Memetik Makna Dari Majlis Nikah

Hidup laksana sekolah alam tanpa batas. Manusia menemukan sumber belajar apapun di dalamnya dalam skala yang tak terukur. Sebagian manusia menjadi cerdas otak dan qalbunya, lalu mampu menghadirkan manfaat karena kecerdasannya itu sebagai hasil belajarnya. Sosoknya melejit menjadi manusia soleh. Soleh secara personal dan sosial secara bersamaan.  Sebagian yang lain menjadi cerdas otaknya saja, sementara qalbunya tetap kering dari pintar. Manusia seperti ini sering terjebak pada nilai materialistik dan individualistik. Kesadarannya tentang manfaat hanya sebatas menghadirkan perangkat keras kehidupan yang habis-pakai. Ia sama sekali tercerabut dari essensi yang paling dasar, yaitu spiritualitas.

Kebalikan dari itu, adalah keberadaan manusia yang cerdas qalbunya tanpa diimbangi kecerdasan otaknya. Mereka adalah manusia-manusia yang begitu kental spiritualitasnya di satu sisi. Tapi pada sisi yang lain tidak pernah ”ngeh” dari aktualita dunia. Bahkan tidak disadari, mereka kadang keliru dalam memahami semangat spiritualitasnya itu dengan tindakan yang justru bertolak belakang dari nilai-nilai dasar religiusitas. Manusia kedua dan ketiga mengalami kesenjangan antara aspek lahir dan aspek batin.  Keduanya asik dengan ”dunianya” sendiri-sendiri. Yang terakhir adalah manusia yang sama sekali tidak bisa cerdas otak dan qalbunya dalam arti ”mati rasa nalar fikir dan hatinya”. Bahasa wahyu ”kal an’aam bal hum adhaluu” barangkali tidak sepenuhnya tepat untuk sebutan atas mereka, tetapi paling tidak sedikit memberikan gambaran atas keberadaannya.

Manusia ideal (kaamil) adalah manusia yang memahami hidup untuk apa, apa yang harus dikerjakan dan kemana akhir hayatnya. Ia tahu betul akan makna hidup dan selalu berusaha memperbaiki makna hidupnya dari waktu ke waktu sampai masa hidupnya berakhir di bungkusan kain kafan. Demikianlah manusia yang cerdas akal dan ruhaninya. Manusia yang bermakna.

Manusia memang tidak pernah sempurna, tetapi di balik keterbatasannya itu ia memiliki peluang untuk menjadi manusia bermakna dalam segala ruang dan waktu. Manusia dapat menjadi suami atau isteri bermakna. Menjadi ayah atau ibu yang bermakna. Atau menjadi apapun yang membawa manfaat dan kebermaknaan bagi kiri-kanannya.

Dari televisi kita tahu, dari internet, dari majalah dan koran, dari berbagai media kita tahu. Kita banyak kehilangan makna hidup, satu di antaranya makna hidup rumah tangga. Pernikahan bagai permainan. Hubungan suami-isteri bak sandiwara. Kekerasan rumah tangga seperti kebiasaan oleh publikasi. Banyak di sekitar kita telah gagal belajar dan menjadi cerdas lahir batin dalam institusi rumah tangga. Kita banyak kehilangan makna dari konsep sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Wejangan supaya menjadi suami-isteri bermakna terhitung jarang diulas secara lugas dan cerdas, meskipun dalam sebuah majlis pernikahan. Biasanya nasehat pernikahan bernuansa datar-datar saja kalau tidak dikatakan sangat standar. Pernikahan dikhutbahkan selalu dalam wacana bahwa ia merupakan sunnah. Bahwa biasanya wanita dinikahi karena alasan hartanya, nasabnya, kecantikannya, lalu konsideran akhirnya adalah anjuran untuk memilih wanita karena alasan agamanya. Hadits yang juga hampir tidak pernah luput disinggung dalam majlis itu adalah anjuran segera menikah bagi laki-laki yang telah mapan atau sebaiknya berpuasa sebagai konpensasinya.

Namun di nalar dai yang kreatif, dalil-dalil di atas mampu dihadirkan lebih hidup, menyentuh, nyambung dengan realita, segar dan lebih bermakna. Saya teringat dengan sebuah majlis pernikahan seorang sahabat, di mana hadirin disuguhkan pesan-pesan seperti kriteria yang tadi saya sebut, tentu menurut perspektif saya.

”Kepada pasangan yang baru menikah, semoga dapat menjadi suami dan isteri yang bermakna. Kepada para pengantin yang telah lama menikah, semoga menjadi pasangan yang lebih bermakna”, begitu kira-kira awal mula kata ”bermakna” itu diulasnya nyentrik.

Menjadi suami atau isteri bermakna amatlah mulia. Keduanya bukanlah sekedar pasangan yang telah mengikat janji perkawinan sebagai suami isteri dari sebuah institusi pernikahan. Mereka tidak sekedar pemilik sah buku nikah, tetapi taat pada nilai-nilai luhur kesetiaan pada pasangan, saling menjaga kehormatan, memenuhi segala hak dan kewajiban serta teladan bagi anak-anaknya. Peran keduanya amatlah luhur, terutama dalam mewarnai (shibghah) ke arah mana haluan generasinya akan dibawa. Apakah menuju generasi rabbani yang cerdas otak dan qalbunya atau sepenuhnya berlawanan arah dengan predikat mulia tersebut.

Kebalikan dari suami atau isteri bermakna amatlah rendah. Kedua mereka sama sekali tidak memahami makna luhur status masing-masing. Bahkan dalam konteks kesemerawutan tata nilai zaman ini, tidak jarang mereka malah menjadi bermakna ”suami” atau bermakna ”isteri” bagi laki-laki atau wanita asing. Status suami atau isteri hanyalah sebutan saat mereka bersamaan hadir di rumah tinggal dan sewaktu berinteraksi di wilayah privat room saja. Selebihnya tidak lain sebagai suami yang liar, haus, petualang dari satu dekapan ke dekapan wanita lain dan sama sekali tidak memperdulikan resiko bagi dirinya serta masa depan perkawinan dan anak-anaknya. Selebihnya pula, hanya sebagai isteri yang binal dan tanpa kehormatan karena telah dihisap siapa saja di luaran. Meeting dengan bos, bertemu klien, rapat dengan jajaran direksi, seringkali dijadikan alasan lumrah dan kamuflase  untuk sebuah ”rapat” yang bukan agenda rapat sesungguhnya.

”Jangan dikira setelah Anda menikah, godaan yang menyangkut pola hubungan lawan jenis akan surut seiring diucapkannya ijab qabul. Status baru sebagai seorang suami atau isteri, bukan berarti otomatis akan menutup pintu godaan selingkuh di antara pasangan. Justeru pertaruhannya lebih besar. Maka menjadilah pasangan yang memberi makna amanah atas cinta yang dibina dan dilanggengkan dengan ikrar sehidup dalam rumah tangga ”.

Saya pikir sulit dibantah kebenaran ungkapan bijak ini. Betapa banyak sudah drama rumah tangga berakhir tidak dengan happy ending. Tapi meninggalkan bekas traumatik yang dalam bagi salah satu pasangan atau anak-anak mereka. Mahligai perkawinan yang mahal dan sakral itu, dihabisi oleh percintaan terlarang dan pengkhianatan yang bukan saja murahan, tapi jorok dan sumber penyakit.

”Di sinilah fungsinya memelihara dan menyimpan makna kemesraan. Jangan habiskan kemesraan saat bulan madu. Sisakan untuk saat-saat sulit, di mana kita hampir tidak dapat keluar dari rasa bosan. Apalagi, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau dan segar, dari pada rumput di pekarangan sendiri”.

Pada bagian ini lebih seru diulas. Dasar pijakan tentang kemesraan disampaikan dengan contoh hidup Kanjeng Rasul. Luar biasa, saya percaya kemampuan mengulas akan sangat berpengaruh meskipun topik yang sama pernah kita dengar dari sumber berbeda. Beberapa contoh kemudian mengalir dihadirkan. Cerita tentang teladan Rasulullah dalam merawat cinta kasih dan kemesraan dalam rumah tangga Beliau.

Kisah ini dimulai dari Atha’ bin Yasar yang mengisahkan Rasulullah tidur dalam satu selimut bersama Aisyah ra. Aisyah kerap pula meminyaki bagian dari tubuh Rasulullah dengan nurah; sejenis bubuk pewangi dengan sentuhan tangan kemesraannya. Aisyah memang sangat kaya dengan khazanah kemesraan rumah tangga Nabi. Bahkan barangkali pula, beliau adalah sumber yang paling otentik untuk menggali informasi seputar rumah tangga Beliau. Putri Abu Bakar Siddiq itu tanpa ragu mengungkapkan bahwa dirinya pernah mandi dalam satu bejana bersama Rasulullah, menyisiri rambutnya, minum bergantian pada gelas yang sama, menciumnya, atau diceritakannya Nabi tiduran di pangkuannya dengan manja sampai bagaimana Nabi memanggilnya dengan sebutan ”Humaira” sebagai ekspresi rasa cinta dan kemesraan padanya. Begitu pula ketika Aisyah bercerita dengan sangat manusiawi, bahwa kerap kali mereka berdua bercanda sambil balapan lari. Mesra sekali.

”Jikalau kemesraan yang dicontohkan rumah tangga Nabi ini dapat dihadirkan di setiap rumah tangga kita, masihkah berlaku ungkapan ” rumput tetangga kelihatan lebih hijau dan segar daripada rumput di pekarangan sendiri”?. Hmmm, mestinya gugurlah makna ungkapan itu. Sebaliknya akan tumbuh pengakuan, bahwa tidak ada rumput yang lebih hijau dan lebih segar selain rumput yang tumbuh di pekarangan rumahku sendiri.

Saya berpikir, majlis pernikahan adalah majlis yang berkwalitas. Akan menambah bobot kwalitasnya jika diringi dengan khutbah atau nasehat pekawinan yang berkwalitas pula. Siapa tahu dengan nasehat-nasehat yang berkwalitas dapat menekan animo sebagian kecil orang berangkat ke Pengadilaan Agama untuk bercerai. Memang benar, kelanggengan atau perceraian masih berhimpitan dengan persoalan jodoh. Tetapi keputusan memilih jodoh dan bercerai pun tidak semata-mata mutlak masalah takdir dan kehendak Tuhan. Manusia diberi sedikit kuasa untuk memilih dari kedua hal tersebut.

Pada akhirnya, semua akan kembali kepada kadar keimanan setiap orang. Kecerdasan otak adalah dimensi materialistik, sedangkan kecerdasan qalbu adalah aspek kedalaman memaknai iman yang immaterialistik. Rumah tangga yang diisi oleh suami-isteri yang cerdas otak dan ruhaninya, sepertinya lebih siap belajar dari semesta dan siap menjadi keluarga bermakna. Rumah tangga bermakna bukan semata lelaki dewasanya pantas disebut ayah, wanita matangnya dipanggil ibu lalu mereka menurunkan cucu sebagai generasi berikutnya. Bahkan keturunan mereka tidak sekedar mendapat pengakuan secara genetis. Tapi, nilai sakiinah, mawaddah dan rahmah benar-benar hadir menjadi atap, dinding, lantai, jendela dan daun pintu bangunan fisik rumah tangga mereka.

Sahabat, semoga kalian adalah pasangan yang cerdas lahir batin dan bermakna satu sama lain. Amiin.

Ciputat, Agustus 2009

[email protected]