"Mas Say, … "
Ini bukan tentang "Mas Say… " panggilan salah seorang office boy sebuah sinetron yang ditayangkan salah satu tv swasta nasional. Tokoh yang diperankan dalam sinetron tersebut berkarakter pemalu, tidak banyak bicara, sopan dan sedikit gampang digertak.
Tetapi "Mas Say" yang ingin saya ceritakan adalah saudara kami di kantor yang mempunya tugas kurang lebih mirip dengan tokoh di sinetron tersebut. Kami memanggilnya "Mas Say" bukan karena profesinya dan kemudian dikaitkan dengan nama tokoh di sinetron tersebut, melainkan ia bernama Saidi. Dan karena ia berasal dari Majenang, Jawa Tengah, maka ada embel-embel "mas" di depan namanya. Maka jadilah semua orang di kantor memanggilnya "Mas Say"
Entah kebetulan atau tidak, Mas Say di kantor kami ini juga punya karakter yang hampir sama dengan tokoh di sinetron itu. Paling tidak, sama-sama pendiam, tidak banyak bicara, sopan santun, bedanya ya ia lebih lugas dalam berbicara.
Perbedaan lainnya yang cukup mencolok yakni pada apa yang dikerjakannya sehari-hari. Ia tidak hanya bertugas menyiapkan minum untuk seluruh karyawan, membuatkan kopi atau teh manis, membersihkan kantor dan lain sebagainya. Mas Say juga punya ‘tugas’ rutin lainnya, yakni menjadi mu’adzin di musholla kami di lantai 4.
Memang tidak pernah ada yang mendaulat dirinya menjadi muadzin. Hanya saja, di hari-hari pertamanya bekerja, saat tiba waktu dzuhur kami ‘dikagetkan’ oleh suara adzan yang sangat indah. Beberapa dari kami pun bertanya seru, "Siapa yang adzan?"
Sejurus kemudian, para karyawan pun bergegas memenuhi panggilan adzan dzuhur, tidak sedikit yang menaruh penasaran untuk tahu siapa gerangan yang melantunkan suara adzan tadi. Ternyata, suara indah itu berasal dari seorang Saidi.
Tidak cukup sampai di adzan, lantaran kami sering bekerja hingga larut malam. Otomatis kami sering shalat berjamaah maghrib dan isya di kantor. Selain adzan, Mas Say pun sering kami daulat untuk memimpin shalat berjamaah. Subhanallah, bacaaan ayat-ayatnya sangat indah, suaranya khas dan membuat kami betah berlama-lama berjamaah.
Siapa Mas Say?
Saya tertarik dengan sosok saudara saya yang satu ini. Kemudian saya banyak menyempatkan diri untuk berbincang dengannya. Akhirnya saya banyak tahu, ia lulusan salah satu pesantren di Jawa Tengah. Ia datang ke Jakarta mengikuti kakaknya untuk bekerja. Belum lama bekerja bersama kakaknya di sebuah rental komputer, ia pun akhirnya singgah dan bekerja di kantor kami.
Usianya sekitar 25 tahun, lelaki santun yang rajin membaca al-Quran ini ternyata cukup bisa berbahasa Arab. "Alhamdulillah, sedikit-sedikit bisa… " ujarnya merendah.
Ada yang membuat Mas Say selalu complaint terhadap saya, yakni lantaran saya tidak pernah memintanya membuatkan kopi atau teh manis. Padahal hampir setiap hari saya membuat teh manis. Setiap kali ia memergoki saya tengah membuat teh manis, ia selalu saja kecewa dan berujar, "Kenapa bapak tidak pernah minta tolong saya?"
Jawaban saya cukup singkat, "Kalau masih bisa saya kerjakan sendiri, kenapa harus orang lain?" Begitulah, dan sore ini saya kembali dipergokinya tengah membuat teh manis di pantry. Lagi-lagi jawaban saya tidak berbeda, "Terima kasih mas, tapi saya masih bisa membuatnya sendiri"
Kemudian, saya dibuat terperangah dengan jawabannya atas kalimat saya barusan. "Pak, bagi saya, pekerjaan saya adalah kehormatan saya. Bikin teh atau lainnya itu tugas saya, jadi menjadi sebuah kehormatan bila saya bisa mengerjakannya… "
Ah, kalimat yang indah terdengar dari seorang Mas Say.
Ada lagi yang membuat saya terkagum. Saya yakin sekali ia tidak pernah sekolah atau kursus komunikasi. Sebagai Communication GM di kantor, saya cukup kagum dengan caranya berkomunikasi. Setidaknya ada satu hal yang selalu dipraktekkannya dalam berkomunikasi kepada siapa pun, yakni ia senantiasa menggunakan 3 Magic Word; Maaf, Mohon dan Terima Kasih (Sorry/excuse, Please, and Thanks).
Sungguh, saya harus belajar banyak hal kepadanya. Entah pelajaran apa lagi yang akan saya dapatkan dengan lebih banyak bergaul bersamanya. Semoga…