"Eyang dah pergi….Innalillaahi…." Pesan singkat itu saya terima di handphone saya pada tanggal 16 Juli 2009 pukul 20:22:33 dari kakak saya. Saat itu deru mass rapid train (MRT) sedang mengantarkan saya dan kawan-kawan dari sebuah perjalanan kuliner makan malam dari Ma Bung Krong (MBK) menuju jalan Sukhumvit soi 11, lokasi hotel penginapan kami di Bangkok.
“Bokap gue meninggal….” Begitulah ucapan spontan yang keluar dari bibir saya. Kawan-kawan Indonesia saya saat itu langsung mengerumuni saya. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Emang Bapak sakit apa mbak?”
Ingatan saya lalu kembali ke keadaan sekitar 6 bulan yang silam. Tanggal 29 Januari 2009 tepatnya saya melihat Bapak saya sangat gembira karena selepas operasi katarak, hari itu saya dan suami saya mengantar Bapak saya kontrol mata dan persiapan cek kacamata. Saat menunggu, Bapak saya melakukannya sambil membaca koran. Sebuah kegiatan yang sudah lama tidak dapat dilakukannya karena penyakit mata yang dideritanya. Rupanya hasil operasinya ini manjur, karena saya lihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa Bapak saya menikmati sekali kegiatan membaca korannya kali itu.
Lalu kembali ke rumah masing-masing, Bapak dan Ibu saya ke Bekasi, saya dan suami saya ke Depok. Kemudian muncul telpon mendebarkan itu pada tanggal 31 Januari 2009 sekitar pukul 6 pagi. “Eyang jatuh!!!!” Seperti itulah kira-kira ucapan kakak saya di telpon. Saya langsung dapat mengira eyang yang mana yang jatuh. Bapak saya, seorang pensiunan AURI dulunya sempat melakukan sekian kali terjun payung, beliau pernah sangat gemuk, dengan pengeroposan tulang dan masalah degeneratif lain di masa tuanya, mobilitas Bapak saya memang terganggu. Pagi itu, Bapak saya bangun pagi dan dalam keadaan kamar yang remang-remang, beliau berusaha membuka pintu kamar samping. Saat itu tidak diketahuinya ada sedikit tampias air di lantai kamar tersebut karena hujan semalam. Karena itulah beliau terpeleset dan jatuh.
Mendengar berita itu, saya langsung mengenang keadaan nenek saya setahun sebelumnya. Nenek saya juga terjatuh sebelum akhirnya beliau sama sekali tidak bisa berjalan dan akhirnya wafat sekitar 7 bulan berikutnya. Akankah Bapak saya mengalami nasib yang sama….pikir saya. Segara saya tepis pemikiran seperti ini. Maklum, dengan sedikit pengetahuan geriatri (ilmu tentang orang lansia) yang saya miliki, saya paham betul bahwa “musuh” nya para lansia adalah JATUH. Dugaan saya tidak terlalu salah. Setelah menjalani operasi penggantian sendi panggul sintetis dan perawatan di RS selama satu bulan lebih, beliau akhirnya “dipulangkan” untuk melanjutkan perawatan di rumah. Kami menyewa jasa perawat laki-laki dan seorang fisioterapis untuk membantunya latihan berjalan. Musuh lain bagi Bapak saya adalah hilangnya napsu makan saat sedang sakit. Bagi lansia, hal ini tentunya membahayakan karena proses penyembuhaan tidak dapat ditopang 100% hanya dari obat-obatan. Asupan gizi dari makanan adalah penghantar agar obat-obatan tersebut bekerja maksimal di dalam tubuhnya. Belum lagi kondisi psikologis beliau yang berada pada titik terendah, berkali-kali beliau mengeluhkan keadaannya yang terbujur tak berdaya di tempat tidur. Di tambah luka dekubitus di sekitar bokongnya karena terlalu lama terbaring terlentang yang juga menjadi masalah sekunder bagi Bapak saya karena luasannya makin melebar, sejak terjatuh beliau takut sekali untuk mengganti-ganti posisi tidurnya. Demikianlah keadaan Bapak saya dari hari ke hari hingga maut menjemputnya. Semuanya terjadi dalam kurun waktu 6 bulan, tidak berbeda jauh dengan keadaan nenek saya.
Sedihnya, dari sekian hari saya berkunjung dan bertemu Bapak saya selama masa sakitnya, beliau ternyata pergi saat saya tidak berada di sampingnya, bahkan berada di luar Indonesia. Saya dekat dengan Bapak saya, banyak kalangan keluarga dan teman yang menilai seperti demikian. Sebulan sebelum beliau wafat, saya mulai melihat kondisi kesehatan Bapak saya yang sudah menurun. Bahkan saat saya mengunjungi beliau sehari sebelum saya berangkat ke Bangkok, saya melihat beliau sudah mengalami kesulitan menelan air minumnya. Tanda-tanda ini saya pelajari saat hal serupa terjadi pada nenek saya. Sebuah pelajaran yang berharga bagi saya. Namun, saya tidak mungkin mendahului kehendak Allah SWT dan tidak mungkin mengurungkan niat untuk menerima tugas ke luar negeri. Keikhlasan saya untuk siap menerima berita kepergiaan Bapak saya memang sudah saya rancang sebulan sebelumnya. Melihat kondisi dan penderitaan beliau, rasanya saya tidak sanggup lagi. Dalam doa saya, tidak lagi saya mohonkan kesembuhan bagi beliau, namun pemberian Allah SWT atas keadaan yang terbaik bagi beliaulah yang belakangan selalu saya panjatkan.
Allah sungguh Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagai anak bungsu, sejak saya masih duduk di bangku SD, saya sudah sering dirundung kesedihan tak menentu jika suatu saat saya harus kehilangan orang tua saya. Setiap pulang sekolah, saya selalu mengintip dari jendela angkutan umum yang saya tumpangi saat mendekati wilayah rumah kami, khawatir kalau-kalau ada bendera kuning dikibarkan dan itu dikarenakan kepergian salah satu orang tua saya. Entah dari mana asalnya semua perasaan ini. Saat masih kanak-kanak pula saya bahkan punya perilaku yang tidak mau dimanja-manja seperti layaknya anak kecil. Sebagian teman dan kolega saya bahkan kaget ketika tahu saya adalah anak bungsu, karena menurut mereka saya dinilai sangat mandiri, sama sekali jauh dari citra anak bontot.
Allah SWT betul-betul telah memberikan kekuatan pada saya, karena saya adalah satu-satunya anak Bapak saya yang tidak melihat prosesi pengurusan jenazah dan pemakaman beliau. Bahkan saat dalam perjalanan ke pemakaman, saat kakak-kakak saya menelpon untuk mengetahui seberapa lama jenazah Bapak saya dapat menunggu saya untuk bertemu yang terakhir kali dengan anak bungsunya, saya dapat dengan tenang menjawab “Saya tidak usah ditunggu, saya sudah mengikhlaskan beliau. Saya tidak ingin menghalangi penyegeraan perjalanan Bapak bertemu dengan Sang Khalik. Langsung dimakamkan saja.” Alhamdullillah, saya “bertemu” dengan pusara Bapak saya yang masih basah dan banyak bertabur bunga yang indah, menandakan banyak khalayak yang datang mengantarkan kepergiaan beliau. Saya panjatkan doa memohon kepada Sang Maha Pencipta segala kebaikan bagi Bapak saya di alam kubur dan di akhirat kelak.
Sekarang, masih ada Ibu saya. Ya Allah berikanlah saya kekuatan dan keikhlasan untuk dapat selalu membahagiakan Ibu saya dan memenuhi segala kebutuhannya di penghujung usianya ini. Robighfirli wali walidayya, warhamhumma, kamaa robbayani shoghiro. Amin.