Adzan dzuhur memang masih sekitar lima belas menit lagi menjelang. Sebuah masjid di salah satu kawasan sarat penduduk di pusat ibu kota itu kini perlahan mulai diisi satu persatu jamaah yang tinggal di sekitarnya.
Dari kejauhan seorang bapak tua nampak berjalan dengan langkah tergopoh mendorong sebuah gerobak tua menuju pekarangan masjid. Puluhan bekas minuman gelas mengisi hampir seperempat bak gerobak tersebut. Sesaat kemudian ia memarkir gerobak tuanya di salah satu sudut pekarangan masjid.
Aku masih memperhatikannya ketika ia mengambil sebuah bungkusan dalam kantong hitam yang ia gantung di bagian belakang gerobak tersebut. Kemudian ia membawanya ke arah kamar mandi masjid dan hilang dalam pandangku.
Matahari di hampir penghujung bulan oktober ini alhamdulillah sudah agak semakin akrab denganku di ibu kota ini. Laporan cuaca memang menyebutkan bahwa akhir-akhir ini cuaca kota Jakarta sedang agak bersahabat dengan para penduduknya. Tidak begitu panas seperti biasanya.
Adzan dzuhur kini berkumandang, menggema mengisi relung-relung penjuru dunia. Bapak tua tadi kini terlihat kembali, meskipun terus terang telah membuatku sedikit terperangah kaget dengan penampilannya. Tak ada lagi baju kumal yang ia kenakan beberapa saat yang lalu ketika aku melihatnya. Kini, sebuah baju koko berwarna putih, meskipun sudah agak lusuh, melekat di tubuh tua-nya, lengkap dengan sebuah kain sarung bercorak kotak-kotak berwarna biru.
Hingga sesaat kemudian semua itu berlalu ketika kami memenuhi panggilan suci untuk bersama mengagungkan asma-Nya dan takbir dan shalat kami.
Usai shalat sunnat ba’da Dzuhur, aku kembali memperhatikan bapak tua itu yang kini duduk bersila disudut sana. Ia masih terlihat khusyuk dengan kedua tangannya yang kini menengadah di depan dadanya.
Dalam hati terus terang sungguh aku merasa malu saat itu. Ketika semakin lama semakin aku perhatikan ia. Ia yang dengan kondisi seperti itu ternyata masih bisa mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapkan jiwanya serta mempersembahkan shalat terbaiknya ketika panggilan shalat mulai berkumandang.
"Namun bagaimana dengan kita?"
Aku menundukkan kepalaku ketika teringat semuanya.
Terkadang, bukankah kita yang ternyata padahal lebih banyak kesempatan untuk bisa mempersiapkan diri dan mempersembahkan ibadah terbaik kepada-Nya justru malah seringkali melalaikannya?
Berbagai alasan seringkali kita pergunakan sebagai sanggahan-sanggahan atas tanya hati kecil kita, ketika is bertanya mengapa. Pekerjaan yang tanggung ataukah tidak enak menolak ajakan rekan kerja untuk makan siang bareng, telah menjadi salah satu dari sekian banyak alasan yang ada daripada kita menggunakan waktu untuk bisa melaksanakan sholat kita tepat di awal waktu.
Sungguh, aku rasa ketika Alloh pertemukanku dengan bapak tua tadi telah menjadi sebuah pukulan telak yang tidak hanya membuatku malu, namun semoga juga menjadikanku semakin tersadar atas semua hikmah daripadanya.
Aku memandangi sebuah tulisan arab di dinding masjid sana yang tertulis rapi, dikutip dari penghujung di ayat ke 103 surrat An Nisaa,
"… Innasholaata kaanat ‘alal mu’miniina kitaaban maukuutaa"
"… Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman".
Namun, ternyata meskipun tulisan itu terpampang jelas disana, masih saja kita terkadang lupa dibuatnya. Bahkan yang membuat diri ini sedih, ketika dengan yakinnya sebagian orang dari saudara kita menyanggah bahwa shalat tepat waktu itu tidak berarti melaksanakannya di awal waktu.
Padahal, aku kira seandainya alasan-alasan mereka akan semua hal itu, masihkah berlaku ketika kita mencoba menanyakan pada hati kecil kita, "Masihkah kita bisa menjamin akan usia bisa sampai pada saat dimana kita mengakhirkan waktu shalat tersebut?"
Jika memang ternyata bapak tua tadi dengan segala aktifitasnya ternyata masih mampu untuk mempersiapkannya lebih baik dalam beribadah kepada-Nya, masihkah ada rasa malu ketika kita mengingatinya atas diri kita sendiri?
Wallahu’alam bish-shawab.