Jam di rumahku baru menunjukkan pukul 08.00 pagi ketika ditelingaku sudah terdengar riuhnya musik di gang sebelah yang sedang menggelar hajatan pernikahan putrinya. Tenda besar juga sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Maklum bulan Februari biasanya banyak turun hujan. Dan bukan tidak mungkin kalau hujan turun pada saat pesta bisa bikin stress bagi si empunya hajat.
Kebetulan bulan ini dua kali aku mengikuti acara walimatul ursy. Yang pertama pada pernikahan adik kandungku yang kebetulan pas dengan hari raya Imlek, di mana bagi saudara-saudaraku etnis Tionghua yang merayakannya sangat-sangat berharap hujan turun. Menurut mereka hujan yang turun pada saat Imlek menandakan tahun itu rejeki akan berlimpah. Yang kedua kemarin saat salah satu mantan murid istriku melangsungkan pernikahan secara sederhana di depan rumah kedua orang tuanya.
Ada pelajaran menarik bagaimana si empunya hajat menyikapi terjadinya hujan pada saat pesta berlangsung. Wajar kalau antisipasi terjadinya hujan ini harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.Bukan hanya tenda yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, tetapi banyak juga yang sampai menggunakan jasa pawang hujan segala. Maksudnya mungkin agar tamu tidak merasa terganggu dengan turunnya hujan. Benarkah hujan mengganggu ?
Pertanyaan tersebut terus bergelayut di fikiranku. Sama seperti yang lain hari itu kami mempersiapkan tenda sederhana di depan rumah adikku sekedar melindungi panas atau hujan bagi tamu yang akan ikut mengantarkan adikku ke tempat mempelai perempuan. Tidak pakai ritual macam-macam. Kami hanya memohon yang tebaik saja dari Allah SWT. Ternyata masalah muncul ketika adikku yang baru di-‘Timung’ malam itu kepingin mandi. Semua yang hadir kompak tanpa dikomando melarang adikku untuk mandi. Alasan utamanya adalah kalau calon pengantin mandi pasti pas acara turun hujan. Saya lihat adikku berusaha memberikan alasan bahwa dia harus mandi karena sudah seharian ngurusin semuanya dan agar badan terasa segar. Sekali lagi semua tetangga yang rewang/membantu saat itu protes. Aku melirik bapakku yang kelihatan menahan nafas.
Maklum di daerah orang tentu beda adat – istiadatnya. Aku mendekati bapak dan minta pendapatnya. Dalam diskusi kecil itu bapak tetap menyarankan adikku untuk mandi, "mandi aja, nggak apa-apa, kamu kan belum sholat juga, biar seger waktu sholat. Urusan hujan itu urusan ‘yang membuat hujan’ bukan urusan kita. Bisa jadi hujan itu justru barokah dari Allah untukmu." Dengan penjelasan bapak kelihatan adikku tidak lagi bimbang. Tapi sekali lagi mereka lebih keras lagi melarang karena adatnya begitu. Aku coba menengahi. Kubisikki adikku agar menunda mandinya sampai para tetangga pulang. Benar saja, satu persatu mereka pulang pada saat jam menunjukkan pukul 22.00. Adikku pun akhirnya tetap mandi walaupun dilarang semua tetangganya. Toh bapak dan ibu justru menyuruh adikku untuk membersihkan badan walaupun menurut kepercayaan masyarakat setempat bisa mengakibatkan hujan pada saat resepsi. Naudzubillah min dhalik.
Begitupun kemarin ditempat tetanggaku. Pas sebelum Dhuhur ternyata hujan turun. Saya lihat yang punya hajat sih santai saja. Justru tetanggalah yang pada sibuk komentar. Mulai dari ketidak patuhan terhadap adat, salah hitung hari bahkan ada yang mengomentari harusnya yang punya hajat memanggil pawang hujan agar, hujannya di tahan atau dipindahkan. Masya Allah.
Untungnya si empunya rumah tidak merasa repot dengan hujan yang turun. Bahkan bersyukur karena cuaca menjadi dingin setelah beberapa hari panas. Sebuah keikhlasan menerima takdir. Mungkin mereka lupa seandainya mengundang pawang dan kebetulan hari itu hujan tidak turun itu semata-mata bi idznillah, dengan seijin Allah. Sama sekali bukan karena kekuatan si pawang. Mengapa kita kepingin ‘mengatur’ kehendak Allah ? Bahkan kalau kita mau jujur harusnya kita malu kepada Allah, seolah kita jauh lebih mengerti kepentingan kita dari pada Allah. Kadar kebutuhan air bagi lingkungan di sekitar kita yang tahu hanya Allah. Bisa jadi pada saat hujan turun yang menurut kebanyakan orang sangat mengganggu acara pernikahan yang dihadiri oleh ratusan orang itu justru sangat dinantikan oleh makhluk Allah yang lain baik binatang maupun tumbuhan yang jumlahnya bisa ribuan bahkan jutaan. Atau Allah sedang menurunkan rahmat-Nya kepada pengantin yang sedang melaksanakan sunnah Rasulullah atau bahkan Allah sedang menghendaki tambahan cadangan air di bumi untuk kita pergunakan dikemudian hari. Yang jelas Allah tidak pernah salah dalam memutuskan dan mentakdirkan sesuatu, kitalah yang sering salah mencerna takdir-Nya. Dan semestinyalah kita harus senantiasa menambah syukur dan prasangka baik kita kepada Allah.
M. Jono AG