'Dipaksa' Berinfak

Pagi itu aku sedikit cemas menunggu suamiku datang menjemputku. Setiap kulirik handphoneku, aku pun semakin cemas dibuatnya. Pagi ini aku mendapat tugas mengawas di sekolah lain yang sedang Ujian Sekolah. Otomatis aku pun harus berangkat lebih awal dari jadwal yang telah dibuat. Tiba-tiba handphoneku berdering, ”Waalaikumsalam, ada di mana?” tanyaku cepat.

“Maaf sayang, kunci motornya hilang. Masih dicari nih, sabar ya.” Jawab suara di seberang sana dengan nada mengiba.

“Astaghfirulloh, kirain ada apa-apa, ya sudah nggak apa-apa ditunggu.” Lanjutku lagi.

Rupanya kunci motor suamiku hilang, entah tercecer atau jatuh, beliau sendiri tak mampu mengingatnya dengan baik. Tapi akhirnya beliau pun pulang ke rumah dan siap mengantarkanku ke tempat tujuan meski harus meminjam motor sahabatnya.

“Maaf ya sayang, belum ketemu sampai sekarang.” Kata suamiku meyakinkan.

“Iya nanti mungkin ketemu, insya Alloh.” Jawabku menenangkan.

Sesampainya di sekolah yang kutuju, pikiranku tetap melayang pada sosok suamiku yang sedang gelisah mencari kunci motornya. Membayangkan wajah gelisahnya saja sudah membuatku tidak konsentrasi saat mengawas. Saat jam istirahat tiba, aku pun bergegas meneleponnya dan menanyakan perihal kunci tersebut. Tetapi nihil. Belum juga ditemukan. Aku pun menyarankan agar segera dibawa ke bengkel untuk ganti dengan kunci yang baru. Tak berapa lama, suamiku mengabarkan kuncinya sudah berhasil diganti dan Alhamdulillah motornya sudah bisa dikendarai lagi seperti biasa.

Pulang sekolah, aku pun izin pada suamiku untuk ditemani mampir ke sebuah Radio menemui sahabatku untuk memberikan majalah pesanannya. Di sana kami ngobrol beberapa saat, hingga sampailah cerita kami yang sedang kehilangan kunci motor sejak tadi pagi. Tiba-tiba sahabatku berdiri dan masuk ke ruang siaran untuk mengambil sesuatu, kemudian ia berkata, “yang ini bukan Mba kuncinya?”

“Masya Alloh, ketemu dimana pak?kok bisa masuk radio?” tanyaku heran.

“Tadi saat sholat subuh mungkin Kang Mujahidin menjatuhkannya tanpa sadar, lalu diambil dan diamankan oleh teman saya yang tinggal di mess bawah Mba.” Jelasnya.

Aku dan suamiku hanya bisa saling berpandangan dan semenit kemudian kami tersenyum. Antara senyum bahagia, heran bercampur kesal yang tadi pagi. “Berarti sekarang senang dong karena kuncinya sudah ketemu.” Tanya sahabatku lagi.

“Seneng pak, tapi suamiku ini sudah terlanjur ke bengkel dan sudah mengganti kuncinya dengan kunci yang baru, satu set lagi!” jelasku bersemangat.

“Oh!” ucapnya kaget. Kali ini gantian sahabatku yang bengong.

***

Tanpa sadar kami sebenarnya sedang diperingatkan oleh Alloh. Betapa cintaNya Alloh pada kami berdua. Ketika kami diberi peringatan melalui kejadian ini, kami pun segera memujiNya. Mungkin kami lah yang kurang bersedekah, jarang berinfak sehingga Alloh menegur kami. Jika kunci itu segera ditemukan mungkin kami tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, tapi karena kehendak Alloh juga yang menyimpan kunci itu, kami pun terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli kunci yang baru.

Ternyata, berbuat kebaikan itu awalnya sesekali perlu dipaksakan. Contohnya seperti saat kita ingin bangun disepertiga malam untuk sholat tahajud. Awalnya sangat berat dan harus dipaksakan, karena jika tidak dipaksa maka tidak akan terbiasa, jika sudah terbiasa akan ringan dirasa. Begitu pula untuk infak dan sedekah. Kami mengambil pelajaran dari kejadian ini, paling tidak akan merutinkan infak atau sedekah dari yang paling mudah.

Ya Rabb, terimakasih atas kasih sayangMu pada kami. Yang masih selalu lalai dan lupa untuk menunaikan kewajiban kami di atas syariatMu. Ampunilah kami Ya Alloh, untuk setiap helaan nafas yang menyimpan dosa di dalamnya. Hanya kepadaMu lah tempat kami kembali. Amin.

Wallohu’alam bishowab.