Telah berkali aku bercerita tentang perempuan yang kupanggil Ibu itu. Namun rasanya aku tidak akan pernah bosan membagi kisah tentangnya lagi. Setiap interaksiku dengannya selalu membuatku makin menghurmati dan mencintainya, lebih dari sebelumnya.
Ibu adalah seorang perempuan desa perkasa, yang terbiasa dengan pekerjaan kasar dalam kehidupan kesehariannya. Pekerjaan kasar dalam rumah tangga, pekerjaan kasar dalam membantu mencari penghasilan tambahan keluarga dan pekerjaan kasar dalam kehidupan sosial. Semua pekerjaan itu, membutuhkan kekuatan fisik (dan mental) yang luar biasa. Apalagi, dalam sehari ia kadang harus melakukan ketiganya sekaligus. Ia harus memasak dan berbenah rumah (yang tentu saja semua manual tanpa bantuan peralatan canggih modern), kemudian pergi ke sawah (ketika muda buruh ke pabrik atau membuat batu bata) dan setelahnya ia sering masih harus membantu di tempat orang yang punya hajat (dan di kampung kami, hampir tiap hari ada orang hajatan yang mempercayakan urusan dapur untuk para tamu pada ibuku). Diluar semua pekerjaan kasar itu, Ibuku juga memiliki aktifitas keagamaan dan organisasi pula seperti di kelompok ibu2 yasinan, ibu2 aisyiah dan perkumpulan Lansia (lanjut usia).
Dan atas semua pekerjaan kasar yang telah dijalaninya bertahun-tahun itu, Ibuku tidak pernah mengeluh. Ia menjalaninya dengan sepenuh hati dan lapang dada. Bahkan di tahun-tahun terakhir, saat tubuhnya mulai dimakan usia, saat osteoporosis dan asam urat mulai menemani hari-harinya, Ia masih tetap bekerja disawah (yang hasilnya kadang tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan) dan membatu tetangga yang punya hajat atau tertimpa musibah (yang tentu saja tanpa bayaran). Aku harus selalu mengingatkannya untuk mulai lebih banyak istirahat.
Maka, ketika kemudian aku menjalani pekerjaan part time kasar pula dalam masa tugas belajarku di negeri kangguru ini, aku makin menghurmatinya dan mencintainya. Karena aku sekarang bisa merasakan dengan sesungguhnya, seberat apa pekerjaan sehari-hari yang dijalani Ibuku. Bahkan tentu saja “pekerjaan beratku” tetap saja lebih ringan, karena aku bekerja hanya dalam hitungan jam per hari (dan kadang per minggu) sementara Ibuku dalam sehari bekerja berat sejak baru bangun hingga waktunya tidur. Pekerjaanku juga terhitung lebih ringan karena beratnya pekerjaan terkompensasi oleh gaji yang tinggi, sedang pekerjaan ibu berpenghasilan rendah, bahkan lebih banyak yang tak berbayar.
Dan cinta serta hormat itu makin menjula, ketika kudengar respon ibuku saat aku bercerita padanya tentang pekerjaan-pekerjaan sampinganku.
“Oalah Nduk, lha kok ngrekoso men gaweanmu,” itu komentarnya sambil menangis saat dulu aku bercerita mulai bekerja sebagai PRT cabutan ( bahasa kerennya disini domestic cleaner) di rumah seorang bule. Ketika kubilang pekerjaannya sama dengan pekerjaan rumah sehari2 yang selama ini kujalani ketika di Indonesia (ketika masih bersamanya maupun saat aku sudah berumah tangga dan selama itu pula belum pernah pake pembantu), ia tetap berkeras bahwa itu pekerjaan kasar dan akan membuatku kecapekan. Ketika aku berargumen bahwa apa yang kukerjakan tidak lebih keras dari pekerjaan ibu sehari-hari, dia bilang ia sudah terbiasa dengan pekerjaan keras, sementara aku tidak selain pekerjaan rumah tangga.
“Nduk, mbok wis leren. Mengko malah loro kabeh awakmu,” itu komentarnya -tetap sambil menangis, bahkan setelah setahun kemudian- ketika beberapa waktu lalu aku bercerita lenganku sering kemeng berhari-hari karena kecapekan cuci piring. Ya, pekerjaan terakhirku saat ini adalah sebagai tukang cuci piring di sebuah perusahaan catering.
“Mboten nopo-nopo Bu, dangu-dangu insyaAllah terbiasa,” jawabku. Ibu tetap ngotot bahwa “Yen kesel wis ora usah nyambut gawe. Sing penting sinaumu! Aja nganti kecer.” Ketika kubilang kali ini aku harus tetap bekerja untuk membayar day care anakku dan membantu suami menabung karena kami sebentar lagi pulang dan banyak biaya menjelang pulang yang harus kami keluarkan (sementara kami bertiga hidup dengan single allowance dari sponsor beasiswaku), Ibu bilang, ” Wis ora usah ngoyo. Insya Allah rejeki wis diatur karo sing kuwoso.”
Duhai Ibu, kau tidak pernah mengeluh atas beban berat yang kau jalani sepanjang hidupmu, bahkan lebih dari itu, kau tidak rela anakmu menanggung beban yang sama beratnya, kau ingin menanggungkan pula, kau menangis untuknya.
Maka, hanya pintaku pada Sang Kuasa, agar mengganti semua kehidupan prihatinmu dengan kebahagiaan surga. Pinta yang sama, untuk seluruh perempuan perkasa sepertimu, di Indonesia dan seluruh belahan dunia.
tepian brisbane river,
4/4/09, 2.56pm