MCK versus Parabola

Bagi saya yang belum pernah tinggal di luar pulau Jawa, adalah susah membedakan batas antara kota dan desa di sepanjang tanah Aceh. Karena kalau di Jawa, kota selalu penuh dengan rumah-rumah, jalan-jalan yang panjang dan dipadati kendaraan sedangkan desa dikelilingi sawah dan deretan pepohonan dengan rumah-rumah di sela-selanya. Sehingga, ketika pertama kali mengunjungi Aceh, rasanya saya berada di pedesaan selalu. Jalan-jalan panjang berkelok-kelok dengan sederet rumah di kiri kanannya dengan hamparan sawah dan hutan di belakangnya. Banda Acehpun sebagai ibukota propinsi, menurut saya, tak berbeda jauh dengan kota Pasuruan atau Sidoarjo di Jawa Timur.

Satu hal lagi yang baru bagi saya adalah rumah panggung. Maklum, setahu saya tidak ada rumah panggung di Jawa. Waktu pertama kali saya melihat rumah panggung, bangunan tersebut tampak unik. Apalagi kalau dihias dan dicat warna-warni. Rumah-rumah di atas tanahpun banyak, namun ada yang menarik perhatian saya. Yaitu rumah yang dibangun dengan setengah tembok dan setengahnya papan. Termasuk rumah mertua sayapun demikian. Mau tahu tempatnya di mana? Jauuuhhh masuk ke dalam kampung, menerobos kebun coklat dan melinjo. Jalannyapun berkelok-kelok penuh lumpur dan banyak tahi ayam. Kalau senja menjelang dan malam datang, tidak ada penerangan jalan sehingga kalau malam hari kamipun berdiam di rumah. Ibu mertua saya sempat berkelakar kalau rumah tempat tinggalnya jauh di dalam hutan!

Penantian malampun semakin menjadi karena nyamuk-nyamuk sebesar anak laron segera menyerbu. Apalagi kalau di tengah malam tiba-tiba kebelet pipis. Alamak!

Rata-rata penduduk tidak memiliki kamar mandi ataupun kakus. Air biasa diperoleh dari sumur. Itupun tidak setiap rumah memilikinya. Aktivitas MCK(mandi-cuci-kakus) sehari-hari dilakukan di sungai. Jadi kebayang kan kalau tengah malam tiba-tiba perut mules?

Tapi jangan bayangkan Aceh seudik itu. Ada pemandangan kontras yang menarik perhatian saya. Di atas rumah-rumah papan, rumah panggung apalagi rumah tembok selalu ada antena parabola besar! TVnyapun jangan bayangkan hitam putih atau 14 inci. Semuanya  TV flat besar!

Saya geleng-geleng kepala. Duhai, apakah ini gerangan? Di tengah keprihatinan saya acap kali menjumpai deretan orang berjajar membuang najis di sungai (orang BAB jongkok di tepi sungai tanpa penutup) hati saya lebih prihatin lagi dengan masuknya budaya hedon di tengah masyarakat. Aurat yang lebih prioritas ditutup kalah dengan daya tarik dunia hiburan.

Mungkin ini hanya secuplik hal yang saya bisa potret dari Aceh. Nanggroe yang sedang berbenah ini seolah sedang mengidap euphoria berkepanjangan. Ketika ditindas pada masa DOM, orang tak berkutik. Pada masa konflik, protes diwujudkan dengan serangkaian tindakan separatis. Tuntutan-tuntutan tak digubris. Kemudian Allah kirimkan tsunami. Semua menangis. Tapi dibalik itu semua, Aceh mendapat berkah yang sangat luar biasa. Tiba-tiba Aceh menjadi tumpuan perhatian. Bantuan datang dari segala penjuru. Perdamaian pun tumbuh. Negeri inipun menggeliat bangun untuk maju.

Limpahan dana bantuan membuat semua dihargai dengan uang. Harga-harga melambung tinggi. Materialisme kemudian menjadi bagian tak terpisahkan. Semua orang berlomba-lomba mengeruk uang. Menjadi pegawai negeri adalah cita-cita. Kini semua menjadi mudah.

Ada banyak PR besar menanti di Aceh. Secara materi, tuntutan-tuntutan rakyat mungkin terpenuhi. Otonomi khusus juga diberikan pemerintah pusat agar Nanggroe Aceh Darussalam lebih leluasa mewujudkan pembangunan yang dikehendaki rakyat. Namun yang patut diingat, ada harapan besar dari umat Islam di negeri ini. Status otonomi khusus dengan dibenarkannya pelaksanaan syariat Islam di seantero Aceh diharapkan memang betul-betul terlaksana. Jika Islam tegak kokoh, maka hal itu akan semakin menginspirasi provinsi-provinsi lain untuk membumikan syariat Islam. Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negeri yang diridhai Allah. Namun jika ternyata otonomi khusus itu belum mampu membuktikan kesanggupan Aceh sebagai sebuah pemerintahan berkualitas, maka orang kembali mengingat Aceh sebagai cerita masa lalu. Dan bumi Serambi Mekkah hanyalah hikayat dalam dunia sastra semata…

 

Dayah Usen, 21 Des’09-6 Jan’10