“Mba, saya inginnya calon istri saya nanti adalah seorang wanita yang berprofesi sebagai guru.” Jelas sahabatku via telepon pagi itu.
“Kenapa begitu?” saya balik bertanya.
“Karena pekerjaan guru sangat mulia, dan seorang guru itu harus sabar, memiliki sifat keibuan, penyayang dan itu penting untuk mendidik calon anak-anak saya kelak.” Jawabnya cepat.
Saya pun tersenyum. “Amin. Semoga Allah mengabulkan keinginanmu.” Timpal saya.
Tergelitik hati saya saat mendengar keinginan sahabat saya. Dia sudah saya anggap seperti adik saya sendiri, meskipun baru kenal dalam hitungan bulan, tapi saya dan dia memiliki hampir banyak kesamaan. Akhirnya, dia pun tak segan bercerita pada saya. Saya pun demikian. Akan sangat terbuka untuk mendengar ceritanya.
Kali ini, lagi-lagi masalah tentang pernikahan. Tak bosan telinga ini mendengar cerita tentang mereka yang semangat ingin mengikuti sunnah Rasul-Nya. Termasuk sahabat saya itu. Diskusi kami disela-sela pekerjaan kami adalah tentang hal yang satu ini.
Ya, tentang menikah. Seperti pasar yang selalu ramai, tak pernah sepi pengunjung, maka topik ini pun selalu hangat untuk dibicarakan orang. Tak terkecuali para sahabat-sahabat saya. Mereka yang masih sendiri pasti bersemangat untuk membicarakan tentang kriteria dan impian mereka masing-masing di masa depan bersama orang yang kelak mendampingi.Tak ada yang salah memang. Impian itu doa, menurut saya.
Kini yang hadir dalam benak saya adalah, apa hanya seorang guru yang memiliki kesabaran? Apa hanya guru yang memiliki sifat kewanitaan dan keibuan lebih banyak? Saya pun mencoba berpikir bijak. Mungkin benar adanya, jika seorang guru harus bahkan wajib memiliki sifat penyabar untuk menghadapi setiap karakter muridnya yang bukan anak kandungnya sendiri. Benar juga jika guru adalah pekerjaan yang mulia. Tak salah juga jika seseorang yang profesinya menjadi guru harus lemah lembut dalam bertutur kata, baik akhlaknya, penyayang, adil, dan sebagainya. Dan itu semua tergolong dalam sifat keibuan.
Lalu pertanyaan saya berikutnya adalah, jika kita lihat sosok ibu kita di masa lalu, berpuluh-puluh tahun silam, apakah ibu kita berprofesi sebagai seorang guru? Mungkin jawabannya bisa ya atau tidak. Lalu darimana sifat keibuan, penyabar, dan penyayang yang dimiliki oleh ibu kita, sehingga kita bisa berdiri seperti ini? Dan sifat itulah yang selalu kita rindukan dari sosok ibu kita. Padahal mungkin, ibu kita dulunya bukan seorang guru. Tapi ibu kita berhasil meraih itu semua sebagai bekal mendidik kita hingga seperti ini.
Subhanallah! Saya tidak menyalahkan siapa pun yang berazam ingin memiliki pendamping hidup dengan profesi seorang guru. Tapi hendaknya menanamkan keyakinan, bahwa seorang wanita, sudah pasti akan mewarisi sifat Alloh yang Maha Rahman dan Rahiim, serta Maha Penyabar melebihi kaum adam. Tak perlu diragukan lagi. Apa pun profesi atau pekerjaannya, yakin sajalah pada Alloh, jika suatu hari menikah dengan wanita yang baik agamanya, maka Alloh titipkan sifatNya pada wanita itu.
Hari esok adalah hal yang ghoib bagi kita. Perbaikilah kualitas diri kita di hadapanNya. Sehingga kelak saat waktu tepat itu tiba, Alloh pun akan menitipkan seorang istri yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kita.
Wallohu’alam bis showab.