“Maaf ya, saya telah mencuri lampu masjid ini. Azab sudah pasti ada, saya merasakan badan gatal luar biasa. Ketika saya niatkan untuk mengembalikan lampu ini, gatal-gatal hilang. Subhanallah …Hamba Allah.”
Isi surat yang ditulis pada secarik kertas itu agak menggelikan meski ada pengakuan jujur pengirimnya. Surat itu menjadi jawaban atas hilangnya lampu neon di salah satu ruang masjid beberapa waktu lalu. Terlepas dari rasa gatal yang dialami dan keyakinan bahwa gatalnya itu adalah azab Tuhan atas perbuatannya, surat itu tetap menjadi tanda Tanya tetang siapa pengirimnya. Taruhlah benar gatal itu adalah azab, maka mengembalikan barang curiannya itu dapat dianggap sebagai respon positif atasnya. Dan, lampu yang ia curi dari masjid itu dikembalikan setelah hampir sebelas hari ia miliki.
Akhir-akhir ini, masjid di kampung saya itu sering kehilangan. Mulai dari uang kotak amal, amplifier atau sekedar lampu. Bahkan pada hari raya Jum’at, kerap ada jama’ah yang pulang dengan sandal jepit butut, padahal kedatangannya menjepit Carvil. Keterlaluan. Entah siapa pelakunya, pengurus masjid tak pernah tahu. Hati mereka hanya mengaduh getir, apakah ladang pencurian sudah semakin sempit, sehingga “rumah” Tuhan pun tidak luput untuk dijarah? Ataukah sudah sebegitu susahnya mencari rezeki halal sehingga mencuri menjadi jalan pintas meskipun itu dilakukan di tempat ibadah? Kemana perginya nilai shalat dan ibadahnya itu?
Ada orang mencuri karena memang kebutuhan yang mendesaknya. Karena kemiskinan dan ketakberdayaannya menghadapi desakan perut. Biasanya orang seperti mereka adalah orang yang tak pernah “makan” bangku sekolah. Tidak pernah memegang pensil atau bollpoint. Apalagi mengerti apa itu toga, ijazah, sertifikat atau gelar akademis. Yang diambilnya pun kecil-kecil, semisal 3 buah Kakau. Mereka mencuri sekedar dapat mengganjal keroncong perut. Paling banter untuk membayar tunggakan SPP anaknya. Tidak lebih. Namun jika situasi demikian tetap langgeng dilakukan, maka hampir-hampir saja menyeretnya kepada kekafiran. Mungkin pula menjebloskannya ke bui dan merasakan dinginnya lantai penjara.
Tapi tidak sedikit pula pencuri yang cerdas. Ia mencuri tidak untuk makan tapi untuk ‘membeli’ ambisi duniawi. Mereka orang pintar; pintar ngomong, pintar berkelit, pintar menuntut balik bahkan pintar ‘mencucuk’ hidung aparat penegak hukum. Mereka maling profesional yang menjarah uang rakyat. Begitu besarnya uang yang mereka curi, sampai-sampai tidak habis dinikmati sampai keturunan ketujuh mereka. Begitu licinnya, mereka melenggang bebas dan hidup nyaman di luar negeri. Kepada mereka layak kita ucapkan: ”Selamat Sentosalah Anda di Dunia, Bersiaplah Hidup Melarat di Kubur dan Akhiratmu”.
Tapi, apakah para pencuri kakap itu kenal alam barzakh atau ingat akan akhirat? Sulit dipastikan. Sepertinya beragama pun mereka asal saja. Asal kolom saat menulis berbagai aplikasi terisi penuh saja. Asal tidak disebut komunis atau atheis saja. Atau jangan-jangan, Tuhan saja dianggap telah mati untuk mereka.
Ini hanya kemungkinan paling getir. Sebab biasanya, orang akan ragu mencuri apabila di hatinya ada alam barzakh, ada kebangkitan, ada kiamat, ada padang mahsyar, ada timbangan amal, ada shirath, ada surga dan neraka, ada iman yang melekat rekat di hatinya. Meskipun kesempatan untuk mencuri itu terbuka lebar dan tidak ada seorang pun yang tahu, tetapi softwere ihsannya akan segera memprogram keraguannya menjadi kemantapan hati untuk tidak melakukannya. Namun sebaliknya, apabila softwere-nya blank atau error, maka nafsunya menciptakan peluang dan kesempatan untuk menjarah. Nafsu menjadi semacam virus untuk menghancurkan kekebalan iman dan merusak sistem kerja kesadaran ilahiyah.
”Siapa orangnya ya, Pa yang ngambil lampu dan mengirim surat pengembaliannya?” tanya merbot masjid.
”Sebenarnya sih, tidak terlalu penting untuk kita ketahui siapa orangnya. Toh lampunya juga dikembalikan. Ditambah surat kesaksian azab Allah lagi,” imam masjid menjawab arif.
”Penasaran aja, Pa ustdaz.”
”Lalu kalau sudah tahu orangnya, mau diapain?”
”Ya paling tidak dikasih pelajaran lah, nasehat atau peringatan.”
”Peringatan dan pelajaran dari Allah, kan sudah dirasakan. Gatal-gatalnya luar biasa seperti dalam suratnya. Apa belum cukup?” imam masjid masih asyik melayani perbincangan.
”Siapa tahu, memang pencurinya punya eksim atau gudig. Pas saat itu datang gatalnya,” merbot masjid masih belum menyerah.
”Nah, itu malah lebih berat peringatannya. Sudah eksim, gudig, gatal pula dia. Ikhlaskan, Pa. Yang penting dia kapok. Lampu masjid kita juga sudah kembali. Dari pada tidak dikembalikan sama sekali. Semoga juga kesadarannya seperti taubatnya Malik bin Dinar. Nah, sekarang mana yang paling baik?”
”Iya sih, Pa ustadz. Kadang kita juga malu, kalau ada jamaah yang kehilangan sandal bagus. Jum’at kemarin ada. Minggu sebelumnya juga ada.”
”Biasanya kalau yang ini, pelakunya salah menterjemahkan ucapan khatib.”
”Maksud Pak ustadz?”
”Sewaktu khatib naik mimbar sampai di penghujung dia tidur. Yang dia tangkap kesimpulan isi nasehat khatib, ‘ambil yang baik, tinggalkan yang buruk’.”
”Terus pulang nukar sendal, gitu? Ah Pa ustadz bisa aja.”
Saya hanya menguping perbincangan itu. Terasa benar bedanya menangkap pembicaraan orang alim. Selalu ada nilai-nilai yang memulihkan kesadaran. Ada juga sense of humornya. Beda halnya ketika berkumpul dengan beragam orang yang berbeda visi dan sudut pandang yang heterogen. Seringkali ada pembicaraan yang menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan. Betapa tidak menjadi resah dan cemburu, di saat kita bingung belum membayar sewa rumah kontrakan sementara rekan di sebelah kita asyik membicarakan rencana ganti mobil. Di saat kita terjepit dengan soal keuangan, sementara mereka bercanda sambil menunjukkan isi dompet lembaran merahnya masing-masing. Salah kah mereka? Tidak. Mereka hanya berhusnuzzhan bahwa kita sama dengan mereka dalam segala hal.
Kecurian memang menyakitkan, tetapi sesungguhnya keadaan si pencuri lebih menyedihkan. Bagi yang kehilangan asalkan dia sabar dan menerima cobaan itu sebagai ujian dari keimanannya, maka miliknya yang hilang menjadi sedekah baginya. Kalimat istrija’ sebagai tanda kesabarannya bahkan mengantarkannya pada keberkahan dan keselamatan serta petunjuk dalam hidupnya.
Mengapa nasib pencuri lebih menyedihkan?
Kesedihan sang pencuri bukan alang kepalang. Pada saat dia mencuri, dia sudah kehilangan sesuatu yang amat berharga yaitu iman. Sebab meskipun dia adalah mukmin, tetapi pada saat tangan dan hatinya beraksi mencuri, gugurlah imannya saat itu. Adakah yang lebih menyedihkan selain gugurnya iman? Belum lagi soal hati nurani. Bagaimanapun setiap orang tidak akan pernah bisa membohongi hati nuraninya. Seorang pencuri pun sadar betul, bahwa perbuatannya itu adalah keliru. Lalu sampai kapan ia dapat memenangkan pertarungan batin yang bergejolak di dalam hatinya? Sementara dalam pergolakannya itu, ia selalu was-was, curiga dan tertekan. Sampai polisi sekedar lewat saja, ia gemetar karena diduga tengah mencari-cari dirinya.
Puncak dari penderitaan pencuri adalah pengadilan dan penjara dunia. Dan entah bagaimana pula balasan baginya di akhirat kelak. Apabila pencuri saja sedemikian menderitanya, apatah lagi maling yang teriak maling?
Di balik semua itu, kita sering mendapatkan ketimpangan soal ‘permalingan’. Kadang supremasi hukum ditegakkan kepada maling kelas coro atau bandit kelas teri. Tetapi maling kelas hiu dan bandit kelas paus dibiarkan liar dan dilindungi. Jika melihat fakta ini dengan mata telanjang, kita tentu ngeri dengan peringatan Kanjeng Nabi empat belas abad yang lalu. Beliau pernah menegaskan, bahwa hancurnya umat terdahulu salah satunya karena sebab hukum pencurian yang tebang pilih. Apabila orang kecil mencuri, hukum had ditegakkan. Tetapi giliran pembesar yang mencuri, hukum had diabaikan. Seperti yang terjadi pada wanita bangsawan Bani Makhzum yang melakukan pencurian dan meminta negoisasi soal potong tangan. Kenyataan ini berulang di zaman kita dan akan terus berulang. Kehancuran pun berulang kali pula kita alami dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Tetapi itu belumlah cukup menyadarkan setiap hati nurani. Mungkin menunggu guncangan yang paling dahsyat yang meluluhlantakkan alam semesta. Kiamat kubra.
Yang cukup menggelisahkan, sanksi hukum kita tidak menimbulkan efek jera. Penjara tidak menjadi panti rehabilitasi mental bagi pelaku kejahatan kecuali bagi orang tertentu saja. Makanya kejahatan pencurian tidak pernah mengenal episode the end. Ada pelaku kejahatan pencurian motor, tetapi selepas dari penjara naik kelasnya menjadi pencuri mobil. Bahkan ada yang tetap mengendalikan bisnis narkobanya di balik jeruji penjara.
Kapan hukum dipedomani seperti masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in? Atau dalam konteks historis bangsa kita mengulang kembali kejayaan ratu Sima dalam penegakkan hukum di kerajaan Kalingga?
Kita masih membayangkan hukum Allah tegak dibumi. Segala skandal tinggal kenangan. Rumah-rumah tahanan kosong melompong. Penegak hukum dapat tidur nyenyak. Nenak Minah punya kebun Kakau sendiri. Para maling berbondong-bondong mengembalikan hasil curian dan menulis surat pengakuan dosa. Kehidupan sosial menjadi cermin akhlakul kariimah. Rakyat dan penguasa sama-sama setia pada keimanan. Negara kaya ini benar-benar mewujud seperti sebutan Qur’an; Baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur. Mataa yaquumu nashruka ya rabb?
Ciputat, Desember 2009