Perempatan jalan. Suatu siang. Kendaraan padat. Matahari terik. Lampu merah menyala. Mobil Anda berhenti beberapa mobil dari depan.
Apa yang akan Anda lakukan jika datang dua orang ini: pertama, seorang tukang koran yang menawarkan koran atau majalahnya. Dan kedua, seorang pengemis dengan baju kumal minta dikasihani?
Anda mungkin akan berpikir, pengemis berbaju kumal itu lebih layak untuk diberi sedikit uang di laci dashboard mobil Anda. Barangkali saja ia belum sarapan. Atau mungkin malah ia sudah menahan lapar sejak kemarin. Sangat boleh jadi, ia tak memegang uang sepeserpun untuk membeli sesuatu. Tetapi ketika Anda perhatikan pengemis itu lebih seksama, ia ternyata masih muda di balik topi bututnya. Tak kelihatan kurus kering meski tubuhnya menghitam di balik balutan baju kumalnya. Ia sehat wal’afiat tak kurang suatu apa. Lantas Anda akan berpikir, mengapa anak muda sesehat anak ini tak cari kerja yang lain saja?
Mungkin Anda akan berubah pikiran kepada penjual koran. Ia seorang yang sudah tidak bisa disebut muda. Boleh jadi ia telah memiliki satu-dua anak di rumah yang sedang bersekolah di SMP atau SMA. Mungkin malah sudah kuliah. Bajunya meski tidak bagus-bagus amat, tetapi tidaklah kumal. Sederhana. Ia menyodorkan koran dagangannya kepada Anda untuk dibeli. Mungkin ia akan mendapat untung seratus-dua ratus perak untuk setiap koran yang terjual. Dan ia tidak mengemis pada Anda. Ia hanya ingin Anda membeli korannya. Tetapi, Anda sudah membaca koran yang sama di rumah sebelum berangkat kerja tadi pagi. Buat apa beli lagi koran yang sama? Apa Anda akan membeli koran yang tidak akan dibaca?
Keadaan demikian barangkali adalah hal-hal yang sering kita temui dan kita rasakan di jalanan sehari-hari. Tukang koran, penjual mainan anak-anak, penjual rokok, penjual penganan, penjual masker penutup hidung, penyebar brosur, pengamen, dan juga pengemis dengan beragam jenis. Semua menghampiri kaca jendela mobil kita. Kita mungkin akan memilih membeli barang dagangan satu di antaranya atau memberi uang receh pada si pengemis. Mungkin lebih sering, apalagi kalau sudah agak jengkel, malah tidak membeli atau memberi sama sekali.
Barangkali tak jarang kita dihadapkan pada pilihan seperti cerita di atas. Membeli koran yang kadang tidak kita baca, atau memberi uang pada pengemis? Bukankah penjual koran lebih mulia ketimbang pengemis atau peminta-minta?
***
Inilah mulianya Islam. Inilah hebatnya Rasul.
Pada sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Pada hadits lain, Rasulullah SAW tidak menghendaki — atau mungkin malah lebih tepat melarang — umatnya untuk menjadi pengemis alias peminta-minta. Beliau juga mengatakan bahwa ada dosa yang tidak bisa dihapus kecuali dengan banjirnya keringat kita karena lelah bekerja. Tentu mengemis bukan termasuk ‘bekerja’ sebagaimana yang dimaksud oleh hadits ini.
Di sisi lain, Rasul yang agung juga menghimbau dan menganjurkan kepada kita agar jangan sampai tidak memberikan sesuatu kepada orang yang meminta-minta meski itu hanya secuil gerabah yang terbakar. Artinya, sesedikit apapun, meski hanya seratus-dua ratus perak umpamanya, berikanlah pada pengemis atau peminta-minta yang datang kepada kita. Bukankah Rasulullah sendiri adalah pribadi yang tidak pernah menolak membantu ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya? Bahkan pernah beliau harus berhutang untuk sekadar membantu mereka, satu hal yang bagi kita barangkali sulit untuk menirunya.
Balance. Seimbang. Itulah kesan saya terhadap eksistensi hadits-hadits di atas. Di satu sisi Rasul melarang meminta-minta, di sisi lain, kalau ada seorang peminta-minta datang pada Anda, jangan sampai tidak memberi meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Tetapi seharusnya mesti diingat, mereka yang boleh meminta-minta hanyalah 3 golongan saja: orang yang cacat, orang yang memiliki banyak hutang, dan orang miskin sampai ia mendapatkan sumber penghasilan. Ironisnya, ada orang yang tidak cacat, tidak juga punya hutang, mungkin miskin meski berbadan sehat tak kurang suatu apa — artinya dia mampu mendapatkan penghasilan dengan bekerja, tetapi tetap mengemis.
***
Perempatan Kebun Bibit Surabaya. Suatu siang. Matahari menyengat. Peristiwa tsunami Aceh belum lagi satu bulan berlalu. Lampu merah menyala. Saya berhenti dua mobil dari depan.
Setelah penjual koran dan tukang rokok berlalu dari kaca jendela mobil saya, datanglah seseorang dengan baju sweater lengan panjang abu-abu membungkus hingga kepalanya seperti layaknya baju di musim salju. Ia memakai kaca mata hitam gelap. Bahkan saya tidak bisa melihat kilat matanya. Ia pun mengenakan sapu tangan bendera Amerika untuk menutup hidung dan mulutnya. Dan yang lebih menarik adalah, di dadanya tergantung sebuah tulisan hitam di atas karton putih selebar kertas HVS kuarto. Sangat jelas terbaca, apalagi ketika ia mulai mengelap kaca mobil depan saya dengan kemucing di tangan. Tulisan itu berbunyi:
Korban Tsunami Aceh.
Saya buta, tuli, bisu.
Mohon dibantu.
Setengah tidak percaya, setengah geli, saya beri orang itu beberapa keping receh yang saya punya.
Perempatan Kertajaya. Sore harinya. Langit agak mendung, hujan segera runtuh ke bumi. Lampu merah menyala. Saya berhenti pula.
Seorang tukang koran mendekati saya. Ia mungkin belum tamat Sekolah Dasar. Wajahnya banjir keringat. Ia menyodorkan koran yang terbit sore hari pada saya. Saya menggeleng. Anak ini kemudian menggerak-gerakkan tangannya persis seperti orang makan dengan tangan. Akhirnya saya buka kaca jendela.
“Om, belum makan, Om. Dua ribu saja,” katanya sambil menyodorkan korannya lagi.
Saya merogoh kocek dan mengeluarkan dua ribu rupiah. Saya berikan padanya untuk koran sore yang beritanya akan muncul di koran pagi langganan saya edisi besok.
Lain ladang lain belalang. Ini gaya Surabaya. Lain dengan gaya Jakarta.
Saya jadi teringat, pernah suatu hari, beberapa tahun lalu di Jakarta, saya dan seorang teman naik bis kota jurusan Cempaka Putih – Senen. Penumpang penuh sesak. Saya bahkan berpikir bis yang sudah tua dan karatan itu akan ambruk di jalan. Di tengah hiruk-pikuk itu, ada seorang pengamen dan seorang ‘juru bicara’ yang naik. Setelah genjrang-genjreng gitarnya, sang juru bicara mulai berorasi:
“Bapak-bapak! Ibu-ibu! Terus terang saja. Daripada kami nyopet, daripada kami nyuri, daripada kami nggarong atau ngompas, kami minta sedikit uang Anda untuk beli makan.”
Kemudian keduanya bernyanyi yang membuat error gendang telinga. Teman saya langsung menyikut pinggang saya.
“Amankan dompet dan handphone-mu, Mas!” katanya serius.
Ah, Jakarta. Saya hanya bisa mengelus dada.
Ternyata, meminta-minta pun perlu inovasi dan kreativitas.
***
*) Ketua FLP Jatim 2004-2006 (http://bahtiarhs.multiply.com)