Banyak pujangga, guru, ustadz/ustadza, inspirator, motivator, trainer yang mengatakan bahwa existensi kita di dunia ini tak ubahnya laksana berada dalam kapal/perahu yang super duper besarnya. Dan menjalani kehidupan di dalamnya ibarat berlayar mengarungi lautan samudera yang amat sangat luas. Tentu, kita semua berada di dalamnya. Artinya berat ringannya hidup selama di dunia sama dengan berat ringannya perjalanan berlayar di lautan. Dalam hidup, kadang bertemu dan mendapatkan masalah/problematika yang membuat kita galau, sedih, bingung, susah, dan menderita. Itu berarti perahu/kapal sedang menghadapi dan diterjang ombak yang sedang besar dan tinggi di lautan, angin yang kencang dan cuaca yang buruk. Ini sudah biasa terjadi. Sunnahtullah kata pak Ustadz.
Namun suatu saat, kita juga merasakan hidup yang sik asik, nyaman, tenang, bahagia, santai, dan nikmat sekali. Itu berarti perahu layar kita sedang berada di laut yang ombaknya kecil, anging berhembus sepoi-sepoi, dan cuaca yang cerah memanjakan makhluk hidup. Begitu juga bicara tentang perbekalan yang kita perlukan selama perjalanan. Ketika bekal makanan, minuman, dan lain-lain telah menipis, singgahlah kita di beberapa pelabuhan/daratan untuk restore/mengisi kembali dan mengumpulkan berbagai macam bekal yang diperlukan/telah habis tadi. Bila ditamsilkan/dianalogikan dengan kehidupan kita sesungguhnya, maka bekal-bekal itu ibaratnya kondisi keimanan. Bila iman telah menipis, taqwa makin habis, berarti iman dan taqwa kita memang perlu di-restore lagi atau diisi kembali. Solusinya adalah singgahlah barang sejenak dengan membaca-baca buku tentang iman & taqwa, mampirlah ke tempat-tempat pengajian, dengarkanlah ceramah-ceramah agama, dan kegiatan yang lainnya.
Bisa juga konsultasi ke rumah ustad/ustadza, ke kyai/ulama, ke guru spiritual, dan lain-lain. Bisa juga hanya dengan mendengarkan berbagai ceramah-ceramah agama yang ada di televisi atau radio. Dan yang paling mudah adalah dengan membaca berbagai buku-buku/literature agama, sesuai dengan materi yang kita butuhkan. Ya..karena keimanan/ketaqwaan inilah sebaik-baik bekal untuk menemani tujuan hidup yang telah kita rencanakan dan DIA tetapkan. Ingat pesan Allah Swt, “fatazawwaduu fainna khairo zaadid taqwa” artinya maka berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.
Ternyata untaian kata dan peribahasa para pujangga tersebut benar adanya. Karena ungkapan itu sama dengan pesan Rasulullah Saw. Beliau menggambarkan kehidupan kita dengan hidup di sebuah kapal yang sedang berlayar mengarungi lautan yang luas. Meski hanya diibaratkan dengan berlayar di lautan, akan tetapi pesan yang disampaikan Rasul Saw kepada kita begitu dalam dan tajam. Apa itu?
“Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal, sebagian ada yang di atas dan sebagian ada yang di bawah, orang-orang yang berada di bawah apabila ingin mengambil air mereka mesti melalui orang-orang yang berada di atas, lalu orang-orang yang di bawah itu berkata, “Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan kita maka kita tidak usah mengganggu orang-orang yang ada di atas kita!” Maka jika orang-orang yang di atas itu membiarkan kemauan mereka yang di bawah, akan tenggelamlah semuanya, dan jika mereka menahan tangan orang-orang, yang di bawah, maka akan selamat, dan selamatlah semuanya.” (HR. Bukhari).
Ya sebuah pesan singkat namun hikmahnya sungguh dalam. Bukan semata-mata untaian kata peribahasa tetapi juga sangat aplikatif diterapkan dalam kehidupan. Kita bisa bayangkan bagaimana bila perahu yang kita tumpangi itu bocor. Dan ketika perahu bocor, perlahan-lahan kita akan tenggelam. Rasulullah Saw jelas tidak menginginkan hal itu terjadi kepada umatnya. Lalu, apa maksud pesan itu?
Pertama, ternyata kita lihat dalam kehidupan nyata banyak diantara kita dan orang-orang di sekitar yang berusaha melubangi perahu kehidupan ini. Entah perbuatan itu kita sadari atau tidak, kita sengaja atau tidak. Secara langsung dan tak langsung, perbuatan-perbuatan itu menjadi salah satu penyebab bocornya perahu kehidupan.
Contoh: ada beberapa pejabat (tidak semuanya) ingin dapat harta yang banyak dan tahta yang kuat tak tergantikan, lalu potong kompas/diambillah jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Caranya macam-macam, bisa dengan korupsi atau mark up anggaran atau suap sana-sini. Dalam dunia perpolitikan di negeri ini, terlihat jelas beberapa penguasa (tidak semuanya) yang ingin langgeng kekuasaan dan posisinya, lalu ditempuhlah segala cara. Yang haram jadi halal, yang kawan jadi lawan dan yang lawan jadi kawan. Ah..itu sudah biasa.
Ada juga beberapa sekolah/madrasah (tidak semuanya), yang benar-benar ingin siswa-siswinya lulus 100%, lalu dipilihlah bebagai macam jurus, salah satunya ‘jurus mabuk’, yang tidak mau ‘mabuk’ harus siap-siap dicibir, dikucilkan. Bahkan kasus di Surabaya, sang Penegak Kejujuran akhirnya disuruh pindah sekolah, karena si anak tersebut tidak mau diajari/disuruh ‘mabuk’ selama ujian nasional. Dan parahnya lagi, di kampungnya ia pun diusir dengan tidak hormat. Yang jujur menjadi terlaknat, yang pembohong menjadi terhormat. Ahh..benar-benar kapal ini telah bocor. Ada pula beberapa guru (tidak semuanya juga) hobinya merokok, lalu merokok di area lingkungan pendidikan, seakan-akan berpesan pada anak didiknya, “Ayo..contohlah aku. Bukankah aku harus digugu dan ditiru.”
Dalam dunia hiburan, ada yang ingin popularitas dan gemerlap dunia hiburan, lalu diambillah semua jalan, baik jalan yang gelap maupun jalan yang terang. Jalan yang lurus maupun jalan yang belok-belok. Di datangkanlah artis-artis semacam Katty Perry, Suju, Lady Gaga, Justin Bieber, dan gerombolannya, tak peduli mereka tampil seronok dan porno. Yang penting uang didapat karena ini adalah bisnis. Urusan efek samping terhadap akhlak, moral, edukasi, life style, norma-norma agama/sosial/kemasyarakatan, adat ketimuran, semua urusan nomor 16 alias tidak penting. Dan masih bejibun contoh-contoh yang lainnya. Sadar atau tidak, inilah oknum-oknum yang telah sedikit demi sedikit melubangi perahu, yang hakekatnya perahu kita juga. Ya, dengan mengambil jalan pintas yang salah, melanggar aturan, menabrak hukum yang berlaku berarti sama dengan melubangi perahu. Tidak peduli kegiatan yang diadakan itu bernilai positif atau negatif, yang penting menguntungkan diri sendiri. Tidak peduli nasib orang lain dan masyarakat sekitarnya. Yang penting kebutuhan diri sendiri terpenuhi, tercukupi, urusan/kepentingan orang lain cuek-cuek saja.
Kedua, pelubang perahu yang dimaksud Rasulullah Saw adalah sejenis manusia yang memiliki karakter tidak saja egois, tapi juga manusia yang hobi berbuat maksiat atas aturan Allah dan Rasul-Nya. Bermaksiat berarti menjalankan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Inilah gambaran orang yang melubangi perahu. Misalnya: ketika kita meninggalkan shalat fardlu/puasa ramadhan, maka kita sudah termasuk golongan orang-orang yang melubangi perahu. Ketika kita asyik memperkaya diri, tanpa peduli tetangga kiri-kanan yang lagi kesusahan, maka kita sudah termasuk golongan orang-orang yang melubangi perahu. Mungkin kita berpikir, “Ah..cuma saya saja kok yang gak shalat, yang lain kan masih banyak yang shalat. Dan gak akan menjadi lubang yang besar dalam perahu ini.”
Bila pikiran seperti ini yang muncul dalam benak kita, maka bisa saya pastikan ini salah besar. Karena kalau hanya kita seorang yang punya pikiran seperti itu, memang efeknya tidak akan besar, tapi coba bayangkan bila sebagian besar rakyat di negeri ini berpikiran yang sama. Lubang yang kecil-kecil tadi tentu menjadi lubang-lubang yang semakin banyak dan semakin besar. Pada akhirnya, perahu ini akan tenggelam perlahan-lahan dengan ‘baik’.
Ketiga, harus ada sebagian kecil atau sebagian besar dari penumpang perahu ini, yang berperan sebagai pemberi peringatan atau pemberi teguran kepada siapa saja yang secara sadar atau tidak, menjadi pelubang perahu. Segolongan manusia pemberi peringatan/teguran ini harus selalu waspada dan istiqomah mengawasi dan memberi nasehat agar seluruh penumpang kapal/perahu senantiasa berbuat kebaikan dan berusaha me-minimalisir perbuatan yang bisa merugikan seluruh penumpang kapal. Segolongan manusia pemberi peringatan/teguran ini juga harus peka terhadap persoalan-persoalam yang terjadi di dalam kapal/perahu, agar seluruh penumpang hidup harmonis, bahagia, tentram dan pada akhirnya sampai selamat sampai di tujuan.
Setiap ada yang melakukan pelanggaran, segera diingatkan. Setiap ada yang melakukan kemaksiatan, segera dihukum dan dinasehati. Berat memang, apalagi bila segolongan orang ini jumlahnya minoritas. Misal: ada sebuah kebijakan bahwa pabrik-pabrik rokok harus ditutup dan dilarang ada di negeri ini, karena telah meracuni dan menghancurkan generasi muda harapan bangsa. Menurut anda kebijakan ini akan disetujui atau tidak? Saya yakin mayoritas bilang, “TIDAK.” Berbagai macam alasan bisa dipakai untuk memperkuatnya. Padahal kemudharatan merokok telah sangat jelas baik secara dalil maupun penelitian medis/ilmiah. Contoh yang lain: menurut Allah Swt dan Rasul-Nya, pencuri yang telah memenuhi aturan Allah dan Rasul-Nya harus dipotong tangannya. Nah, koruptor itu sama dengan pencuri. Kira-kira bila ada kebijakan koruptor harus di hukum potong tangan di negeri ini, disetujui atau tidak. Saya yakin jawabannya idem jawaban di atas. Alasan yang dipakai pun bisa bermacam-macam, termasuk dalil HAM bisa menjadi senjata utama untuk menolaknya.
Makanya tak heran bila di negeri gemah ripah loh jinawi-toto tentrem kertoraharjo ini, bencana terjadi silih berganti. Artinya perahu ini sudah banyak berlubang, perahu ini telah dilubangi oleh para penumpang-penumpang yang hanya memikirkan perut mereka sendiri. Perahu ini telah retak kata Franky Sahilatua. Artinya siap-siap tenggelam. Kenapa? Karena pesan Rasulullah Saw tidak diindahkan. Segolongan umat yang senantiasa memberi peringatan/teguran tidak pernah digubris. Bahkan mereka ini dianggap tidak demokratis/fundamentalis dan lebih menyakitkan lagi mereka ini sering diperlakukan bak teroris. Perintah negara-negara Barat justru dijadikan pedoman, sedangkan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya malah diacuhkan. Yang mayoritas adalah orang-orang yang hobinya melubangi perahu, dan yang minoritas adalah yang menyeru, mengingatkan dan menasehati kepada jalan kebaikan. Saya dan Anda termasuk yang mana?