Pak Syukur menatap lekat ke dinding kamar. Pandangannya tertuju pada selembar baju putih yang sudah tidak lagi seputih pada saat dibeli. Sebuah baju gamiskenang-kenangan yang dia beli pada saat menjalankan ibadah Haji pada tahun lalu. Saat ini baju tersebut masih tergantung di paku kecil pada ruang sholat di rumahnya yang tidak begitu lebar.
Sengaja baju itu diletakkan disana semata-mata mudah memakainya saat menjalankan sholat tahajud. Pelan-pelan digantinya pakaian sholat sederhana yang kadang-kadang hanya menggunakan kaos dan kain sarung itu dengan jubah kebanggaan dan penuh kenangan itu. Bagaimana tidak? Itulah baju yang senantiasa menemani ke Masjidil Haram saat menunggu datangnya jadwal di Arofah, Musdzalifah dan Mina. Dimanfaatkannya waktu tunggu tersebut untuk memperbanyak sholat di depan Ka’bah.
Pada awalnya memang terasa agak kikuk memakai jubah tersebut, entah karena pada saat sholat hampir semua jamaah menggunakan jubah atau karena gigihnya para penjual di sekitar masjidil Haram yang dengan modal bahasa Indonesia yang pas-pasan nekat mengatakan, “Ayoo.. murah-murah, hanya lima pulu real”. Yang jelas dua lembar jubah saat ini sudah ditangannya. Apalagi sebagian besar jamaah calon haji yang lain juga menjadikan gamis panjang itu sebagai seragam kebesaran.
Jamaah dari Indonesia memang khas. Di luar pada saat mereka mengenakan baju Ihram mereka sangat mudah dikenali. Bukan hanya dari phisiknya yang lebih kecil dari jamaah dari negara lain, tapi baju seragam warna toska itu dapat ditemui sepanjang jalan menuju Masjidil Haram sampai mereka yang thowaf diseputaran Ka’bah. Belum lagi yang mengenakan batik khas daerahnya masing-masing. Ditambah lagi dengan syal kloter atau rombongan. Lengkap sudah ciri khasnya.
Bukannya malu kalau sekarang pak Syukur harus kembali mengenakan jubah ketika sholat jamaah di masjid dekat rumahnya. Walaupun siang tadi pada saat selesai sholat ada teman kerjanya yang mengingatkan, “pak Haji kok nggak pakai jubah dan kopiah putih, biar sekalian kaffah Islamnya?”pak Syukur kaget, dan tidak bisa menjawab bahkan. Kali ini beliau hanya melempar senyum khasnya.
Dalam hati kecil beliau bersyukur ada yang mengingatkan. Sama seperti gelar haji yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan gelar kehormatan bagi yang sudah melaksanakan rukun Islam ke-5 itu. Sehingga sering kali beberapa orang merasa kurang dihargai ketika gelar ‘haji’-nya tidak disebut. Sebelum menunaikan ibadah haji justru pak Syukur diingatkan seseorang agar kelak sepulangnya dari tanah suci tetap bisa mengambil hikmah dari panggilan orang lain. Kalau mereka memanggil dengan sebutan ‘haji’ maka jadikanlah itu sebuah peringatan agar kita tetap harus menjaga ke-mabrur-an haji kita dengan akhlak dan perilaku kita. Atau kalau seandainya pun tidak dipanggil dengan haji, tetap tidak masalah karena sebagaimana perintah wajib lainnya tidak ada dari kita yang menyebut ‘pak sholat’ ketika seseorang menjalankan sholat.
Karena panggilan haji justru hanya dikenal di negara-negara rumpun Melayu sebagai penghormatan kapada seseorang yang telah menggenapkan rukun Islam, maka gelar tersebut tentu tidak kita temukan pada negara-negara lain termasuk Arab Saudi. Sama juga seperti berpakaian, di negara Arab semua mengenakan jubah bagi laki-laki, sehingga pada saat kita memakai sarung dan baju muslim khas Indonesia mungkin akan terasa aneh bagi mereka. Begitu juga sebaliknya. Tapi di situlah indahnya Islam.
Islam tidak membatasi bahwa sebagai seorang muslim harus berpakaian model ‘A, B, C atau D’, tapi Islam mengatur syarat berpakaian bagi seorang muslim/muslimat yang sesuai syar’i. Makanya tidak heran kalau di daerah Lombok ibu-ibu memakai sarung untuk dijadikan kerudung penutup kepala sampai ke dada karena secara syar’i memang boleh, atau sebagian besar pesantren di Indonesia yang memakai sarung dan dipadu dengan baju muslim, walaupun sebagian juga ada pesantren yang para ustadz dan santrinya memakai jubah panjang sebagaimana saudara-saudara kita dari jazirah Arab.
Tetapi juga tidak pas kalau sebagian saudara kita mengatakan, “Nggak berjilbab nggak apa-apa asal hatinya baik”. Karena perintah Allah SWT diturunkan kepada manusia adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Ibarat kendaraan perintah Allah adalah sebagai remnya. Kalau Allah memerintahkan kaum wanita untuk menjulurkan kerudung sampai ke dadanya adalah untuk wanita itu sendiri, supaya tidak diganggu oleh laki-laki maupun untuk mempermudah mengenali seseorang bahwa orang tersebut adalah muslim.
Tidak juga bisa dijadikan alasan kalau sebagian orang mengatakan, “buktinya yang pakai jilbab juga banyak yang tidak bener kelakuannya”. Kalaupun ada saudara-saudara kita yang sudah berusaha menutup aurat dengan baik kok perilakunya tidak mencerminkan seorang muslimah yang baik, tentu bukan aturannya yang salah. Rem dipasang dikendaraan adalah sebagai pengaman, sehingga kalau terjadi sesuatu tidak terlalu fatal akibatnya. Berbeda kalau kita memakai kendaraan yang jelas-jelas tidak ada remnya dan suatu saat terjadi kecelakaan maka pikiran pertama orang yang melihatnya akan mengatakan, “Orang ini nekat dan tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri…”
Walaupun hatinya masih galau dengan pertanyaan temannya tadi siang tentang jubah, pak Syukur mengenakan kembali jubah itu untuk bemunajat di heningnya malam ini. Digelarnya sajadah, dikuatkan niatnya. Ditumpahkan segala keraguan dan kegundahan hatinya kepada Rabb pemilik segala kesempurnaan. Air matanya tak terbendung di sujud terakhir sholat tahajud malam itu. Hatinya dengan segala kekhusyukan berdo’a, “Ya Allah, Engkau Maha Tahu, bukan karena malu kepada manusia kalau sampai saat ini aku belum berani memakai jubah ini di semua keadaan, tapi keadaan lingkunganku yang masih merasa asing dengan keadaan seperti itu. Ampuni hamba ya Allah, yang belum mampu mengikuti dan meneladani Rasulullah SAW secara kaffah…”Wallahu a’lam.