"Siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa" (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia."
Tulisan di atas tanpa sengaja saya temukan dalam salah satu artikel media elektronik. Saya yang akhir-akhir ini memang tengah dilanda kecewa, merasa sedikit terhibur dengan membaca kalimat tersebut. Ternyata rasa kecewa pun adalah bagian dari sifat manusia, yang merupakan selingan antara rasa gembira dan rasa senang yang telah Allah karuniakan.
***
Beberapa hari yang lalu, saya sedang merasa tidak betah dengan kondisi tempat kerja. Tepatnya, di sana saya sedang merasakan kekecewaan terhadap penolakan-penolakan atas ide pribadi yang secara emosional mempengaruh semangat kerja. Jangankan untuk masuk kerja, melihat bangunannya saja rasanya saya ingin berlari jauh untuk menghindar.
Saya sempat berbeda pendapat dengan seseorang yang ditunjuk sebagai team leader dan beberapa rekan kerja, tentang suatu cara bagaimana memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Saya yang merasa memilki dalil pemecahan masalah yang jitu, dengan penuh percaya diri mengungkapkan ide-ide yang ada. Ternyata tak disangka, ide-ide tersebut dianggap kurang cocok atau tepatnya ditolak oleh team leader tersebut – yang tentu saja mendapat dukungan dari rekan lainya.
Dari situ saya merasa kecewa berat. Saya menjadi tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, malas bekerja dan mulai berpikir negatif. "Buat apa mengeluarkan ide kalau toh pada akhirnya pasti pendapat tersebut akan ditolak." Tentu saja hal ini membuat suasana antara saya dan teman-teman kerja menjadi dingin serta kaku dengan adanya jarak yang saya berikan.
Di waktu yang bersamaan, tiba-tiba saya mendapat surat dari salah seorang sahabat yang berisi curhat tentang rasa kecewa. Di akhir tulisan, ia meminta saya untuk membantunya mencari jalan mengatasi rasa kecewa. Saya yang tadinya hanya bisa tersenyum-senyum membaca surat tersebut, tiba-tiba harus putar otak untuk membalas surat tersebut yang nantinya `wajib` membahas tentang kecewa dan penanggulangannya.
Setelah merenung beberapa lama, akhirnya saya berkesimpulan seperti ini: Kecewa adalah salah satu bentuk dari emosi jiwa manusia. Sesuatu yang muncul dirasakan jika harapan tidak berjalan sesuai kenyataan. Adanya over self confident tanpa dibentengi kata `siap gagal` merupakan salah satu penyebab kekecewaan hadir.
Sebetulnya perasaan kecewa tidak selamanya pertanda negatif. Ia akan mendatangkan hikmah jika dikelola dengan baik. Salah satunya adalah meningkatkan kepekaan kita akan kematangan emosi. Ambilah sikap bahwa kecewa adalah awal dari sesuatu bukan akhir dari segalanya. Awal untuk lebih mengenal diri sendiri dan memahami ekspetasi-ekspetasi orang lain. Ternyata sikap inilah yang selama ini tidak konsisten saya jalankan yaitu berusaha memahami ekspetasi atau harapan orang lain. Saya cenderung berpikir tentang `keinginan saya` yang tentunya bukan merupakan komitmen bersama.
Saya mendapat kesimpulan bahwa bersiap diri untuk menjadi senang dan sekaligus siap gagal merupakan salah satu cara mengatasi kekecewaan yang akan terjadi. Dengan siap gagal, saat kecewa karena mendapat penolakan ataupun harapan yang tidak terkabul, akan muncul keikhlasan disertai hati yang lapang. Saat mendapatkan kegembiraan tidak disalurkan dengan sikap meledak-ledak. Selain itu, membuat catatan tentang beberapa kesuksesan dan kebahagiaan yang telah diraih, merupakan salah satu cara mengurangi kekecewaan yang sedang dialami.
Bersyukur saat kecewa merupakan sikap mengakui bahwa kita adalah manusia seutuhnya yang tidak terlepas dari qadha Allah swt. Di atas semuanya, yang tidak boleh kita lupakan adalah man propose, Allah dispose.
Sepenggal catatan, aishliz et yahoo.com.sg
– FLP Jepang –