‘Memberi dan memberi’. Ungkapan ini, tidak dikenal. Yang lebih umum adalah ungkapan Bahasa Inggris: memberi dan menerima’ (take and give). Orang yang memberi dalam prinsip ini, seolah-olah berhak untuk menerima. Pada ungkapan ini, bahkan ‘mengambil’ (take) lebih didahulukan ketimbang ‘memberi’ (give). Tendensinya egois.
Dalam kamus Islam, ungkapan ini tidak tepat. Pemberian di dalam Islam harus ikhlas, tanpa mengharapkan balasan apapun. ‘Take and give’, mengajarkan kita untuk menanti imbalan atas jasa atau bantuan yang kita berikan kepada orang lain.
Jangankan mengharapkan balasan dalam bentuk material; mengungkap-ungkap pemberian saja, itu sudah berarti ‘menyakiti’ pemberian. “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati.” (Al-Quran, Al-Baqarah: 262).
Memberi secara ikhlas itu berat sekali (Al-Quran, Al-Balad: 12-17). Apalagi jika pemberian itu kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan persaudaran dengan kita sama sekali. Kalau kita memberi bantuan pada ibu, bapak, anak, isteri, suami, saudara sepupu, keponakan, atau tetangga, tidak ada yang perlu ‘diherankan’, karena sudah kewajiban kita. Namun, akan lain persoalannya jika pemberian itu kita lakukan pada orang lain. Iman kita lah yang sedang diuji.
Selama bertahun-tahun saya merasakan, betapa Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, keselamatan, kesehatan, rejeki, dan sejuta kenikmatan lainnya. Selama itu saya merasa tidak pernah berbagi kenikmatan ini dengan ‘orang luar’. Yang saya maksud adalah, orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah atau persaudaraan sama sekali dengan saya.
Saya mengenal teman sekamar saya itu sembilan tahun sudah. Waktu itu, dia biasa datang ke kantor perusahaan kami, sebagai supplier. Sesekali saya lihat di ruang tamu bagian pembelian barang perusahaan. Karena sering muncul di sana, jadilah kami akrab.
Perkenalan kami yang sesaat memang tidak bisa dipakai sebagai pedoman bahwa seseorang itu baik atau buruk. Apalagi bila pergaulan itu lebih terbatas kepada urusan bisnis, perusahaan atau kantor. Tapi saya percaya, Abdul Karim namanya, 52 tahun, asal India Selatan, orangnya baik. Perkataan baik ini saja juga belumlah cukup. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kriteria kebaikan seseorang bisa diukur ketika bertamu bermalam di rumahnya, memberi hutang atau pernah tidaknya kita menempuh perjalanan jauh bersama. Tiga kejadian ini merupakan dasar penentuan mengukur kebaikan seseorang.
Pada tahun ketiga, sesudah beberapa kali pindah apartemen, saya sengaja memutuskan untuk tinggal sendiri. Tidak lagi sharing. Apalah artinya hemat sedikit uang, kalu harus sering korban perasaan. Begitulah kesan saya selama tiga tahun hidup dengan sharing ini. Ada saja kendala dan persoalannya.
Pengalaman saya yang sudah-sudah membuktikan betapa sulitnya mencari partner, teman se kamar. Apalagi di negeri asing di mana orang Indonesia amat langka. Bagi saya, latar belakang kebangsaan tidak jadi soal. Yang penting saling pengertian sebagai teman, itu sudah lebih dari persyaratan yang cukup. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya ini orangnya baik. Sama sekali tidak demikian! Persoalannya hanyalah terletak pada banyaknya perbedaan, yang kadang membutuhkan ekstra sabar, agar bisa menyesuaikan antara satu dan lainnya.
Beberapa perbedaan itu misalnya: saya lebih suka jam sepuluh malam, lampu sudah mati. Tapi teman sekamar lebih senang nonton televisi dulu. Saya senang makan pedas, teman sekamar lebih suka manis. Saya lebih suka pakaian harus ditaruh dalam almari, tanpa banyak gantungan di luar, teman sekamar lebih suka cowboy-an. Saya lebih suka sandal diletakkan pada tempat yang tersedia, teman sekamar lebih enak kalau pakai sandal di dalam kamar yang berkarpet.
Nah! Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang kalau tidak diantisipasi dengan bijaksana, bukannya teman yang kita dapat, malah musuh yang beranak-pinak.
Tiga bulan saya tinggal sendirian di dalam sebuah studio flat, ternyata ‘membosankan’. Tidak saya pungkiri, dalam banyak kesempatan saya menyukai privasi. Terutama pada saat baca, belajar, atau sedang menulis. Namun saya akui, bahwa dalam beberapa hal, saya juga butuh teman berdiskusi, berbicara tentang kondisi dan perkembangan yang ada di dunia dewasa ini hingga persoalan pribadi. Kebutuhan berinteraksi sebagai makhluk sosial tidak bisa dihindari. Bukankah Rasulullah SAW sendiri selalu bersama sahabat-sahabat beliau kemanapun beliau pergi?
Pertimbangan yang terakhir inilah yang mendorong saya untuk memutuskan, sharing lagi. Tapi siapa yang cocok untuk menjadi partner kamar saya ya? Sesudah muter-muter mencari-cari orangnya, saya menawarkan pada diri sendiri, Abdul Karim, seandainya dia bersedia.
Bapak tiga anak ini, kerjanya sebagai sopir di sebuah perusahaan spare parts mobil. Saya lihat kerjanya berat dibandingkan saya. Berangkat pukul tujuh tiga puluh pagi, istirahat siang pukul dua hingga tiga. Sesudah itu, jam tiga sore kerja lagi hingga jam delapan malam. Walaupun jam delapan rampungnya, seringkali sampai di rumah hingga jam sembilan malam, atau lebih.
Awal-awal dia tinggal bersama, saya biasa saja menanggapi segala keluhannya, baik fisik maupun psikologis. Seperti yang saya sebutkan di atas, menciptakan suasana persaudaraan dan persahabatan itu tidak gampang. Butuh waktu lama. Jadi, kalau dia mengeluh pinggangnya sakit, mata merah, alergi pada kulit-kulitnya karena panas, dan capek sekali selepas kerja, semuanya kurang begitu saya pedulikan dalam bulan-bulan pertama.
Niat saya insyallah dari semula ingin membantunya. Makanya, sejak dia tinggal di apartemen, saya tidak menginginkan duitnya. Saya bukan dari kalangan eksekutif yang banyak uang. Tapi untuk membayar apartemen sederhana seperti yang kami tempati insyaallah saya mampu, tanpa ‘intervensi’ finansial Abdul Karim.
Bulan-bulan pertama kami tinggal, saya selalu bikin sarapan sendiri. ‘Saya tidak butuh teh, saya tidak butuh kopi. Kalau Abdul Karim mau sarapan dan minum, silahkan bikin sendiri.’ Itulah di antara beberapa prinsip hidup saya waktu itu. ‘Toh dia sudah cukup saya bantu.’ Entahlah. Kata-kata itu, begitu saja dijejalkan syetan ke dalam telinga yang menembus hati saya. Hal ini berlangsung sekitar satu tahun lamanya.
Manusia tidak ada yang sempurna. Saya banyak kesalahan, Abdul Karim kadang-kadang juga lupa.
Satu hal yang saya kurang senang pada diri bapak yang sekolah dasar saja tidak tamat ini adalah, biasa bangun siang. Otomatis dia tidak melaksanakan sholat Fajar tepat pada waktunya. Alias bangkong. Bangun pagi, memang berat sekali.
Suatu hari, saya menyiapkan teh-susu untuk kami berdua. Biasanya, kalau saya bikin teh, tidak pernah saya cuci ketelnya. ‘Biar Abdul Karim saja yang membersihkan nanti. Toh saya sudah bikinkan dia teh. Ngapain dia harus enak-enak?’ Begitulah. Sekali lagi, syetan berkunjung ke dalam hati dan pikiran dengan segudang negativisme.
Anehnya, setiap kali saya berpikir negatif seperti itu, setiap kali pula timbul kegelisahan pada batin saya. Ayat yang termuat dalam Al-Quran di atas (Al-Baqarah: 262), sepertinya kembali terngiang-ngiang dalam pikiran dan hati ini. ‘Mengapa saya tidak ikhlas atas bantuan yang saya berikan kepada sopir ini?’
Begitulah!
Apartemen kami kecil sekali. Tak lebih dari empat kali enam meter. Hanya cukup untuk dua orang. Kamar mandi di depan, kemudian ruang tamu sekaligus kamar tidur dan tempat masak di pojokan. Tidak tersedia dapur.
Suatu hari, ketika saya sedang menyiapkan teh, pagi hari tentu saja, saya pandangi wajah Abdul Karim yang sedang tidur nyenyak. Belum bangun dan menunaikan sholat Fajar. Entah karena apa, saya begitu merasa bersalah selama ini, karena kekurang-ikhlasan saya, meski terbatas hanya menyiapkan teh dan sarapan pagi.
Padahal, orang ini jauh lebih tua dari pada saya. Saya layak menghormatinya. Saya berkewajiban membantu meringankan bebannya. Dua puluh lima tahun dia kerja. Betapa beratnya jadi sopir. Andai saja saya yang mengalami, belum tentu mampu dan kuat seperti dia.
Sejak itu, saya menyesal sekali. Saya tekadkan untuk membantu dan membantunya. Saya tidak akan iri apakah dia ikut membersihkan rumah atau tidak. Apakah dia mau belanja atau tidak. Apakah dia mau memasak atau tidak. Apakah dia akan siapkan makan siang buat saya atau tidak. Apakah dia akan buang sampah atau tidak. Apakah dia mau menyeterika baju saya atau tidak. Saya tidak peduli! Yang saya inginkan adalah memberi dan memberi. Saya tidak menginginkan balasan apapun darinya. Ucapan terimakasih sekalipun! Bukan itu semua tujuan saya!
Kegondokan hati dan kemarahan saya lantaran dia tidak melaksanakan sholat Fajar pada waktunya juga saya kurangi. Pada hari Jum’at khususnya, dia seringkali menirukan ayat-ayat Suci Al-Quran, manakala dibacakan Ayat yang sama dalam acara televisi di pagi hari. Dalam suasana begini biasanya saya singgung dia dengan kata-kata yang juga saya ‘lagukan’ sebagaimana orang-orang membaca Al-Quran: “Saya tidak sholat Fajar tepat pada waktunya…….. saya tidak solat Fajar…….”.
Dia bilang: “Jangan begitu!” sambil tersenyum. Nampaknya paham dengan sindiran saya.
Hal itu berlangsung terus menerus dan dalam waktu lama sekali. Saya tidak perlu ceritakan detail berapa lamanya. Hingga suatu hari, dia bilang:
“Bangunkan saya besok pagi ya?” pintanya. Maksudnya, waktu sholat Fajar tiba.
Subhanallah. Saya merasa bahagia sekali sejak hari itu. Kebahagiaan ini saya simpan dalam-dalam. Tidak saya tunjukkan kepadanya. Padahal semula, saya sudah nyaris give up dengan kelakuan dia untuk tidak pernah bangun pagi dan sholat Fajar di masjid. Padahal sebelumnya, dia tidak menggubris sama sekali kalau pintu apartemen saya buka. Gesekan suara pintu juga tidak mampu mengusik lelap tidurnya.
Saya memang tidak berharap Abdul Karim akan bangun pagi dan ke masjid, lantaran bantuan yang saya berikan. Saya menghendaki dia beribadah ikhlas karena Allah SWT semata. Alhamdulillah. Semua ini ternyata ada buahnya. Sejak pagi itu, kami selalu berdua berangkat ke masjid.
Abdul Karim, dikenal di antara rekan-rekan saya anggota pengajian warga Indonesia sebagai satu-satunya orang India yang hampir tidak pernah absen saya ajak ikut serta dalam berbagai acara sosial dan keagamaan warga Indonesia di Emirates. Kesederhanaannya, saling-pengertiannya sebagai saudara seiman, telah menambah jam terbang saya dalam belajar: memberi dan memberi. Bukan memberi dan menerima.
Pagi ini, ketika saya selesaikan alinea terakhir artikel ini, lepas sholat Fajar, Abdul Karim tidur lagi. Saya maklum, karena sesudah itu, dia harus kerja, mencari nafkah buat isteri dan tiga anaknya nun jauh di sana. Pagi ini, dan pagi-pagi berikutnya, biarlah saya yang akan bikin teh dan sarapan pagi. “Saya mengejar pahala dari sisiMu ya Allah! Sungguh, saya tidak menginginkan apapun darimu Abdul Karim saudaraku. Bagi saya, Allah SWT telah lebih dari cukup memberikan segala yang saya butuhkan. Saya hanya berharap ridha dariNya!”