anggota saat ini susah aktifnya.” Ini namanya pasrah.
Seorang pemimpin harus tahu jiwa dan mampu mendekati anak buahnya dari hati ke hati. Bukan hanya saat pertemuan formal dia berbicara, tapi juga bisa menyambangi anggotanya disaat-saat santai, agar dapat membaca keinginan para anggotanya. Atau pun tahu harapan mereka, agar dapat menjadi bahan untuk kegiatan kami. Karena perkumpulan ini terbentuk dengan alasan ibu-ibu tersebut merasa memerlukan wadah, untuk dapat bersilaturahmi secara rutin, paling tidak sebulan satu kali.
Tapi itulah yang terjadi. Saya dan mbak Fatimah belum dapat titik cerah. Pemimpin yang ideal mungkin tidak ada. Tapi pemimpin yang memenuhi keinginan kami, seharusnya dapat kami wujudkan.
“Tapi bagaimana bila mbak Fatimah saja.” Aku mulai mengajukan usul padanya.
“Ha..ha..ha..” Mbak Fatimah tertawa. Mungkin dia sedikit kaget, atas usulanku. “Mana bisa! Model aku ini bisa nggak bisa jadi ketua dong. Bagaimana bila mbak Halimah saja?”
Aduh.. bagaimana sih ini. Dia yang saya ajukan, malah dianya menunjukkan telunjuknya kepadaku. Bagaimana jadinya kalau begini? Bisa menunjuk, tapi tak mau di tunjuk.
Tapi ngomong-ngomong, yang tadi itu hanya bahan obrolan ringan kami di mobil. Karena yang menentukan siapa yang layak diangkat jadi ketua perkumpulan, bukan hanya kami, tapi masih banyak anggota lainnya.
Kembali kepada memantaskan orang untuk jadi pemimpin, memang sebuah pekerjaan yang lumayan berat, Saat kita merasa orang tersebut layak, dia tidak mau. Tapi saat ada yang sangat berminat, kami menolaknya karena merasa dia tidak pantas untuk jabatan tersebut.
Berbagai kekurangan yang kami lihat pada orang tersebut, untuk menolak seseorang menjadi ketua kami. Sangat pandai kami melihat kelebihan dan kekurangan seseorang. Bahkan dengan sangat mendetail, sepertinya jadi ahli nujum aja nih!. Bila diandaikan, kami ini sebuah lap top, maka data itu sangat valid di tangan kami.
Tapi begitu melihat diri sendiri? Saat ini, saya jadi berpikir kembali. Yah… berpikir ulang tentang, “kenapa sepertinya saya begitu tahu secara mendalam tentang seseorang? Apakah memang benar apa yang saya sangkakan pada seseorang tersebut? Apakah memang dia punya sifat yang kurang baik? Banyak pertanyaan yang mampir di hatiku saat ini.
Dibandingkan dengan pengetahuan tentang diri sendiri, malu rasanya. Ternyata selama ini sering kali tidak merasakan memiliki sebuah atau banyak kekurangan. Saya tidak tidak mengetahui secara detail, tentang diri sendiri. Padahal tentang orang lain?! Astagafirullah!
Semut di seberang pulau nampak di mata, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat!
( Tuk Mbak Hikmah, afwan ya. Karena pada saat itu kami lupa dengan mbak, karena terlalu asyik diskusi.)
Sengata, 8 Nopember 2009
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata