Mbah Jaritan, begitu aku waktu kecil memanggilnya. Sosok wanita yang tiada hari menggunakan jarit (sejenis kain batik yang dipakai nenek-nenek di Jawa ). Kenapa Mbah Jaritan? Karena pasangannya adalah Mbah Sarungan. sepasang kakek nenek yang sudah berusia hampir 80 tahun dan tinggal di sebuah desa terpencil di bawah Gunung Slamet Jawa Tengah.
Jika di luar desa itu orang banyak berbicara tentang kesejatian cinta, maka dari pasangan kakek inilah saya banyak belajar. Sederhana saja ungkapan cintanya yaitu "kesetiaan." Sudah hampir 18 tahun Mbah Sarungan mengalami lumpuh di jari-jari tangan dan kaki, sehingga praktis pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan tangan maupun gerak kaki tidak bisa dilakukannya lagi. Praktis Mbah Jaritan mengambil alih tugas tugas rutin yang biasanya dikerjakan laki-laki. Mulai dari mencangkul, menyiangi sawah dari rumput yang menganggu pohon padi, mencari kayu bakar, mencari rumput untuk kambing sampai menggendong gabah untuk diselip di desa sebelah karena tangannya sudah tidak kuat menumbuk gabah di lesung.
Bukan waktu yang sedikit, 18 tahun berjibaku dalam peran ganda. Dia juga harus memasak, membuat gula jawa karena pohon-pohon kelapa di sekitar rumahnya menghasilkan nira sampai membuat tempe sendidri untuk dijual. Kira-kira beginilah jadwal rutin Mbah Jaritan. Pagi, memasak nasi, memanaskan nira hingga mendidih, kemudian pergi ke sawah atau ke kebun tergantung mana yang membutuhkan prioritas untuk dirawat hari itu. Siang sudah siap-siap memasak sayur, merebus kedelei sebagai bahan dasar tempe. Sore sembari menunggu Maghrib tiba biasanya melakukan pekerjaan ringan menyiapakan daun pisang untuk bungkus tempe, atau membuat makanan ringan. sesekali berkeliling desa untuk silaturrahim dengan para kerabat.
Diapun harus mempunyai tenaga untuk mencuci bajunya dan baju kakek, memandikan kakek dan menyiapkan makan kakek. Walau hampir tiap hari marah sama kakek, beliau masih mendudukkan kakek sebagai suami sebagaimana beliau masih sehat. Jika makan kakek dululah yang diutamakan, tak lupa lauk atau sayur tidak boleh diambil yang lain jika sudah disediakan untuk kakek, kecuali jika kakek merelakan.
Ketika kutanya apa yang membuat energinya begitu berlebih untuk melakukan hal yang luar biasa tersebut? Beliau dengan bersahaja menjawab, "Wong wedo iku surgoe nunut nang wong lanag."(Orang perempuan itu surganya ikut ke laki-laki). Mbah putri percaya walaupun kakek tidak menafkahinya tapi kakek adalah ahli ibadah, guru ngaji kampung dan imam sholat di masjid. Sedangkan nenek adalah wanita buta huruf yang tidak bisa baca tulis latin maupun Al-Quran. Maka bagi Mbah Jaritan pengabdiannya berbuah surga.
Sederhana ungkapan cinta mereka. Terkadang kulihat kakek sering menangis mungkin terenyuh dengan kesetiaan Mbah Jaritan sementara ia tak biasa memenuhi kewajibannya. Kesejatian cinta yang tidak membutuhkan kecantikan maupun rupa fisik, hanya janji surgawi yang mempertahankan mereka hingga 18 tahun. Subhanallah…
Di sinilah mestinya para selebritis kita yang hobi bercerai berkaca tentang cinta sesungguhnya…
Pada mereka bukan hanya pernikahan emas tapi jamrud.
Untuk Mbah Jaritan I miss U
Tidak ada Hari Ibu untukmu karena setiap hari adalah Hari Ibu.
Engkaulah ibu sejati itu
Mengenang 14 tahun silam di sebuah desa Mangunarsa Purbalingga Jawa Tengah.