Membuang Masa Menuai Dosa

Sepucuk email yang datang dari adik perempuan membuat saya terus menerus tersenyum. Malah bahkan tertawa ketika sampai pada cerita tentang para keponakan. Alhamdulillah. Satu kekhawatiran di hati saya menguap tiba-tiba, saat membaca bait demi bait kisahnya. Bahwa ia demikian bahagia bersama keluarga kecil yang mereka bina sejak empat tahun lalu itu. Bahwa ia mendapatkan suami yang sangat mengerti dirinya. Subhannallah, Allahu Akbar!

Lantas, siapa bilang untuk mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan seperti yang kini ia raih, harus melewati tahap berpacaran terlebih dulu? Siapa yang begitu yakin, bahwa memilih pasangan hidup harus melalui waktu panjang untuk saling menjajagi?

Jika kita termasuk didalamnya, saya pikir, inilah saatnya bagi kita untuk mulai mengubah paradigma tersebut.

Karena ternyata itu semua tidaklah benar!
Tak perlu membuang waktu percuma hanya demi mengukir dosa sepanjang hari bersama seseorang yang jelas-jelas bukan muhrim kita. Jika sudah siap lahir batin, lebih baik, bersegera menikah! Sebab Allah telah menjanjikan hidup kita menjadi penuh berkah karenanya.

“Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah.Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS Ar Rum:21)”

***
Terus terang, kami sekeluarga sempat meragukan kebahagiaannya. Terlebih keluarga besar kami. Mereka bahkan tak ragu untuk menanyakan ulang keseriusan adik tentang rencana pernikahannya yang boleh dibilang dadakan.

Namun ia benar-benar yakin dengan keputusannya untuk mengakhiri masa lajang bersama seorang pria, hasil ‘pencarian’ sang murobbi. Sedangkan kami sungguh khawatir. Ia masih sangat belia kala itu. Bangku kuliah pun baru ditinggalkannya beberapa bulan berselang. Dan kekhawatiran kami semakin menjadi manakala kami tak sedikit pun mengenal calon suaminya.

Maka, pertemuan dengan orang tua pun diatur sedemikian rupa. Hampir setiap Ahad, selama lebih kurang dua bulan, si ikhwan datang untuk berdiskusi dengan Bapak, sebagai upaya saling mengenal lebih dekat. Sedangkan adik saya, tak pernah sekali pun di rumah saat masa diskusi itu berlangsung. Saya semakin heran. Dalam benak saya timbul pertanyaan besar, apakah ia tidak ingin mengenal lebih dekat calon suaminya? Tak maukah ia tahu lebih banyak, dan berbincang lebih akrab dengan seseorang yang akan menjadi teman hidupnya? Jika tidak dimulai sejak masa sebelum menikah, apakah mungkin mereka akan menjadi akrab sesudahnya, setelah pernikahan itu benar-benar terjadi?
Wah, pertanyaan di otak saya semakin banyak. Sayang, tak satu pun terjawab olehnya. Adik saya selalu menghindar jika saya utarakan teka-teki di benak saya.

Kami pun akhirnya nurut. Dengan bekal husnudzan dan beribu doa, tanpa menunggu terlalu lama, terselenggarakanlah pernikahan sederhana itu.

Waktu terus berputar. Kehidupan baru yang dijalaninya tidaklah mudah. Beberapa kali cobaan menghampiri mereka. Namun, ternyata sakinah itu tumbuh demikian cepat di antara mereka. Pun iman membaja di dada, membuat mereka mampu menyelesaikan semua persoalan dengan baik. Alhamdulillah.
Dan kini, adalah waktu di mana kehidupan mereka berada pada titik yang teramat baik. Perjuangan, keikhlasan dan kesabaran telah dibalas oleh Allah dengan limpahan beribu rahmat. Kemurahan rizki pun mereka dapat. Subhannallah!

***
Belakangan saya baru tahu, bahwa mereka juga mengalami masa penjajagan, pengenalan, tetapi sesuai dengan syariat agama kita. Tanpa pertemuan intens, tanpa berdua-duaan berteman setan.

Maka, masih adakah yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan tanpa melewati masa-masa perzinahan itu? Tidak inginkah kita memasuki sebuah babak suci dalam hidup, tanpa mengotorinya terlebih dahulu? Tidak maukah kita membuang masa menuai dosa, dan berharap yang lebih berkah dari Allah?

Astaghfirullahal adziim…
Wallahua’lam bishshowwab

[email protected]