Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dikatakan bahwa puasa adalah perisai (junnah). Di antara.penafsirannya adalah bahwa puasa menjadi penghalang antara.pelakunya dengan api neraka dan penghalang dengan perbuatan ma’shiyat atau melanggar ketaatan kepada Allah. Ketaqwaan yang menjadi tujuan puncak ibadah puasa, oleh seorang sahabat bernama Ubay bin Ka’ab ra.disifati dengan kewaspadaan yang terus menerus dari seorang beriman dalam menjalani kehidupan, laksana kehati-hatiannya tatkala berjalan di jalanan yang penuh onak duri. Kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap perbuatan dosa ini menjadi prasyarat utama membentuk jiwa berkarakter kebajikan (al-birr).
Karakter kebajikan pada seorang mukmin ditandai dengan ketajaman jiwa, hati nurani atau unsur emosional pada dirinya. Dalam hadits ke-27 dari kumpulan 40 hadits oleh Imam Nawawi, an-Nawwas ibn Sam’aan ra.meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Kebajikan itu adalah kebaikan akhlaq/budi pekerti; dan perbuatan dosa adalah yang membuat jiwamu berguncang –karena ragu- dan sesuatu yang kamu tak ingin orang lain mengetahuinya.” (HR Imam Muslim). Dalam riwayat Wabishah ibn Ma’bad ra.diriwayatkan, aku (Wabishah) datang kepada Rasulallahi saw dan beliau berkata,”Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku (Wabishah) menjawab,”Benar.” Beliau bersabda,”Mintailah fatwa –berkonsultasilah- pada hatimu. Kebajikan itu adalah yang menentramkan jiwamu dan menentramkan hatimu. Adapun perbuatan dosa adalah yang mengguncangkan jiwamu dan berkecamuk di dadamu, meskipun orang-orang memberikan fatwa/legalitas terhadap perbuatan itu.” (HR Imam Ahmad dan Imam ad- Darimi).
Ali karamalLaahu wajhah berkata, ”Pertama-tama capailah pengendalian diri dengan menjauhi perbuatan dosa dan kejelekan. Kemudian akan mudah bagimu untuk membiasakan diri pada ketaatan dan peribadatan kepada Allah.” Pada kesempatan lain beliau berkata, ”Raihlah pengendalian atas dirimu dengan meninggalkan kebiasan-kebiasan (buruk), dan perangilah hawa nafsumu sehingga tunduk kepada kehendak kemauanmu.”
Islam memanfaatkan kekuatan kebiasaan sebagai suatu sarana yang efektif bagi latihan bagi jiwa manusia dan bagi pencapaian kebahagiaan hakikinya. Latihan-latihan ini menciptakan ikatan yang hidup antara.hatinya dengan Allah swt serta menaburkan benih kebajikan dan keutamaan pada jiwa manusia hingga menjadi kebiasaan. Semua kebiasaan keIslaman bersumber dari kerinduan batin yang paling hakiki dan ciri utama dari kesucian jiwa. Lalu kerinduan batin ini diubah menjadi perilaku dan praktek perbuatan spesifik dengan sisi dan ciri-ciri yang diatur dengan jelas dalam syariat. Secara.berangsur-angsur manusia mengambil bentuk kebiasaan ini berdasarkan kesadaran penuh.
Demikianlah, selama sebulan penuh dalam bulan Ramadhan seorang mukmin dilatih dengan berbagai kebiasaan beribadah mendekatkan diri kepada Allah, membaca dan menelaah tuntunan Ilahi pada kitab al-Quran dan melakukan perbuatan baik secara.intensif terhadap sesama melalui berbagai sedekah dan kebaikan lainnya. Pada saat yang bersamaan ia pun dilatih untuk meninggalkan perbuatan dosa dan keburukan. Ia tak boleh berkata bohong atau menyakiti orang lain, serta mesti menghindari pertengkaran yang tidak perlu. Jika ini dilakukan maka kesempurnaan nilai puasanya ternodai. Disebutkan, ”Bukanlah (hakikat) puasa itu sekedar meninggalkan makan dan minum, melainkan meninggalkan pekerti sia-sia (tak bernilai) dan kata-kata bohong.” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). Dan Rasulullah saw pun bersabda, ”Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan makan dan minum.” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Ibadah puasa memang merupakan latihan luar biasa, sebab seorang mukmin bahkan memenuhi perintah Allah untuk meninggalkan sesuatu yang dalam kehidupan di luar Ramadhan merupakan perbuatan boleh (mubah), yaitu makan, minum dan berhubungan intim dengan isterinya sejak waktu fajr hingga terbenam matahari. Keadaan ini menjadi latihan agar meninggalkan hal-hal yang sudah jelas keharamannya lebih mudah dilakukan seorang mukmin.
Dengan berpuasa, seseorang lebih merasakan kedekatan dan pengawasan Allah. “Seluruh amal ibadah anak Adam baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untukKu dan Aku yang akan memberikan balasannya.” (Hadits muttafaqun alaihi). Selama berpuasa Allah dirasakan lebih dekat dengan hati seorang mukmin. Seperti diisyaratkan Imam Ali ra.secara.umum, ini adalah buah dari ditinggalkannya perbuatan-perbuatan dosa dan perbuatan jelek, kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu dan meningkatnya ketaatan kepada Allah selama bulan Ramadhan.
Serangkaian ibadah di bulan Ramadhan akan membentuk jiwa kebajikan pada diri mukmin. Ini akan menjadi bekal baginya dalam menjalani kehidupan di dalam dan pasca Ramadhan. Rasulullah saw mengukuhkan keyakinan mukmin akan keutamaan jiwa yang diliputi kebajikan ini dengan sabdanya, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukannya.” (HR Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud)
WaLlahu a’lamu bish shawwab.