Mendadak Dhuafa

Edi, rekan kerja satu shiftku, membuka obrolan siang itu dengan tema seputar kurban, mengingatkanku pada obrolan dengan Fulan dua bulan yang lalu.

Saat itu Fulan menyampaikan alasan mengapa ia berencana berkurban di kampung halamannya. Selain ingin berbagi dengan warga di sana, juga karena Fulan merasa panitia kurban di lingkungan tempat tinggalnya kurang amanah. Pembagian daging kurban yang tidak tepat sasaran membuat Fulan berpikir ulang.

Belasan tahun tinggal di lingkungan situ, belum pernah sekalipun pintu kontrakan Fulan diketuk oleh panitia baik dari desa maupun masjid/mushola yang datang untuk membagikan daging kurban. Ini berbeda sekali dengan panitia pengumpul sumbangan berbagai acara – baik dari desa maupun masjid/mushola – pintu kontrakannya tak pernah luput dari perhatian mereka.

Menjadi jamaah mushola memang tidak lantas memasukkan Fulan ke dalam golongan orang yang ( lebih ) berhak mendapatkan daging kurban. Mereka, orang-orang yang secara ekonomi hidupnya berkekurangan, kaum dhuafa lah yang lebih berhak mendapatkan daging kurban. Sayangnya, dalam urusan yang satu ini banyak orang yang mendadak dhuafa. Demi beberapa ons daging, banyak orang mampu bahkan kaya rela merendahkan ( harga ) dirinya. Dari orang berbeda, tempat tinggal berbeda, aku banyak mendapatkan cerita yang sama. Bahkan, sebenarnya aku sendiri ( sering ) mengalaminya.

Idul Adha, sesungguhnya adalah moment yang tepat untuk berbagi dengan sesama. Menyembelih hewan kurban, berbagi kebahagiaan dengan mereka, kaum-kaum dhuafa. Meski tidak menjadi salah ketika ada orang kaya yang turut menikmatinya, tapi mereka yang hidupnya berkekuranganlah yang seharusnya diutamakan. Ini yang kadang terlupakan, seperti yang diceritakan Fulan. Panitia kurban ada di mana-mana, baik atas nama pemerintahan desa, masjid ataupun mushola, tapi fakta di lapangan banyak warga miskin yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali kabar bahwa di sana jumlah hewan yang dipotong sekian, di sini sekian. Sebaliknya, banyak orang-orang yang hidupnya berkecukupan, justru mendapatkan pembagian daging kurban. Yang seperti ini benar-benar ada, daging kurban memenuhi freezer mereka. Sementara masih banyak warga yang hidupnya ngontrak, berpenghasilan tidak tetap, sibuk membujuk anaknya agar tak terus merengek lantaran ingin makan berlauk daging seperti teman bermainnya.

Makan malam di pinggir istana, aku pernah menuliskannya tiga tahun yang lalu. Senada dengan tulisan ini, aku merasa ada yang harus dibenahi dalam pembagian daging kurban. Tepat sasaran adalah satu keharusan. Jangan sampai ada orang yang seharusnya mendapatkan malah tidak mendapatkan, sebaliknya orang yang mampu malah mendapatkan lebih dari satu.

Idul Adha adalah salah satu moment yang ditunggu oleh mereka, kaum dhuafa, untuk bisa merasakan nikmatnya makan berlauk daging yang penuh gizi. Bagi mereka, menu seperti ini tidaklah bisa dinikmati setiap hari. Bagi mereka, berlauk daging rasanya seperti makan di sebuah istana. Dan mereka cukup bahagia, walau tak pernah masuk di ruang utama, hanya di pinggirannya saja.

Sebagai warga, mari kita bantu panitia pemotongan hewan kurban dengan mengingatkan, memberikan data siapa saja yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk mendapatkan daging kurban, memberikan informasi apabila masih ada kaum dhuafa yang belum mendapatkan bagian. Bagi yang diberikan keluasan rizki, kalaupun tahun ini belum ( niat ) berkurban, janganlah menerima daging kurban sebelum dipastikan mereka yang ( lebih ) berhak telah mendapatkan bagian. Boleh jadi, bagi Anda daging adalah menu yang biasa, hidangan sehari-hari, tapi sangat mungkin bagi orang lain daging sangatlah istimewa. Jangan sampai terjadi meja makan dan lemari penuh dengan olahan daging, sementara ada tetangga kanan kiri yang terpaksa berbagi, berebut atau bahkan rela tak menyentuh asalkan anggota keluarga yang lain bisa menikmatinya.

Sebagai panitia, amanah orang yang berkurban jelas harus dijalankan dengan baik dan benar. Pastikan semua daging dibagikan tepat sasaran. Pastikan semua yang berhak telah mendapatkan. Utamakan kaum dhuafa, barulah jika masih ada sisa untuk golongan lainnya, itupun harus memperhatikan aturan dan skala prioritas. Cermati mana yang benar-benar dhuafa, dan mana yang pura-pura, mendadak dhuafa.

Dan bila ingin berkurban, selain niat dan keikhlasan yang harus diutamakan, ada baiknya kita ikut mengarahkan kemana daging kurban tersebut hendak dibagikan. Terlepas dari amanah tidaknya sebuah kepanitiaan penyembelihan hewan kurban, menurutku keputusan Fulan untuk berkurban di kampung halaman juga mengandung kebaikan. Di kota-kota besar, dengan penduduk yang mayoritas berkehidupan mapan, bisa jadi dalam satu lingkungan RT ada belasan warga yang berkurban, tapi di kampung-kampung kecil justru hanya ada beberapa ekor untuk ratusan warganya. Karenanya, langkah Fulan cukup membantu warga di sana, bagaimanapun faktor pemerataan juga perlu diperhatikan.

Di mana Anda berencana kurban tahun ini? Di manapun, pastikan bahwa itu dilakukan karena Allah semata, dan upayakan penyalurannya sampai kepada orang-orang yang berhak yaitu kaum dhuafa, bukan orang-orang serakah yang demi sepotong daging rela merendahkan harga dirinya, mendadak dhuafa.(Abi Sabila)