Di salah satu jembatan anak sungai Kapuas, kota Pontianak, saya berdiri. Pandangan saya jauh ke hulu sungai. Saya begitu nikmat melihat pemandangan sungai yang menjadi sarana transportasi air di Kalimantan Barat itu. Ditambah lagi dengan berjejernya rumah-rumah penduduk di sepanjang tepian sungai tersebut. Menjadikan saya malas beranjak ke tempat lain.
Sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan sungai itu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara seorang yang mengendarai motor. “Ojek… ojek… ojek… Mas!”. Saya mendadak menengok. “Nggak,” kata saya. Dari belakang tak saya sadari seseorang yang dari tadi berdiri tidak jauh dari saya berdiri, menjambret ponsel saya dari belakang, dan langsung memboncedng motor itu, trus berlari sangat cepat.
Saya tak bisa berteriak, apalagi mengejarnya. Belakangan saya baru mengetahui bahwa di jembatan itu memang rawan penjambretan dan teknik penipuan dengan cara hipnotis.
Motor itu berlari kencang menyelusuri salah satu sayap jembatan yang khusus untuk pejalan kaki. Saya lemas. Sambil menutupi kepala dengan sebuah koran terbitan Pontianak, saya teruskan menyelusuri jembatan, yang sangat panjang itu.
Seandainya, saya tidak ke tempat ini, mungkin tidak akan kehilangan HP. Tapi, sebaliknya, jika tidak ke tempat itu, saya tidak akan bisa menikmati salah satu jembatan panjang di Kalimantan. Jadi, apapun memang mengandung resiko.
Tapi permasalahannya adalah, HP itu adalah HP kesayangan saya.. Beberapa teman, berkali-kali mau membelinyapun tidak pernah aku kasihkan. Niat saya adalah untung kenang-kenangan di kampung. Bahwa inilah ponsel saya yang pertama. Dan ponsel inilah yang berperan sangat penting dalam proses belajar saya di perantauan. Tak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja, tapi lebih dari itu, saya bisa belajar dari situs-situs di internert dengan mudah.
Kecewa? Tentu saja. Saya berkali-kali menyalahkan diri sendiri. Saya kurang waspada. Dan tak terasa tali ponsel itu juga keluar dari saku celana. Jadi sangat memudahkan bagi penjambret untuk mengambilnya.
Sampai di rumah teman saya yang asal Pati, Jawa Tengah, sayapun masih merasa sangat kecewa. Untung saja, saya cepat menemukan obatnya. Obat itu saya temukan dalam novel “Kubah” Krya novelis asal Jatilawang, Purwokerto, yang kebetulan saya baca selama dalam perjalanan dari Brunei menyelusuri hutan-hutan di Serawak dan Kalimantan Barat.
Ahmad Tohari, sang penulis novel itu, melukiskan tentang Karman, seorang narapidana politik yang ketika pulang dari keterasingannya di slaha satu pulau di Maluku, banyak sekali menmui kekecewaan. Dan salah satu kekecewaan itu adalah hilangnya orang-orang yang terkasih. Sang isteri, yang sangat ia cinyai ternyata sudah menikah dengan lelaki lain.
Dalam tausiahnya kepada Karman, seorang ustadz yang membimbing kerohanian di penjara mengatakan, “Dalam menjalai kehidupan ini, kita memang harus mengalami banyak hal yang tidak mengenakan diri kita, seperti kelaparan, penyakit dan hilangnya orang-orang atau segala sesuatu yang kita cintai. Itu semua memang bentuk ujian dari Allah SWT.”
Ya, memang seperti itu. Jadi apa yang terjadi dengan saya itu tidak seberapa. Atau bahkan tak ada apa-apanya di banding orang lain. Maka akan hanya membuang-buang waktu saja, seandainya saya tenggelam dalam kekecewaan.
Apalagi jika mau membandingkan dengan saudara-saudara saya di Yogya dan sekitarnya, saya jadi malu sendiri. Saya baru kehilangan HP, yang masih bisa dibeli di took, sedang mereka sudah diuji dengan hal yang lebih berat. Kehilangan harta benda, orang–orang yang mereka cintai, plus kelaparan, karena sumbangan dari berbagai pihak mengalami keterlamabatan.
Syukurlah, Allah segera menyadarkan saya dengan goresan pena dari sastrawan yang melahirkan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala dan Lintang Kemukus Dini Hari itu.
Purwokerto, Juni 06 <[email protected]>