Mendamba Kebebasan

Tiga pekan terakhir, saya banyak berkunjung ke sebuah perusahaan yang bergerakdi bidang logistik (pengiriman barang domestik/ekspor) di kawasan industri MM 2100, Cibitung-Bekasi. Sebagai relasi bisnis, pergerakan kami tentu lebih leluasa di banding karyawan yang bekerja di sana. Sebagai contoh, kami bisa keluar sewaktu-waktu untuk kepentingan sholat di sebuah masjid di luar kantor perusahaan atau untuk kepentingan lain. Berbeda halnya dengan karyawan, mereka nampaknya harus sholat di musholla kecil perusahaan secara bergantian. Bisa jadi yang menjadi pertimbangan utama adalah efisiensi waktu karena lokasi masjid kawasan industri relatif cukup jauh dijangkau.

Mereka hanya memiliki waktu satu jam untuk beristirahat. Rasanya akan lebih praktis jika mereka cukup sholat di musholla kantor selepas makan siang. Kecenderungan ini nampaknya menjadi opini yang lazim. Beruntunglah, pabrik atau kantor yang memiliki masjid sendiri dan termanajemen dengan rapi. Tidak seperti kantor yang saya kunjungi, mushollanya bukanlah musholla yang representatif. Dan kebanyakan mereka sholat sendiri-sendiri (munfaridan), tidak berjama’ah.

Absensi karyawan pabrik pada umumya memang cukup ketat. Mereka harus terbiasa dengan jadwal-jadwal yang berlaku agar bisa menjaga kondite yang baik di hadapan boss atau sesama karyawan. Diantara jadwal yang berlaku secara ketat adalah keberangkatan dan kepulangan dari bus/mobil jemputan. Jika lewat, maka akan menuai keterlambatan, ongkos mahal pun tidak akan terelakkan, dan kondite yang buruk di hadapan rekan-rekan kerja.

Untuk karyawan yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang, mereka disediakan bus jemputan yang stand by di Cawang, Grogol, dan Pancoran. Demikian juga untuk pulang, disediakan transportasi yang stand by di kantor pada jam-jam tertentu. Untuk makan siang, disediakan jamuan prasmanan dari pukul 12.00 hingga pukul 13.00. Terlambat datang akan beresiko pada tidak makan karena habis, atau harus makan di luar dengan biaya mahal karena tiadanya warung makan murah di sekitar kawasan. Di samping itu, tidak adanya sarana transportasi umum yang hilir-mudik, menjadikan mereka harus betah untuk selalu berada di kantor tanpa harus berinteraksi dengan karyawan dari kantor/pabrik lain.

Selama tiga pekan kunjungan ke perusahaan logistik itu, kami menikmati sajian makan siang yang disiapkan oleh perusahaan katering yang disewa oleh perusahaan. Seperti halnya karyawan pada umumnya, kami pun menerima kupon yang sudah dibagikan sebelum jam makan siang dilangsungkan. Kupon itu harus diserahkan ke petugas katering, baru kami diperkenankan mengambil sajian yang tersedia.

Acara makan siang dilangsungkan di sebuah ruang yang memang dipersiapkan khusus untuk hidangan makan. Ada empat barisan bangku yang disusun memanjang. Sementara di sisi-sisinya, berjejer kursi-kursi kayu tempat duduk karyawan untuk menikmati sajian. Di dua sudut ruangan, tertata dua bangku hidangan makanan lengkap dengan petugas kateringnya yang siap melayani antrian karyawan.

Ada dua buah pintu. Satu pintu terhubung dengan ruangan kerja karyawan yang cukup luas yang mana mereka hanya terpisah oleh partisi-partisi meja kerja saja. Satu pintu terhubung dengan tangga turun ke luar gedung menuju parkiran mobil. Perusahaan katering makan siang itu keluar masuk melalui pintu tersebut.

Hal yang cukup menjadi perhatian kami, ada jendela besar berteralis besi di sisi timur ruangan. Teralis besinya cukup rapat. Namun tersedia lubang teralis yang cukup besar di tengah-tengahnya. Dari lubang teralis besar itulah kami bisa melemparkan pandangan ke kejauhan. Nampak dari situ hamparan area hijau rerumputan dan tanah-tanah kosong. Lebih jauh lagi memandang, nampak kota Cibitung yang tengah bergeliat menunjukkan kemeriahan dan kesibukan.

Tiba-tiba saja saya teringat dengan sebuah gedung yang sangat tidak menyenangkan, yaitu penjara. Rekan saya pun berperasaan serupa. Malah dia mengatakan,

“Pak, suasananya kok kayak di Guantanamou?”
“Emang kamu pernah ke sana?”, saya mencoba berkelakar.
“Yaa..maksud saya mirip kondisi di penjara gitu, Pak!” rekan saya berujar.

Saya membenarkan lintasan rekan saya itu. Display ruangan, suasana kerja, kegiatan yang serba terjadwal dan karyawan harus mengikuti secara ketat jadwal-jadwal itu, memberi kesan bahwa mereka seakan tunduk dengan aturan yang boleh jadi mereka terpaksa menerimanya. Itulah suasana di penjara.

Tatkala fajar menyingsing mereka harus bergegas keluar dari rumah menuju tempat pemberangkatan bus karyawan agar tidak terlambat. Pada malam hari mereka sampai kembali ke rumah menemui keluarga mereka. Sementara di dalam kantor, boleh jadi mereka bosan dengan kondisi yang itu-itu juga. Bertemu dengan orang-orang yang sama, dan menghadapi tugas klerikal yang relatif sama. Mereka tidak bisa keluar semena-mena dari kantor karena harus memenuhi durasi jam kerja.

Tapi apakah mereka merasakan demikian? Tentu saja relatif. Ada yang menikmati, ada juga yang tersiksa. Semuanya kembali kepada persepsi masing-masing tentang makna bekerja dan makna kehidupan. Jangankan di kantor itu, orang yang benar-benar hidup bebas di luar pun ada yang hidupnya merasa tersiksa dan terpenjara. Terpenjara oleh hawa nafsunya, terpenjara oleh kesalahan hidupnya, terpenjara oleh dosa, keangkuhan, atau ketidakberdayaan. Sementara pada sisi lain, tidak sedikit mereka yang benar-benar terpenjara, justru merasakan kebebasan yang lebih besar. Antara lain kebebasan menuangkan pikiran dan perasaan sehingga dari mereka terbit karya-karya bermutu, kebebasan untuk menemukan Tuhan, dan kebebasan dari tuntutan hawa nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan.

Selama tiga pekan membaur dengan kehidupan buruh/karyawan, terbetik sebuah hikmah akan makna kebebasan yang menjadi muara kerinduan manusia. Terpenjara bukanlah kondisi fisik yang berada dalam sebuah ruangan yang serba menghimpit. Terpenjara boleh jadi adalah kesempitan hati dalam memaknai hidup dan kehidupan.

Satu makna yang kurang dipahami oleh manusia adalah bahwa Allah adalah muara segala perasaan dan kehidupan. Ketaatan, kecintaan, kekaguman, kesempurnaan, kerinduan, atau pengabdian adalah bermuara kepada-Nya. Barang siapa yang memuarakan semua perasaan dan kehidupan kepada Allah, maka ia akan mendapatkan kebebasan yang dirindukan. Sebaliknya, jika perasaan dan kehidupan dimuarakan kepada selain-Nya, maka akan menuai derita, kecewa, sedih, rasa asing, sempit, dan terpenjara.

Semoga kita bisa menjadi manusia yang bebas, yaitu dengan senantiasa memuarakan segala rasa kepada-Nya. Karena Dialah yang memiliki segala ilmu, kebijaksanaan, kesempurnaan, keadilan, dan kebaikan.

Wallahu’alam bishshawab

[email protected]

muhammadrizqon.multiply.com