Al-imaanu yaziidu wa yanqushu.
Iman itu bertambah dan berkurang. Artinya kadang-kadang meningkat dan pada saat yang lain menurun. Perihal naik dan turunnya iman itu pasti ada sebab atau kejadian yang mengirinya. Iman dapat meningkat misalnya ketika kita berkutat mempelajari ilmu agama (tafaquh fiddiin), berkhidmat pada pelayanan sosial, bergabung dalam barisan dakwah dan lain-lain. Demikian pula ketika ia turun, bisa jadi disebabkan oleh karena perilaku maksiat, menuruti hawa nafsu, malas, dzolim pada diri sendiri, menyia-nyiakan waktu, dan sebagainya.
Salah satu hal penting yang perlu dicatat adaah naik turunnya iman akan berimbas pada kedirian kita. Kebangkitan diri atau proses perbaikan diri kita. Maksudnya ketika iman kita ’yaziid’ maka dimungkinkan proses perbaikan diri kita meningkat atau minimal berlanjut. Atau bahkan dalam kondisi tertentu mengalami kebangkitan yang luar biasa. Sebaliknya ketika iman kita ’yanqush’ maka dimungkinkan tidak ada proses perbaikan diri sampai kemudian kita sadar lalu berusaha untuk meningkatkannya kembali.
Ketika kita paham bahwa iman itu ’yaziidu wa yanqushu’ maka orang-orang yang beriman yang bersemangat dalam perbaikan dirinya akan berusaha untuk senantias pada posisi ’yaziid’. Oleh karena itu mereka akan berusaha mengkondisikan dirinya agar selalu dalam nuansa perbaikan dan kebangkitan dirinya.
Kalau kita merasa biasa-biasa saja dalam tarbiyah atau merasa ’begini-begini saja’ atau bahkan merasa stagnan maka pada saat itulah kita perlu mencari momentum kebangkitan kita. Bisa jadi banyak momen kebangkitan yang dapat kita jadikan ’batu loncatan’ yang dapat berdampak besar tetapi mungkin kita mamu mengolahnya sehingga terlewatkan sebagai sebuah kejadian biasa. Banyak orang yang mendapat hidayah diawali dari hal-hal yang dianggap kecil di sekitarnya.
Atau kita itu merasa biasa-biasa saja karena kita kurang bisa menciptakan atau merekayasa momen kebangkitan itu sendiri. Ibarat hanya berpangku tangan menunggu peluang. Lalu bagaimana jika peluang yang ditunggu tidak datang-datang? Salah satu langkah terbaik jika tidakada peluang adalah berusaha untuk menciptakannya.
Bukan hanya menunggu peluang karena terkadang peluang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus diciptakan. Create your opportunities! Memang ini bukan hal sederhana. Salah satu kuncinya adalah tekad yang besar untuk maju karena kesungguhan dalam mencapai yang kita perjuangkan akan sebanding dengan apa yang kita peroleh. Yakinlah bahwa usaha kita tidak akan sia-sia, pasti ada jalan keluar dan hasilnya. Allah SWT berfirman: ” dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di (jalan) Kami, sungguh-sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami…” (QS. Al-Ankabut: 29).
Beberapa ibrah yang bisa kita ambil misalnya ketika kita mencermati perjalanan hidup sahabat rasul Salman Al-Farisi. Beliau terkenal sebagai pemikir cerdas pada perang Khandaq. Pada masa mudanya beliau seorang pangeran kaya raya pewaris tahta. Tapi ketika beliau masih belum puas dengan kehidupannya, masih merasa belum menemukan ketenangan dan kebahagiaan, beliau bertekad untuk mencarinya meskipun harus rela meninggalkan semua harta, benda, pangkat dan kedudukan yang telah diraihnya.
Itulah sebuah pilihan momentum kehidupan yang diplihnya sebagai langkah awal menuju kebangkitan dirinya. Dari pilihan momentum itulah beliau menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Kesengsaraan demi kesengsraan dihadapi dengan tabah. Perubahan status sosial yang luar biasa drastis, dari seorang pangeran terhormat yang tidak pernah kekurangan menjadi seorang budak belian yang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar.
Di balik semua itu memang Allah SWT mempunyai cara tersendiri untuk menguji kesungguhan hambanya dengan berbagai kesengsaraan, penderitaan untuk membuktikan kebenaran keimanan kita. ”….dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”