Dari masjid kudengar adzan Dari masjid kudengar qur’an Dari masjid kudengar puji Bagi Allah ilahi robbi
Masjid masjid aku datang Damai tentram di kalbu Didalammu kurasakan Belai kasih ilahi
Dua bait lagu vokal anak-anak “Alif” itu tiba-tiba muncul dari alam bawah sadarku. Sering muncul tatkala aku menginjakkan kaki, mengayun langkah menelusuri lorong menuju masjid.
Ada beberapa pembenaran kenapa lirik lagu itu melekat dalam memori benakku. Pertama, aku pernah menjadi guru TPA dan menyukai lirik lagu anak-anak untuk aku ajarkan kepada santriwan-santriwati. Kedua, lirik lagu tersebut diciptakan oleh orang yang sangat aku kenal dan bertetangga denganku. Dia adalah ibu Dedeh Asfirayhani. Ketiga, lirik tersebut mengingatkanku tentang urgensi masjid sebagai basis pembentukan pribadi dan ummat. Aku teringat pada shirah Nabi SAW, tatkala beliau sampai di Madinah dalam perjalanan hijrahnya, yang beliau perhatikan dan bangun pertama kali adalah masjid. Empat, aku teringat dengan salah satu rahasia para mujahidin Palestina yang gagah berani, yakni tiada pernah absen menghadiri sholat Subuh berjamaah. Dan masih banyak lintasan-lintasan tentang rahasia masjid yang makin membuatku antusias untuk selalu mendatanginya. Saat-saat adzan adalah saat-saat yang dirindui. Wajarlah jika Software Athan dan prayer time menjadi software yang wajib dibenamkan dalam notebook atau handphoneku.
***
Saat kuliah di semester 5, aku mulai membina TPA di dekat kampus. Saya banyak belajar dari tingkah polah anak-anak yang masih polos dan suci itu. Hati mereka lembut, maka aku juga harus mendekati dengan bahasa yang lembut. Dalam mengutarakan sesuatu juga harus tegas dan semangat, agar mereka menangkap pesan yang kusampaikan. Contohnya waktu menguraikan keutamaan sholat berjamaah di masjid, aku menyitir kisah sahabat Rasulullah yakni Ummi Maktum yang tidak diberi keringanan untuk tidak mendatangi masjid walaupun kondisinya lemah dan tertatih-tatih. Bukan Rasulullah tidak kasihan terhadap seorang tua yang buta, tetapi karena Allah memerintahkan demikian, karena di balik itu terdapat keutamaan yang sangat besar. Bahkan Rasul bersabda seandainya ummatku tahu tentang pahala sholat ‘Isya berjamaah, tentu ia akan berusaha memenuhi seruan-Nya walau seandainya harus dengan jalan merangkak. Suatu gambaran, jika orang mengetahui keutamaan menghadiri masjid, dia akan berusaha menghadiri sekuat daya.
Apa yang kuajarkan kepada anak-anak itu, sangat pas dengan lirik lagu yang dicipta Ibu Dedeh tetanggaku. Ibu Dedeh berasal dari keluarga yang memiliki darah seni. Daya appresiasi seninya cukup tinggi dan itu menurun kepada putra-putrinya. Salah satu yang kukagumi dari Ibu Dedeh. Beliau adalah seorang ibu. Sebagai seorang ibu tentu sholat berjamaah di masjid tidak diwajibkan sebagaimana kaum laki-laki. Namun beliau mampu menyelami hati-hati yang terikat dengan masjid, yaitu rasa tentram dan rasa dibelai oleh Rabb, Ar-Rahman Ar-Rahim. Kata-kata “belai” memang tidak salah, karena Allah Maha Penyayang, Dia sayang kepadahambanya melebihi sayangnya seorang ibu kepada anak-anaknya.
Tautan hati kepada tokoh Bu Dedeh dan Liriknya, semakin kuat ketika saya bertemu suami beliau, Hasan Ali, yang juga pencinta masjid. Beliau yang kini sudah pensiun dari kantornya, makin menyibukkan diri dalam upaya pemakmuran masjid di kompleks kami. Saya masih ingat betapa ghirahnya beliau saat mengikuti daurah memakmurkan masjid yang diselenggarakan LPPDI Khairu Ummah Jakarta. Beliau tambah termotivasi ketika penceramah menguraikan keutamaan-keutamaan mendatangi dan memakmurkan masjid, antara lain: Barang siapa yang bersuci di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah dan menunaikan salah satu sholat yang di fardhukan Allah, maka salah satu dari kedua langkahnya menggugurkan dosanya dan langkah lain meninggikan derajat. Barang siapa yang berpagi hari dan berpetang hari menuju ke masjid, maka Allah akan menyediakan baginya sebuah tempat tinggal di dalam surga. Barang siapa yang mengerjakan sholat bardain (‘Isya dan Subuh berjama’ah) niscaya masuk surga. Orang-orang yang melewatkan sholat Ashar, sama nasibnya dengan orang yang ditinggalkan keluarga dan harta bendanya.
Bapak Hasan Ali pernah mengatakan bahwa dirinya sudah menjelang senja. Umur yang tersisa ingin beliau abdikan untuk selalu mendatangi masjid, mencari ketentraman di dalamnya, menghidupkan suasananya, dan mengalunkan bait-bait doa agar diberikan khusnul khotimah.
***
Kadang kita menyaksikan banyak yang memilih mengakhirkan sholat dari waktu yang semestinya dengan tidak berjamaah di masjid. Mereka lebih suka sholat di bilik kantor atau di pojok-pojok ruangan sendiri-sendiri. Adanya satu masjid besar kemudian beberapa pojok-pojok musholla yang bertebaran sekitarnya, seakan menggambarkan keengganan untuk bersatu dalam satu jamaah dan menyukai kesendirian dan keterpisahan. Demikian juga kita menyaksikan orang-orang yang menghadiri masjid pada akhir waktunya, mereka lebih suka sholat sendiri-sendiri dibanding membentuk satu jama’ah. Yang lebih miris lagi, sudah ada satu jamaah yang melaksanakan sholat, mereka membentuk jamaah baru. Padahal hal ini sangat tidak dibenarkan.
Itulah kondisi ummat kita. Sangat tercermin dalam sikap-sikapnya terhadap masjid. Apakah mereka tidak paham? Bisa jadi. Tetapi kini adalah era informasi di mana orang bisa mendapatkan informasi dengan mudah. Mereka punya persepsi salah tentang masjid? Bisa jadi. Karena ini tidak lepas dari strategi musuh untuk mengendorkan ummat dari ikatan-ikatannya.
Ulama berkata bahwa suatu dakwah yang menyeru manusia kepada Allah, jika ingin istiqomah, diharuskan mendekat ke pintu istiqomah itu sendiri, sedangkan jalan masuk kepadanya ialah melalui mihrab (masjid). Sesungguhnya semua kebaikan itu hanya dapat diraih dari kebiasaan mendatangi masjid.
Semoga kita diberi keistiqomahan mendatangi masjid. Amin.
Wallahua’lam.