Tanda-tanda orang munafik ada tiga : Apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkir dan apabila di percaya dia khianat. Hari ini saya termasuk di dalamnya. Astagafirullah ‘Aladzim!
Pagi ini saya memburu anak bungsuku, agar bergegas mandi dan berpakaian. Anakku berumur tiga tahun. Saya menjanjikannya untuk pergi ke Town Hall ( termasuk daerah Sengata Baru ). Daerah itu termasuk kategory yang di senangi anak-anak, bagi kami yang tinggal di Sengata lama. Anakku sangat suka membeli CD ataupun barang mainan yang disukainya. Biasanya kami rekreasi dan sekaligus berbelanja untuk anak-anak pada hari minggu pertama, di awal bulan. Maklum khan, dompet masih penuh.
Hari ini pertemuan anggota dan pengurus Forum Lingkar Pena ( FLP )Cabang Sengata. Pertemuannya di adakan di daerah Sengata Baru, komplek perumahan karyawan PT Kaltim Prima Coal ( PT KPC ). Saya punya planning, pergi ke daerah Town Hall sekedar menyenangkan anak, baru melanjutkan ke rumah tempat pertemuan dengan naik becak.
Saya boleh merencanakan, tapi Allah jualah yang menentukan. Saya akhirnya pergi ke pertemuan itu dengan numpang mobilnya salah satu teman. Saya berfikir : “Lumayan menghemat waktu”. Karena jam pertemuan itu jam 9 pagi, maka saya mengambil keputusan untuk menumpang teman dengan asumsi : Bila saya menggunakan angkot dan harus menyambung dengan naik becak di Town Hall. Maka saya harus berangkat dari rumah, sekitar jam 8 pagi. Bila numpang, maka berangkatnya jam 8.45 pagi. Lumayan khan, selisih waktunya untuk beres-beres di rumah.
Pertemuan FLP berjalan lancar. Teman yang hadir pada enak di ajak ngobrol. Santai tapi serius. Maklum, saya dan beberapa rekan masih termasuk anggota muda. Banyak hal tentang organisasi belum kami ketahui. Jadi nambah wawasan sekalian mendapatkan tugas. Nggak apa-apa, tugas itu akan membuat kami lebih punya arti. Amin.
Saat pulang jam 11 pagi, saya pun numpang teman yang bareng datangnya. Saya agak sedikit letih pagi ini, inginnya cepat sampai di rumah. Tapi anak saya mengingatkan untuk singgah di Town Hall sesuai janji saya. Saya hanya membiarkannya berceloteh menyebut daerah tujuannya. Saya biarkan dia, dengan satu pemikiran : Nanti jika cape’ diam sendiri. Saya seperti orangtua yang tega amat ama anak.
Teman yang mengendarai mobilnya, sedikit terganggu dengan rengekannya. Mobil berhenti tepat di depan rumah sang teman. Akhirnya anakku menangis keras sekali, menarik-menarik pakaian dan jilbabku. Rumah temanku sangat dekat dengan rumahku, jadi numpangnya sampai di rumahnya. Tapi.., ketika anakku menginjakkan kakinya di tanah, anakku seperti nggak rela pulang. Dia menangis sejadi-jadinya. Membuat heran tetangga kiri kanan. Mungkin mereka berpikir : “Ada apa?” Mereka mengenal anakku dengan baik. Anakku ini bukan termasuk type yang cengeng. Dia bukan anak yang susah, mudah memahami apapun alasan yang ku berikan. Untuk urusan pagi ini, dia tak mau alasan. Volume menangisnya bertambah nyaring. Hingga kami sampai di dalam rumah.
Aku berusaha membujuknya dengan kata : “Nanti sore, Insya Allah kita pergi. Setelah ibu sholat Ashar.” Kata itu aku ulang-ulang. Tapi tangisannya tak reda jua. Aku sedikit panik. Tak mungkin aku pergi ke Town Hall siang ini. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Sementara masjid di dekat rumah, mulai memutar kaset pengajian. Menandakan waktu sholat Jum’at akan segera tiba. Aku bingung, rasanya ingin menangis.
Aku mendekapnya, minta maaf berulangkali. Anakku sedikit pun tak bergeming. Tangisannya sudah berlangsung satu jam. Apa yang harus ku perbuat? Aku menyadari kesalahanku pagi ini. Mengiming-imingi pergi berbelanja, agar bisa cepat bersiap pergi. Tapi kenyataannya? Aku mengingkarinya, dengan persepsi : “DIA AKAN MELUPAKAN JANJIKU!”
Kekeliruan yang sangat fatal, yang sangat di pahami oleh anakku. “Anakku, maafkan ibu ya…” Aku pun memeluknya dengan air di sudut mataku.
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata