Sahabatku, mohon maaf kalau panggilanmu lewat HP semalam tak kujawab. Bukan aku mengabaikanmu, apalagi tidak menghargaimu. Sekali lagi tidak. Insya Allah aku akan tetap menjawabmu pada waktu dan situasi yang berbeda. Hanya karena aku malu kepada Allah saat itu karena aku sedang ingin menambah pemahamanku terhadap agamaku.
Aku sangat malu kalau ustadz yang berdiri di depanku dan di depan semua jamaah sedang semangat-semangatnya menyampaikan beratnya hijrah Rasulullah tiba-tiba aku yang berada disampingnya keluar hanya untuk menerima telpon. Sungguh aku malu kepada Allah, saat ini aku baru bisa ikut ta’lim sebulan dua kali setiap jum’at minggu pertama dan minggu ketiga di musholla dekat rumahku. Padahal usiaku sudah diatas empat puluh, sementara setiap saat dosa- dosaku kian bertambah tanpa terbendung. Kadang aku merenung, kenapa tidak segera memperbaiki diri.
Sahabatku, mohon maaf kalau panggilanmu lewat HP kemarin siang dan waktu-waktu siang sebelumnya tidak kujawab. Jujur saja bukan lagi aku tak mau jawab, tapi justru kumatikan begitu terdengar adzan. Karena saat itu aku kepingin bersama teman ikut jamaah sholat dhuhur di musholla kecil di kantor kita.
Aku bersyukur setiap waktu sholat diseluruh ruangan dikantor kita dikumandangkan adzan dan himbauan kepada seluruh umat muslim untuk meninggalkan pekerjaan sejenak dan segera melaksanakan sholat. Aku ingin menjadikan saat itu istimewa. Karena saat itu yang memanggilku bukan lagi atasanku tetapi sang Pemilik diriku. Aku sadar sebagai karyawan yang mengelola operasional otomatis ada tuntutan bahwa setiap saat harus bisa dihubungi.
Tetapi aku juga ingin waktu sholat justru menjadi panggilan terindah hari itu untukku. Mumpung Allah masih menitipkan nafas di tubuhku.
Ada yang perlu diluruskan sepertinya. Istilah handphone tentu bukan barang yang asing bagi kita saat ini. Ada yang memaknai sebagai telpon genggam yang berarti setiap saat ada di genggaman kita. Ada lagi yang memaknai sebagai telepon bergerak sehingga kemanapun pergerakan kita tetap bisa dihubungi, sebuah lompatan teknologi yang cukup besar sehingga kemungkinan informasi hilang semakin kecil karena mobilitas yang dimiliki.
Sebuah teknologi, tentu memilki sisi positif dan negative tergantung kita sebagai pemakainya.Kita lihat saja saat ini hampir di semua masjid ataupun musholla terdapat tulisan "UNTUK MENJAGA KEKUSYUKAN SHOLAT HARAP MATIKAN HP ANDA". Belum lagi tambahan dari pak Imam yang dengan ‘terpaksa’ menambah aba-aba "Tsau sufuufakum, mari rapatkan dan luruskan shaf, dan tolong yang membawa HP harap dimatikan atau di silent!". Astaghfirullah. Inilah fenomena saat ini yang sering kita jumpai di masyarakat kita.Seakan kita sangat takut kalau tidak ditemani HP.
Dulu pada saat belum teknologi seluler belum berkembang di masyarakat pada saat menelpon dan kebetulan tidak diangkat kita hanya berfikir bahwa yang kita hubungi sedang tidak ada di rumah. Coba sekarang, begitu HP tidak diangkat, orang sudah berfikiran macam-macam. Mulai dari sengaja nggak ngangkat, nggak gaul karena udah jelas-jelas panggilan itu ditujukan kepadanya kok nggak diangkat, atau bahkan ada yang mengumpat kalau beberapa kali ngebel nggak juga diangkat.
Tanpa mengurangi pengharagaanku terhadap teknologi yang semakin memudahkan kita, harusnya ada batasan-batasan agar kemajuan teknologi tetap saja bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan atau sedikitnya menghalangi orang lain yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Kita mungkin tidak menyadari pada saat sholat jamaah, tiba-tiba ada HP yang bunyi, tentu bukan saja jamaah di sekitarnya saja yang terganggu, bisa jadi sang imam juga terganggu konsentrasinya.
Pernahkan anda membayangkan pada saat hening seperti itu tiba-tiba ada lagu rock, dangdut, atau bahkan lagu barat mengalun diantara lantunan ayat-ayat Qur’an yang sedang dibaca imam? Tentu dalam waktu sekejap konsentrasi kita akan buyar. Minimal kita mengumpat dalam hati "kenapa ini orang nggak tinggalkan saja HP nya dirumah?" Masih khusyukkah kita pada saat terlintas dihati kita umpatan kepada orang lain?
Ada lagi yang berfikiran kenapa nggak di-silent saja. Padahal sama saja bagi pemakainya kalau itu dilakukan pada saat sholat. Pada saat HP bergetar, tentu perhatian kita akan terpikir "Siapa lagi ini, waktunya sholat kok ngebel ?" Memang yang terganggu hanya kita. Kenapa tidak sekalian saja di matikan atau ditinggal di rumah?
Sahabatku, maafkan aku dan istriku kalau beberapa kali menghubungiku ketika magrib tiba justru istriku lah kadang-kadang yang mengangkatnya. Memang aku sering berpesan kepada istriku kalau lagi dapat dispensasi dari Allah untuk tidak sholat dan kebetulan ada yang ngebel di HP ku dan aku sedang ikut jamaah sholat magrib di musholla sepulang kerja untuk dijawab bahwa aku sedang jamaah.
Bukan maksudku tidak respon terhadap panggilan padahal itu menyangkut pekerjaan dan tanggung jawabku. Insya Allah aku akan telpon balik sesudah sholat, meskipun kadang- kadang terbersit keinginan untuk melepaskan beban kerja setelah sampai rumah. Tapi rupanya Allah menghendaki, sejak awal aku harus menempati posisi operasional yang kadang-kadang tidak kenal waktu.
Itupun sangat saya sadari bersama keluarga.Sehingga sering kali pada saat libur atau sedang jalan-jalan bersama keluarga harus belok dulu ke kantor untuk menyelesaikan gangguan atau balik kerumah, tergantung mana yang lebih dekat untuk segera bisa menyelesaiakan gangguannya. Di situlah seninya.
Jadi kalau sering kali pada saat sholat aku tidak bisa sambil membawa HP, hanya karena aku memang belum bisa khusyuk seperti mereka yang sudah mencapai tingkatan khosyi’un. Aku masih sangat awam, masih perlu banyak berlajar dan berlatih khusyuk. Sekali lagi, aku hanya ingin menjadikan waktu sholatku adalah waktu yang sangat istimewa, karena aku yang hina ini dipanggil menghadap Rabbku.
Aku hanya ingin waktu perjumpaanku itu tidak lagi dicampuri dengan urusan yang lain, termasuk pekerjaan yang aku yakin asal Allah masih menitipkan nafas di tenggorokanku berarti aku harus tetap bekerja sebagai ibadah kepadanya. Pasti itu.
Satu hal yang aku tidak pernah tahu pada saat Allah memanggilku untuk menghadap kepada-Nya disela-sela pekerjaanku yang hanya 5 x sehari semalam dan paling lama hanya sekitar 10-15 menit itu, aku tidak tahu apakah sesudah aku sholat itu masih diberi-Nya aku kesempatan untuk kembali mi’raj kehadirat-Nya atau justru itu adalah sholatku yang terakhir. Wallahu a’lam.
M. Jono AG
[email protected]