Di meja kerja saya tergeletak beberapa buku keislaman. Sedikit berantakan, karena memang baru saya baca. Saya memang mempunyai kebiasaan membaca beberapa buku sekaligus. Maksudnya bukan membacanya secara berbarengan, tapi membaca satu bab suatu buku, kemudian membaca bab lain dari buku lain. Biasanya hal itu saya lakukan untuk buku-buku yang sudah pernah saya baca, dan saya ulangi membacanya. Saya lakukan itu untuk menasihati diri sendiri, melunakkan hati yang mengeras, atau sebagai referensi terhadap suatu hal yang tengah menarik minat saya.
Sambil lalu amati nama-nama pengarang buku-buku tersebut. Ada Said Hawwa dengan bukunya Mensucikan Jiwa, yang merupakan syarah dan intisari karya besar Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin. Ada pula Sayyid Sabiq dengan karya fenomenalnya Fiqh Sunnah. Agak tertumpuk, terdapat buku karya Abdul Qadir Jailani, Menjadi Kekasih Allah, yang berdampingan dengan Pencerah Kalbu karya Syekh Ibn Athaillah. Di sebelahnya ada karya Ibnul Qoyyim berjudul Noktah-noktah Dosa.
Tiba-tiba saya tersadar, semua pengarang buku tersebut adalah orang-orang yang sudah mendahului kita menghadap Allah. Said Hawwa wafat tahun 1989. Sayyid Sabiq wafat tahun 2000.
Selain kedua nama tersebut, nama-nama lainnya adalah para ulama yang bahkan berasal dari ratusan tahun silam. Hujjatul Islam al Ghazali lahir tahun 450H, Abdul Qadir Jailani tahun 470H, Ibnul Qoyyim tahun 691H. Sedangkan Ibn Athaillah lahir tahun 648H, semasa dengan ulama besar lainnya, Ibnu Taimiyyah, yang merupakan guru Ibnul Qoyyim.
Mereka semua sudah sangat lama meninggalkan dunia ini. Namun mereka seolah tetap hadir, mengawal manusia, membimbing mereka, agar tetap menjadi hamba Allah yang baik. Nasihat-nasihat mereka masih diulang-ulang oleh ribuan orang, menjadi penyejuk hati yang gundah, menjadi pengetuk hati yang mengeras, dan menuntun langkah-langkah manusia yang kebingungan.
Para da’i, ustadz, alim ulama, masih menjadikan pendapat-pendapat mereka sebagai rujukan. Para khatib masih menjadi kalimat-kalimat bernas mereka sebagai kutipan dalam berbagai khutbah. Para cerdik cendekia mengutip pendapat mereka, membandingkan satu sama lain, kemudian menimbangnya pada konteks kekinian, sebelum memutuskan suatu perkara, agar umat ini senantiasa memperoleh petunjuk.
Sungguh, mereka seolah masih hadir hingga saat ini. Melintasi pergantian zaman, menyebrangi benua dan samudera, menembus batasan-batasan geografis. Rezim dan penguasa boleh jadi jatuh bangun silih berganti. Namun tinta para ulama senantiasa mengalir melewati abad demi abad. Pikiran-pikiran mereka tetap hadir menerangi.
Aku pun dirundung perasaan haru, kagum, dan sekaligus merasa kecil tak berarti. Meski hanya buku-buku mereka yang terhampar, namun mereka seolah seorang ayah yang senantiasa tak jemu menemani dan menasihati.
Sungguh suatu usia penuh yang berkah. Jatah usia mereka boleh jadi hanya singkat. Imam Ghazali sendiri hanya berusia 55 tahun ketika wafat. Namun karyanya jauh melampaui usianya. Bagaimana seorang manusia bisa memiliki usia yang begitu penuh berkah? Ya Allah, izinkanlah aku untuk merasa iri, sebagaimana Rasul-Mu tercinta pernah bersabda, ”Tidak boleh hasud (iri) kepada orang lain kecuali kepada orang yang diberi kekayaan oleh Allah, kemudian ia menggunakannya untuk membela kebenaran dan kepada orang yang diberi ilmu tatkala ilmunya diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.”
Mungkin mereka adalah orang-orang yang disinyalir dalam AlQuran, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (Al Mu’minuun: 3). Tentu saja ciri ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dengan ciri-ciri lainnya. Namun ciri yang satu ini teramat menarik, karena berbicara tentang efektifitas suatu nilai usia. Seolah dengan ayat ini Allah hendak mengatakan bahwa orang beriman baru akan menang manakala usianya sepenuhnya efektif untuk hal-hal yang berguna. Pada tataran tertentu, bahkan nilai guna suatu usia akan melampaui usia itu sendiri.
Para ulama yang telah menghabiskan waktu dan tenaga mereka dalam olah pikir dan zikir, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan-tulisan yang bermutu, pada suatu masa di mana alat-alat tulis tidaklah semudah sekarang, ternyata mampu membuat karya yang mendunia, dan memiliki ’nilai kegunaan’ berkali-kali lipat melampaui usia mereka.
Allah sungguh telah menunjuki hati dan langkah mereka, sehingga mampu memanfaatkan waktu sedemikian efektif. Allah juga menyelamatkan mereka, karena terhindar dari berbagai perbuatan yang sia-sia. Jangankan perbuatan maksiat dan haram, perbuatan yang tiada bernilai guna pun mereka tinggalkan.
“Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Sungguh jauh, teramat jauh, dengan diri ini yang masih sering kali lalai. Dunia yang semakin modern ternyata malah menggiring manusia-manusianya untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa guna. Tanpa guna bagi diri, tanpa guna bagi orang lain. Fasilitas, teknologi, apalagi teknologi informasi, hanya bermuara bagi pemuasan kesenangan-kesenangan pribadi. Alih-alih bermanfaat, malahan sering kali mengalihkan dari kewajiban-kewajiban waktu. Lebih parah dari itu, malah menjerumuskan sebagian kita ke jurang maksiat, berkubang di dalamnya, menikmatinya, tanpa khawatir lagi bahwa permintaan laporan pertanggungjawaban dari Allah sudah menanti.
Ya Allah … bimbinglah kami …
Laa ilaaha illa anta
Subhaanaka
Inti kuntu minadz dzaalimiin
sabruljamil.multiply.com