Pada suatu hari, Amir bin Malik, salah seorang pemuka Najd, datang kepada Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, tetapi dia tidak menerima juga tidak menolak Islam. Dia hanya berkata kepada Rasulullah Saw,
“Hai Muhammad, utuslah beberapa orang sahabatmu ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut agamamu!”
Rasulullah Saw menjawab, “Aku khawatir penduduk Najd akan menyerang mereka.”
“Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan menjamin mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu”, ucap Amir bin Malik.
Kemudian Rasulullah Saw mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da’i ini terjadi empat bulan setelah perang Uhud. Maka berangkatlah mereka hingga sampai di sebuah desa bernama Bi’ru Ma’unah. Singkat cerita, ketika sampai di sana, mereka diserang oleh Amir bin Thufail yang datang bersama orang-orang yang menolak kesepakatan Amir bin Malik dengan Rasulullah Saw. Mereka membunuh para sahabat, hanya satu yang selamat. Mereka merusak tubuh para sahabat dan melemparkan mayatnya di tempat terbuka sehingga menjadi santapan burung.
Berita ini sampai kepada Rasulullah Saw dan beliau sangat sedih mendengarnya. Anas berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw berduka seperti duka beliau terhadap para sahabat korban tragedi Bi’ru Ma’unah.” Setiap subuh, beliau selalu melakukan qunut untuk korban targedi Bi’ru Ma’unah selama tiga puluh hari terus menerus, mendoakan kecelakaan atas kabilah-kabilah yang mengkhianatinya. Qunut itu dihentikan tatkala Allah SWT memerintahkan untuk menghentikannya.
****
Tragedi Bi’ru Ma’unah terjadi pada tahun ke-4 Hijriah, namun demikian tetap relevan untuk diambil pelajarannya di tahun ke-1430 Hijriah ini.
Kesedihan Rasulullah Saw atas tewasnya 70 orang sahabat dalam tragedi Bi’ru Ma’unah itu sangat bisa dimaklumi. Pertama, secara kuantitas jumlah tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Mereka adalah sahabat-sahabat pilihan yang keimanannya tidak diragukan oleh Rasulullah Saw. Kedua, mereka tewas (syahid) akibat penghianatan dari sebuah perjanjian, bukan melalui pertarungan/peperangan yang fair.
Jika atas tewasnya sahabat sebanyak 70 orang itu saja Rasulullah Saw sangat bersedih, apatah kini kita menyaksikan tragedi pembantaian atas penduduk Gaza yang mensyahidkan lebih dari 1.025 jiwa termasuk 410 anak-anak (di bawah 6 tahun), 108 wanita, 113 pria lansia, 14 petugas medis, 4 wartawan, dan 5.300 orang menderita luka-luka. Semua itu adalah akibat dari sebuah pengkhianatan dan kezaliman.
Belum lagi beberapa kerusakan yang semestinya tidak perlu terjadi yang menurut Biro Statistik Palestina meliputi kerusakan pada 4.000 bangunan pemukiman, 16.000 rumah penduduk, 1.500 fasilitas komersial (meliputi pabrik, toko dan bengkel), 51 bangunan pemerintah (termasuk gedung kementerian dan polisi), 18 sekolah dan fasilitas pendidikan lainnya, 20 mesjid, dan 50 kilometer jalan raya. Jika dinilai dengan uang, kerusakan pada prasarana bernilai 475,9 juta dolar dan kegiatan pembersihan atas kerusakan yang terjadi diperkirakan akan menelan biaya 500 juta dolar. Belum kerugian immaterial dan biaya rehabilitasi yang sulit dikuantifikasikan. Sungguh, sebuah kerusakan yang cukup spektakuler akibat sebuah penyerangan yang terjadi hanya dalam 22 hari itu.
Sebagaimana Rasulullah Saw terpukul atas tragedi Bi’ru Ma’unah, sepantasnyalah kita juga terpukul menyaksikan penghianatan dan kebiadaban yang dipertontonkan secara gamblang pada agresi militer Israel ke Gaza.
Jika setelah terjadinya peristiwa Bi’ru Ma’unah dan peristiwa penghianatan dan pembunuhan sebelumnya, kaum Muslimin semakin peka terhadap berbagai tindak kejahatan, pembunuhan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum musyrikin, baik secara berkelompok maupun perorangan. Kini, setelah terjadinya tragedi Gaza, kaum muslimin pun seharusnya makin semakin peka terhadap berbagai tindak kejahatan, pembunuhan dan pengkhianatan yang selalu dilakukan oleh Zionis-Yahudi. Sudah menjadi sunatullah bahwa mereka akan selalu membuat makar untuk memperdaya kaum muslimin. Allah berfirman, “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS 61:8).
Sekjen PBB Ban Ki Moon beberapa waktu lalu menyebut bahwa tingkat kekerasan di Gaza tak pernah terjadi sebelumnya selama beberapa dekade terakhir. Memang pantas jika Israel disebut kejam bahkan biadab. Karena jika melihat alasan penyerangan Israel ke Jalur Gaza untuk menghancurkan fasilitas Hamas dan membunuh para pejuangnya, maka yang terlihat justru sebaliknya.
Israel telah jelas-jelas melanggar hukum internasional tentang perang. Penggunaan bom fosfor putih, target serangan yang tidak membedakan sipil dan pejuang Hamas, termasuk penghancuran masjid-masjid dan kantor pemerintahan merupakan fakta telanjang yang bisa disaksikan semua orang.
Kebiadaban yang luar biasa itu harus selalu kita kenang. Bila perlu kita benamkan dalam memory kita dalam-dalam. Alangkah lebih baik jika kita makin meningkatkan pemahaman atas sepak terjang Zionisme dari masa ke masa. Hal ini akan menciptakan kewaspadaan pada jiwa kaum muslimin (alert warning system) atas makar-makar licik yang selalu mereka ciptakan.
Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan menghadiri paparan oleh Ustadz Khaldun Ibrahim Salam, Ulama Yordan yang fasih berbahasa Indonesia di sebuah Islamic Center di Pondok Gede. Secara garis besar Ia mengingatkan bahwa tragedi Gaza ini adalah peringatan untuk ummat Islam di mana pun mereka berada. Hendaknya tragedi Gaza ini menjadikan kita berenung atas kualitas iman dan ilmu yang kita miliki. Sebab bisa jadi, inilah bukti bahwa keimanan ummat Islam sedang terpuruk dan ummat Islam belum memiliki kompetensi ilmu sebagaimana dimiliki oleh musuh-musuhnya. Oleh karenanya, inilah momentum bagi ummat Islam untuk selalu bersiap siaga. Bersiap siaga dalam segala hal.
Waallahua’lam bishshawaab