Bahkan saat aku menulis ini, tanganku gemetar. Betapa. . betapa ingin rasanya merutuki kepekaan yang tiada hadir, bahkan saat seharusnya aku berduka, menangis, merasakan apa yang dunia dan indonesiaku rasakan.
Sore itu, aku ada di bilangan bintaro, mati listrik. Ya, belakangan ini Jakartaku mengalami pemadaman listrik bergilir, karena sebuah insiden yang mengguncang kestabilan pengelolaan listrik negara. Dan kemarin malam, melalui facebook dan status kawan-kawan yang melayangkan dukanya untuk saudara-saudara di Padang. Kabar itu, ketetapanNya untuk membiarkan kami merasai duka kembali, kali ini melalui saudara-saudara kami di Sumatera Barat. Dan aku terpekur, teringat nenek yang lama bermigrasi kesana dan menjadi penduduk di salah satu sudut tanah Sumatera. Semoga keluargaku disana dalam perlindunganMu selalu yaa Rabb. Aku mencoba menularkan informasi ini kepada orangtuaku yang juga baru saja pulang habis berobat. Sedikit, lega itu hampir karena bukan daerah nenek yang disenggol gempa, tapi tak usai, karena orangtuaku terus saja berhusnudzon dan belum memastikan keadaan keluarga disana. Disapa kantuk, akhirnya berita itu seperti lalu karena ternyata tubuhku lebih menginginkan beristirahat daripada kembali berpikir.
O1.22 pagi, 12 Syawal 1430 H. Aku terbangun, dan dalam kesempatanku berkhalwat dalam ibadah lail, doa untuk saudara-saudaraku di Padang tak juga terlampir. Ingatanku seperti dihapuskan atau memang aku tidak berminat untuk ikut-ikutan merasai duka itu? Astaghfirullahal’adzim. Inikah hilangnya kepekaan dari nuraniku? Hingga akhirnya aku menyiapkan sahurku dan kembali memutar kotak berkabel untuk menemaniku, aku masih merasa seperti hari-hari biasa.
Pagi tiba dan saluran-saluran di televisi gencar menginformasikan perkembangan pasca gempa bumi di Sumatera Barat dan menampilkan rekaman langsung gempa dan tangis para korban yang tiada berdaya, tangisku akhirnya menyapa disudut mata.
Astaghfirulllahal’adzim. Aku seperti tak bernurani.
Tiba-tiba dibenakku, ruangan itu semakin menyempit dan hanya menghadirkan diriku dan potongan-potongan duka yang telah menghampiri tanah airku. Masyaa Allah. Reruntuhan itu. . . jerit tangis itu. . mayat-mayat terdampar itu. . begitu nyata memenuhi ruang pikirku. Menghadirkan kenyataan-kenyataan yang belum siap ku hadapi, yaitu mati. Membayangkan diriku yang mengalami guncangan bumi itu, membayangkan jerit tangis itu hadir dari orang-orang yang paling ku sayang, membayangkan papan tempat ku biasa berteduh menjadi rata dengan tanah. . naudzubillah. . Rabb, kembalikan aku. . .
Ruangan itu kembali menyempit, masih begitu banyak yang beum aku tunaikan. . .masih banyak yang ingin ku hampiri dan ku raih. . masih begitu banyak yang ingin kuperbaiki dari jiwa dan raga ini. . setidaknya sebelum aku benar-benar menghampiriMu kelak.
Rabb, kembalikan aku. .
Rabb, kembalikan aku..
Rabb, kembalikan aku. .
Kembalikan aku pada nikmat bersyukur.
Kembalikan aku pada nikmat bersabar.
Kembalikan aku pada nikmat perjumpaan di jenak-jenak doa dalam tegaknya sholat.
Kembalikan aku pada nikmat bertaubat. .
Meski ku tahu, raung tangis yang ada. . jerit kepayahan meminta. . takkan menghalangi ketetapanMu juga takkan menyegerakan ketetapanMu.
Maka izinkan ku selalu meminta keadaan terbaik untuk ku berpulang.
Keadaan yang paling paripurna untukku berpulang.. .
Perlahan. . ruangan itu melebar, melepaskan himpitannya dari jiwaku yang menyesak. Perlahan.. potongan-potongan kenyataan bahwa tanahku Indonesia dan dunia biru ini hendak berganti wajah, mendominasi pikiranku. Mau Kau palingkan kemana wajah bumiku? Adakah Kau ingin perlihatkan bahwa kemenangan ataukah kekalahan atas kesombongan manusia akan meluruh diatas kekuasaanMu?
Di detik-detik ini, Engkau begitu Besar dengan segala daya yang tak sanggup dijangkau akal.
Di detik-detik ini, Engkau begitu Raja dengan segala titah yang tak sanggup disangkal oleh hambaMu yang manapun. .
Di detik-detik ini, Engkau begitu pengasih dengan segala bentuk nikmat dan rahmat yang dahulu. . yang terlebih dahulu Kau datangkan pada kami dan akhirnya membutakan kami dengan kesombongan kami sendiri.
Di detik-detik ini, Engkau begitu kaya dengan segala yang takkan pernah tersia meski hanya bentuk satu sekon saja.
Keselamatan atas muslimiiin dan muslimaat,
Keselamatan atas mukminiin dan mukminaat,
Keselamatan atas ’alim dan ’abid,
Keselamatan atas mubaligh dan da’i penyampai risalah Muhammad,
Keselamatan atas umat manusia dan peradabannya
Kami mohon dengan sangat. .
***saudaraku. .
Tiada yang kan sirna tanpa sebuah kesengajaan, maka kuatlah bertahan meski duka kini mengetuk kesedihan dan ketidakberdayaanmu.
Tiada yang kan utuh tanpa sebuah kesengajaan, maka ikhlaskanlah semua yang tiada lagi utuh dan ingatlah nikmat Tuhanmu.
Tiada yang kan pergi tanpa sebuah kesadaran, maka biarkan yang harus pergi dengan takdir dariNya karena sisiNya adalah sebaik-baik tempat kembali.
Meski tak kurasai tangismu,
Meski tak kurasai letih langkah kakimu yang jauh berlari mencari tempat dimana keamanan jadi sandaran,
Meski tak kurasai darah-darah itu mengalir dari tubuhku,
Meski tak kami rasai luka-luka psikologis yang kini menggelayuti jiwamu,
Meski semua itu tak bisa kami rasai sekarang,
Ketahuilah. . semua ini tetap kebaikan bagimu karena engkau didahulukan menyapaNya.
Karena engkau disegerakan untuk mencicipi surga atas kebaikan-kebaikanmu.
Karena engkau diselamatkan dari fitnah akhir dunia.
Karena engkau diselamatkan dari keniscayaan yang akan datang itu dan hanya menyisakan orang-orang yang tidak beriman untuk merasakannya.
Semoga dalam sisiNya, tempat terbaik dimana engkau kembali.
Bismillahirrahmanirrahim, 12 Syawal 1430H. Sehari setelah guncangan di tanah gadang. Aku, makhlukMu yang dhaif ini, hanya bersegera untuk bersyukur. Dengan mata apapun kami berusaha menerka rahasiaMu, maka yang lahir hanya kepayahan. Dengan mata apapun kami menyikapi duka yang menghampiri saudara kami, meski genangan tangis masih ada, maka yang harus kami yakini bahwasanya ketetapanMu. . . keputusanMu. . begitu dekat dan tiada terhambat. Dan semuanya kan terbayar, karena segalanya menyimpan pembalasan yang sepantasnya dariMu.
faraziyya.multiply.com