Waktu baru menunjukkan pukul 03.00 ketika alarm jamku mulai berisik membangunkanku yang masih terasa malas membuka mata setelah mulai Isya tadi turun hujan. Belum lagi usai suara alarm terdengar bunyi yang lebih nyaring dan gaduh ditelingaku. Aku bangkit untuk mecoba mendengarkan dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Ternyata gagal. Rasa kantukku masih mengalahkan semuanya.
Aku paksa kakiku untuk melangkah ke kran Wudhu sederhana di samping dapur rumahku. Mataku baru benar–benar melek setelah air wudhu membasahi hidung, muka, tangan, telinga dan kaki. Pelan–pelan kuperhatikan asal suara dengan seksama. Seperti suara beberapa orang melemparkan sesuatu yang besar ke arah kendaraan. Semakin penasaran aku mencoba keluar rumah setelah sajadah yang tadi kupegang kuletakkan sementara di atas meja. Sampai di depan rumah aku masih belum menemukan sumber suara. Perlahan aku mencoba sekali lagi mengikuti asal suara. Oo.. ternyata rombongan dinas kebersihan kota yang lagi melaksanakan tugasnya. Mengangkut dan membersihkan sampah.
Bukan hal yang aneh kalau selama ini aku nggak pernah dengar kalau mereka sedang bekerja. Disamping tempat sampahnya yang cukup jauh dari rumahku, mungkin malam itu cukup hening karena biasanya sampai jam 02.00 di luar malam minggu terdengar cukup kencang di kampungku suara mereka yang lagi menghabiskan malamnya dengan ber-‘DUGEM’ ria. Kebetulan di jalan poros menuju Balikpapan Baru terdapat sebuah tempat dugem yang sudah berulangkali diprotes warga di sekitar karena tidak menggunakan peredam sehingga sangat menganggu. Toh tetap saja jalan terus karena justru tempat begituan dijaga aparat. Astagfirullah. Bahkan kalau malam minggu bisa sampai jam 04.00 pagi.
Aku kembali masuk ke rumah dan mencoba menelaah pelajaran dari Allah saat ini. Ada 2 kehidupan yang sama-sama berlangsung di malam hari tetapi dengan hasil yang sangat jauh berbeda. Satu sisi mereka yang sedang menjalankan tugas mengangkut dan membersihkan sampah berjuang mati–matian untuk bisa menghidupi keluarga dengan gaji yang pas–pasan sedangkan yang lain sedang menghamburkan ratusan ribu bahkan jutaan uang mereka dalam waktu semalam hanya untuk memenuhi kesenangan dan syahwat semata.
Terus terang aku pernah suatu malam saat menemani rekan-rekanku yang sedang menyelesaikan tugasnya untuk menyambung fiber optic yang putus karena terkena pelebaran jalan bertemu dengan mereka. Malam itu hujan cukup deras sehingga kami terpaksa berteduh dan tidak bisa melanjutkan pekerjaan. Waktu baru menunjukkan jam 23.00 ketika tiba–tiba seseorang dengan jas hujan yang dibuat sendiri dari plastik sekedarnya ikut berteduh disamping kami. Bapak ini cukup ramah, sehingga kami bisa leluasa bertanya kepadanya.
Ternyata beliau sedang menunggu jemputan untuk mulai bekerja mengangkut dan membersihkan sampah yang seharian sudah terkumpul di tempat sampah masing–masing RT. Jangan dibayangkan bahwa mobil jemputannya adalah mobil jenis minibus atau mobil bak tertutup lainnya. Justru mereka di jemput dengan mobil kerja mereka yang sering kita sebut truk sampah. Jam kerja mereka mulai malam hari sampai esok pagi, karena kebetulan kotaku Balikpapan adalah kota terbersih yang sudah belasan kali mendapat penghargaan Adipura. Jadi warga hanya diperbolehkan membuang sampah diatas jam 18.00 s/d jam 06.00 pagi. Dan malam itu juga sampah–sampah tersebut diangkut ke TPA sehingga siang hari kota tetap bersih.
Aku coba bertanya berapa gajinya dengan pekerjaan seperti itu. Jawabnyalah yang justru mencengangkan. Bukan masalah besarannya, tetapi kesyukurannya yang justru membuatku iri. "Alhamdulillah mas, walaupun pas–pasan yang penting halal dan barokah, karena berapapun besarnya gaji kita kalau nggak halal ya nggak jadi daging. Yang penting berapapun itu datangnya dari Allah, dan masing–masing kita sudah ada bagiannya, tinggal bagaimana kita mensyukurinya," jawabnya dengan penuh ketenangan dan pancaran jiwa yang ikhlas. Subhanallah.
Anganku melambung jauh. Pada saat kita asyik tidur dirumah, atau bahkan sebagian kita menghabiskan malamnya di tempat–tempat pengumbar nafsu dan syahwat, mereka dengan gigihnya bergumul dengan sampah yang bagi sebagian besar orang menjijikkan. Tapi tidak bagi mereka. Mereka tidak lagi peduli dengan bau, kotoran, bahkan bangkai sekalipun demi mencari sesuatu yang halal. Bahkan kita sering berfikiran bahwa sampah adalah sumber penyakit, tapi justru setiap saat mereka bergelut dengan sumber penyakit. Tapi aku yakin akan kebesaran Allah, mudah-mudahan mereka dan keluarganya dijauhkan dari berbagai penyakit.
Aku juga teringat beberapa waktu yang lalu saat mengantar istriku berbelanja tanpa sengaja melihat seorang ibu dan ketiga anaknya sedang mangais sampah ditempat sampah itu juga. Aku bertanya pada istriku barangkali kenal dengan si ibu dan ketiga anaknya. Ternyata istriku cukup mengenalnya. Beliau biasa mengambil sampah di sekitar kampung kami dan biasanya hanya mengambil bekas kardus dan jirigen minyak goreng semenjak ditinggal suaminya. Kini ia harus menghidupi ketiga anaknya. Satu orang sudah SMP, satu lagi masih SD dan yang bungsu belum sekolah. Ketiganyapun diajak untuk jadi pemulung dengan jadwal seusai sekolah. Hasilnya dikumpulkan untuk kemudian dijual ke pengepul.
Satu hal yang menarik beliau selalu menutupi dirinya dengan busana muslim yang sempurna walaupun sudah mulai usang, dan tidak pernah mau meminta–minta. Bahkan pernah dilihat oleh istriku ibu dan ketiga anaknya itu membeli 3 bungkus krupuk untuk kemudian dimakan dibawah pohon diselingi dengan air agar kenyang. Sungguh, pelajaran ini sangat berharga bagiku.
Pernah suatu saat beliau memberanikan diri kerumah dan menyampaikan masalahnya pada istriku. Rupanya sipengepul sedang pulang ke Jawa sehingga dia tidak bisa menjual hasil memulung bersama anak-anaknya, sementara saat itu jadwalnya bayar sekolah. Untuk meyakinkan istriku beliau bawa raport dan bukti bayar sekolah anaknya, walaupun sebenarnya istriku sangat mempercayainya. Beliau tidak pinjam uang tapi justru minta pekerjaan walaupun hanya beberapa hari yang penting bisa bayar sekolah. Masya Allah. Mulianya ibu ini. Aku jadi ingat pada saat Rasulullah SAW dan para sahabat berhijrah ke Madinah, mereka justru minta ditunjukkan jalan ke pasar agar tidak membebani saudara mereka kaum Anshor. Sungguh indah dan mulianya persaudaraan Islam. Setelah dua hari diminta untuk membantu membersihkan kebun ibu-ibu PKK di samping rumahku, hari ketiga justru jadi kejutan. Anak laki-lakinya yang sulung datang ke rumah sambil membawa beberapa ikan sepat yang katanya hasil memancing. Itupun bukan untuk dijual tapi ucapan terima kasih. Masya Allah.
Malam ini aku sungguh tidak bisa lagi memejamkan mata. Dua dimensi ada di depan mataku. Mereka yang berduit dengan mobil, baju rapi dan mahal sedang memarkir kendaraannya di tempat "dugem" yang mungkin semalam bisa menghabiskan sebulan gaji para petugas sampah dan pemulung sementara di sisi yang lain petugas sampah dan pemulung dengan gaji yang pas-pasan, dengan baju yang seadanya, dengan mobil bak terbuka (truck) dengan bau yang menyengat sedang membanting tulang untuk mencari rejeki yang halal dan thoyib. Sangat jauh kalau kita membandingkan kebaikan dan keburukan. Untuk berbuat maksiat perlu biaya besar dengan konsekwensi balasan akhirat "yang besar" pula. Sementara kebaikan disiapkan oleh Allah hanya dengan niat yang tulus dan kesungguhan kita dalam mencapainya dengan tidak melanggar syariat dan mengikuti sunnah Rasul-Nya. Insya Allah kelak diganti dengan kenikmatan yang tiada tara.
Malam ini aku dengan segala kebanggaanku pada mereka yang setiap hari bergelut dengan sampah, menjuluki mereka dengan "orang-orang kuat dan terhormat".
M. Jono AG
[email protected]