"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (Al-Baqarah: 168)
“Mbak, kalau di Jepang bagaimana caranya mengetahui makanan itu bisa dimakan atau tidak?”, kalimat itu muncul di chatroomku di suatu hari. Dari seorang adik yang kukenal dari dunia maya. Pertanyaan yang akan mudah dijawab kalau seandainya aku berada di negeri tercinta. Tinggal melihat label “halal” dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di pembungkus makanan. Itu yang kulakukan ketika masih berada di Indonesia.
Bagiku, sebuah label halal ketika membeli sesuatu yang hendak dimakan berada pada tingkat kepentingan tertinggi. Aku rela meninggalkan sebuah wafer coklat yang sangat aku sukai ketika aku menyadarinya ternyata di pembungkus wafer itu tidak tercantum label halal. Lama aku menunggu untuk kembali bisa mencicipi kelezatan wafer itu. Dan, aku menemukan label halal itu hampir kurang lebih 2 tahun kemudian.
Alhamdulillah ketika menikah, Allah mempertemukanku dengan seorang laki-laki yang sepaham dengan masalah ini. Bahkan, kami rela mengganti beberapa kebutuhan bulanan rumah tangga kami, setelah kami mengetahui pemegang saham terbesar produk itu adalah pendukung zionis Israel.
Sejujurnya, hal ini pula adalah salah satu alasan yang menyebabkanku menerima pinangan beliau. Beliau adalah satu-satunya yang mencantumkan kalimat “SAVE OUR PALESTINE” di kolom pesan dan kesan untuk seluruh peserta sebuah pelatihan yang mempertemukan kami pertama kalinya.
Tapi, berbeda di Jepang. Sangat jarang menemukan label “halal” pada pembungkus sebuah makanan, kecuali jika kita membeli makanan itu di toko-toko yang memang menyediakan makanan-makanan halal. Alhamdulillah, di dekat tempatku tinggal ada sebuah toko halal yang dikelola oleh komunitas muslim yang bertempat tinggal di sekitar wilayah tempat tinggalku.
Namun, sayangnya tidak semua jenis makanan bisa didapatkan di toko ini. Maka, mengerti huruf-huruf kanji jenis-jenis makanan yang bisa berpeluang berstatus haram mestilah sebuah keharusan. Sebuah keahlian yang sangat membantu kala berbelanja di supermarket atau hypermarket di bumi sakuran ini.
Pertama kali menginjakkan kaki di bumi sakura, aku bingung melihat dan kadang mengerenyitkan dahi menatap huruf-huruf kanji yang kadang hampir mirip-mirip bentuknya. Jangankan mengerti artinya dan cara membacanya, mengingatnyapun kadang aku sering tertukar satu sama lain. Karena itu, aku sangat senang diajak berpergian ke supermarket oleh beberapa teman dekat di sini. Berbelanja bersama seroang teman suatu hari, untuk membeli buah tangan ketika akan menjenguk anak seorang teman yang sakit, membuatku mengetahui kalau tidak semua jenis roti bisa dimakan. Juga, akhirnya, aku mengetahui kalau coklat bubuk yang menemaniku kala malam hari yang dingin ternyata mengandung bahan yang kehalalannya diragukan.
Menemani dua orang teman di sebuah toko roti di suatu petang, membuatku mengerti mengapa akhirnya roti itu bisa dimakan, juga akhirnya bisa memahami bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk membuat adonan roti. Bersama sebuah keluarga dan seorang teman berbelanja di sebuah hypermarket di suatu hari yang lain, membuatku mengerti kalau ternyata kripik yang selama ini sering aku melahapnya ternyata mengandung bahan yang diragukan status kehalalannya. Atau bersama teman yang lain, ketika menemaninya berbelanja, membuat bertambahnya pengetahuanku ada lagi jenis saus yang bisa digunakan untuk variasi memasak.
Dan lebih bersyukur lagi, ketika seorang teman memberitahuku sebuah blog (junjungbuih.multiply.com) yang khusus menyajikan informasi jenis-jenis makanan di Jepang yang bahan-bahan pembuatnya tidak mengandung sesuatu yang haram. Sungguh aku berterima kasih dengan pemilik blog itu.
Sebuah coklat yang sangat sering dikonsumsi temanku, dan juga kadang aku mencicipinya ternyata mengandung bahan yang kehalalannya diragukan. Inilah arti ukhuwah yang sebenarnya bagiku. Setiap oang selalu berupaya memberika sesuatu informasi yang sangat berharga ini kepada saudara-saudara seiman yang lain. Sekedar untuk memastikan, kalau di ujung bagian manapun di Jepang ini, seluruh saudara seiman mengkonsumsi makanan yang jelas status kehalalannya.
Mungkin sebagian orang berfikir, “ah alangkah repotnya kalau setiap akan membeli sesuatu mesti melihat bahan-bahan pembuatnya dulu. Cukuplah berpatokan kalau makanan itu tidak mengandung daging babi atau sake, berarti kita boleh memakannya.” Tapi, hampir tiga bulan berteman dengan udara dingin di bumi sakura membuatku mengerti, ternyata ada jenis-jenis bahan-bahan makanan lain yang status kehalalannya mesti dipertanyakan.
Mungkin bagi orang awam, aku misalnya, kadang bahan-bahan itu tidaklah terfikirkan. Padahal mungkin saja bahan itu berasal dari turunan daging babi atau daging-daging yang disembih tidak dengan menyebut nama Sang Khalik. Bukankah juga daging-daging ini adalah haram untuk dikonsumsi?
Memang merepotkan awalnya. Tapi, jujur, menjadi sebuah kelegaan tersendiri ketika setelah mengamati sederatan huruf-huruf kanji yang memang kadang memusingkan kepala itu, ternyata makanan itu tidak mengandung bahan-bahan yang tidak jelas status kehalalannya.
Kadang, memang menggiurkan melihat potongan-potongan kue yang tampak sangat lezat. Atau makanan-makanan kecil yang berada dalam kemasan yang begitu rupawan, yang tersusun rapi di rak-rak berbagai toko. Selalu menarik minat untuk mengambilnya , untuk kemudian dibawa ke kasir dan dinikmati di rumah sambil membaca sebuah buku dan ditemani oleh secangkir coklat panas. Tapi, untuk tubuh sendiri, memang mesti harus berkurban.
Merelakan makanan yang tidak jelas kehalalannya untuk tidak memasuki saluran pencernaan. Sekedar menjaga dan memastikan memberikan sesuatu yang “diperintahkan oleh Sang Khalik” bagi sistem pencernaan tubuh. Ah, sebuah makna lain tentang berkurban bagiku di Idul Adha 1429 H ini.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Maidah: 88)
@ dormitory, Inage, November 2008