Malam bagi sebagian orang yang merasakannya, ada nuansa tersendiri untuk jiwa. Dalam waktu dua belas jam itu segala aktivitas yang biasa terjadi siang hari terhenti. Dan ketika kegelapan menutupi jagat maha luas berdiameter 4,9 exp 9 pc ini, saat itulah keluar binatang malam pertanda dimulai kehidupan lain. Kehidupan malam. Saat terindah bagi sang zahid menghitung-hitung, dan menimbang-nimbang potongan-potongan kehidupannya.
Pukul 15.30 menit waktu Kairo ketika ia dihubungi via SMS. Usai shalat Ashar di perempatan mesjid Rab’ah El Adawea. Fisiknya masih lelah, ia baru saja pulang kuliah. Tapi, percikan air wudhu tadi cukup memberinya kesegaran baru, dan shalat Ashar yang baru ditunaikannya menambah energi jiwanya. Sendi-sendinya kembali segar untuk melakukan aktivitas baru.
“Nanti malam usai shalat Isya, kita bertemu untuk qiyamul lail” begitu bunyi SMS itu.
Ia menghela nafas panjang. Sesaat memutar otaknya ke janji pertemuan yang lain. Ia teringat, tadi di kuliah ia bertemu kawannya satu grup sepak bola. Olah raga rutinnya setiap minggu. Kawannya itu mengajak bertanding di stadion Syabab, Abbasea. Dekat asrama internasional Al-Azhar. Sebuah stadion yang biasa disewakan kepada pelajar asing. Tawaran itu begitu menggiurkannya, karena akan bertanding di malam hari. Usai shalat Isya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya, bermain di bawah lampu tembak dengan ribuan watt. Selama ini hanya melihatnya di layar televisi, ketika ada pertandingan yang benar-benar bagus. Dan besok libur akhir pekan.
Pikiran jernihnya lebih memilih untuk ikut acara perkumpulan itu. Acara yang sederhana, tapi dari sana ia menemukan kenikmatan seperti malam-malam yang lalu. “Main bola bisa lain waktu, yang ini lebih penting,” gumamnya pelan menjawab protes hawa nafsunya untuk datang ke stadion.
Dalam ruang berukuran cukup luas itu berkumpul beberapa anak muda. Dari berbagai aktivitas dan hobi. Mereka duduk bersama, wajah-wajah mereka terlihat cerah. Seakan beban-beban siang yang menghimpit hilang begitu saja. Mereka akan menjumpai menit-menit yang mahal itu.
Seseorang diantara mereka berkata halus, sepertinya yang mengetuai anak-anak muda itu. Ia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Rasyid seorang da’i pergerakan dari Irak : “Sujud dalam mihrab, beristigfar ketika menjelang subuh, dan air mata saat munajat merupakan ketinggian yang harus dikumpulkan orang-orang yang beriman. Jika ada kecenderungan dengan gemerlap surga dunia berupa uang, wanita, atau sebuah istana yang megah. Ketahuilah, sungguh surga seorang mukmin itu berada di mihrabnya”
***
Suatu waktu ia membaca kisah pemimpin besar yang dicatat sejarah. Biografi Al Faruq Umar Bin Khattab. Otaknya bertanya-tanya apa yang dilakukan lelaki tegas itu di waktu malam, disimaknya beberapa riwayat Umar dalam qiyamul lail.
Seorang imam ahli tafsir Al Hafidz Ibnu Katsir berkisah tentang malamnya Umar: “Ia sholat Isya berjamaah, lalu masuk ke rumahnya dan melanjutkan shalat sampai waktu fajar tiba.”
Ia terdiam. Kagum, haru, dan dalam diam ia bertanya, sanggupkah aku menirunya? Umar sebagai kepala negara, suami, murabbi, dan ayah untuk anak-anaknya, masih menyempatkan diri untuk shalat malam. Ia yakin kesibukan dirinya bukan apa-apa dibanding kesibukan khalifah kedua itu. Ia belum puas, ia simak lagi riwayat lain.
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu’awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat dirinya jarang tidur: “Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur dengan dua keadaan ini?” inilah jawaban sederhana dari sosok pemimpin besar, yang setan pun takut berjumpa dengannya.
Pemuda ini pemimpin sebuah persatuan pelajar asing. Ia juga seorang yang mandiri dalam ekonomi. Masih muda, baru dua puluh dua tahun. Dengan antrian aktivitas yang panjang. Tapi ia selalu merasa bukan apa-apa. Bukan pujian dari orang-orang yang ingin ia terima karena sukses sebagai aktivis, atau sorak sorai penonton sepak bola saat ia mencetak gol. Bukan, bukan itu kemuliaan. Dulu memang ia sangat menikmati ‘fasilitas dunia’ itu, tapi ia merasa berjalan sendiri. Hampa seperti kapas yang ditiup angin. Ia merasa lemah untuk memimpin diri sendiri. Cukuplah ia merasa bahagia jika di malam yang gelap gulita ia terbangun, lalu mendirikan shalat untuk mengadukan segala kepenatan hidup.
“Anda di sini juga?” tanyanya setengah percaya. Kawan yang disapanya itu adalah yang tadi mengundangnya bertanding sepak bola.
“Iya. Ini lebih penting.” Sambil memutarkan pandangannya mengenali seluruh yang ada dalam ruangan itu. Ia merasa kecil sendiri. Malu. Pemuda-pemuda yang ada bersamanya sekarang adalah orang-orang yang kesibukannya lebih banyak darinya. Tapi mereka masih menyempatkan untuk datang.
Seribu empat ratus tahun lalu Rasulullah SAW bersabda, “Kenikmatan seorang hamba Allah adalah ketika ia shalat di waktu malam.” Dan katanya lagi, “Shalat yang terbaik adalah shalat Daud AS, tidur sampai pertengahan malam dan bangun di sepertiganya.”
Setiap muslim mengenal Nabi Daud AS, pemimpin kerajaan terbesar Bani Israel sepanjang sejarah. Kelak ia pun mendapat keturunan pemimpin besar yang rakyatnya bukan saja manusia, namun dari bangsa Jin dan binatang-binatang patuh kepadanya. Seorang Nabi juga, Sulaiman AS.
Lamat-lamat dalam keheningan malam di temani bau debu gurun dan samar cahaya rembulan, terdengar seseorang melantunkan Ayat Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan-nya. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz Dzariyat 15-18)