Mendengarkan = Menyembuhkan

Namanya dr.Agus, ia merupakan dokter favorit di kota Bau-Bau. Ia dikenal tidak hanya dikota ini tetapi oleh masyarakat di sekitar pulau Buton. Pasiennya tidak kurang seratus orang per hari, dia menerima para pasien dalam dua shift, lima puluh orang pada pagi hari mulai pukul 8.00-12.00, dan lima puluh orang lagi pada sore hari pada pukul 17.00-21.00, Tetapi di luar jam tersebut ada saja orang yang setengah memaksa berobat pada dokter tersebut meski perawat mengatakan dokter masih lelah sehabis memeriksa pasien. Jika ingin berobat padanya siaplah-siaplah sabar menunggu, dari mulai mengambil nomor sampai menunggu giliran dipanggil oleh perawat.

Pasien yang ingin berobat pagi maka harus mengambil nomor antrian berobat pada pukul 6.00 pagi, itupun jika perawatnya tidak terlambat datang. Jika ingin berobat sore maka silahkan mengambil nomor antrian pada pukul 3 sore, saat mengambil nomor antrian tersebut siap-siaplah berebut atau kehabisan. Saat nomor antrian habis tersebut barulah jatah menjadi pasien dokter lain yang juga membuka praktek tidak jauh dari tempat prakteknya.

Ketika mendengar ‘kesaktian’ dokter ini dari beberapa orang yang pernah menjadi pasiennya timbul rasa penasaran di hati saya. Menjadi orang yang dibutuhkan masyarakat tentu bukan hal mudah, menurut saya orang seperti ini pastilah memiliki sesuatu yang luar biasa. Jika dilihat dari profesinya sebagai dokter maka ia pasti sudah sangat berpengalaman menangani orang sakit, tepat diagnosanya, dan tepat memberikan obat. Hingga suatu ketika ibu mertua saya mengeluh sakit, maagnya kambuh ia meminta saya untuk menemani beliau berobat ke dr. Agus, sayapun menyetujuinya.

Tempat prakteknya tidak begitu luas, sebuah rumah tinggal yang halamannya telah disulap menjadi ruang tunggu dan sebuah kamar praktek untuk memeriksa pasien. Saat memasuki tempat itu kesan kalau tempat tersebut milik penganut hindu begitu terasa. Sebuah stupa tempat menaruh sesajen terletak di sisi kanan ruang tunggu, aroma bunga aneka rupa dan gambar khas hindu terpancang di dinding. Kebetulan saat itu saya telah mendapatkan nomor antrian di awal sehingga tidak terlalu lama menunggu, suara perawat memanggil nama ibu mertua saya. Lalu kami menuju ke ruang periksa, setelah mengucap salam “selamat sore” lalu kami dipersilahkan duduk di depan meja kerjanya, dengan senyum ramah ia bertanya pada Ibu tentang keluhannya, Ibu mengeluh panjang lebar sehingga sepertinya Ibu sedang curhat.

Dokter mendengarkan dengan sabar sambil sesekali tersenyum. Setelah cukup Ibu mencurahkan segenap apa yang ia rasakan, ia mempersilahkan ibu naik ke ranjang untuk diperiksa. Setelah memeriksa dengan teliti ia mempersilahkan ibu untuk duduk kembali saat itupun sambil diikuti dengan senyum ia menjelaskan diagnose penyakit yang diderita oleh ibu, tidak lupa ia memperlihatkan gambar organ lambung. Sesekali ibu bertanya iapun kembali menjelaskan dengan detail sesuai dengan bahasa yang dipahami oleh Ibu, tidak lupa ia juga memberi saran yang sederhana seperti makan tepat waktu, makan makanan 4 sehat 5 sempurna dan biasakan olahraga setiap hari. Puas, itu gambaran yang kulihat di wajah ibu, gambaran wajah yang kuyu karena menahan perihnya lambung tidak tampak lagi.

Dokter yang memiliki pasien puluhan ribu itu ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Ia masih muda usianya mungkin belum 35 tahun, statusnya masih dokter umum, mungkin karena kesibukan menangani pasien sehingga tidak punya waktu untuk mengambil pendidikan spesialis. Namun menurut amatan saya ada hal yang berbeda pada dr. Agus sehingga ia menjadi pilihan masyarakat , selain karena tarifnya yang sangat terjangkau untuk masyarakat menengah ke bawah ternyata ia seorang pendengar yang baik. Ketika bertemu pasien ia persiapkan dirinya menjadi orang yang paling dipercaya untuk mengeluh, mengungkapkan penderitaan lalu kemudian ia memberikan solusi dan saran.

Satu hal lagi yang menarik dari pribadi dokter tersebut ia mampu membesarkan hati para pasiennya, sehingga pasien memiliki semangat untuk sembuh dan sehat. Seorang tetangga mengisahkan bahwa dia pernah mengalami demam, flu, batuk, badan terasa sakit sehingga untuk sampai ke tempat praktek dr. Agus yang tidak jauh dari rumahnya ia harus diantar ojek. Setelah ia bertemu dokter ia seperti mendapatkan kekuatan dan bisa pulang dengan berjalan kaki. Ia sembuh sebelum minum obat, luar biasa.

Menyembuhkan sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang, tanpa harus menjadi dokter. Banyak dokter yang mengobati tetapi tidak menyembuhkan. Menyembuhkan sakit psikologi yang diderita pasien jauh lebih penting. Orang sakit terkadang jiwanya labil sehingga dalam kondisi seperti ini rasa sakit yang dirasakannya lebih berat dari penyakit yang sesungguhnya. Si sakit membutuhkan tempat untuk melabuhkan perasaan jiwanya seperti rasa sedih, khawatir, tidak percaya diri, dan takut. Orang yang sakit membutuhkan ‘energy’ jiwa untuk melawan penyakit yang dideritanya, tetapi hati kita terkadang tidak siap dengan kondis saat kita dibutuhkan. Kita terlalu egois dengan masalah kita sendiri. Meskipun yang sakit itu adalah ibu, ayah, istri, adik dan orang-orang yang ada di sekitar kita,Hati kita seolah-olah tidak memiliki ruang untuk keluhan dan penderitaan orang lain. Padahal Rosulullah bersabda :” seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.

Jika menyiapkan diri menjadi pendengar yang baik saja kita tidak bisa, apalagi dengan pengorbanan yang lebih besar misalnya tenaga dan harta demi saudara-saudara kita. Umat islam sejatinya adalah satu tubuh, jika salah satu anggota badan sakit maka seluruh tubuh juga akan merasakan sakit. Sangat indah sekali perumpamaan yang disampaikan Rosulullah tersebut jika kita mengamalkan dalam kehidupan sehari hari. Contoh yang baik tersebut ternyata telah diadopsi dr. Agus, dokter yang yang ada di hati masyarakat Bau-Bau dan sekitarnya. Semoga kelak hidayah Allah menghampirimu. Amin.